Share

Kamar Tia

Tia diadili.

Malam itu, kami akhirnya tidak jadi berangkat setelah salat magrib.

Setelah wali kelas Tia pulang, ibu memutuskan untuk menunggu Tia. Aku dan Kak Dina pun memutuskan untuk ikut berkumpul di ruang tamu menemani ibu.

Tidak lama kemudian, anak itu benar-benar muncul. Dia dengan santainya masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.

Namun, Kak Dina tidak bisa menahan amarahnya. Dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi mulus Tia.

“Ke mana saja kamu selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah? Sudah hebat kamu, ya? Sudah pandai bolos kamu, ya? Kamu kira hidup tanpa sekolah enak? Mau jadi apa kamu nantinya? Mau jadi gembel, pelacur?” Kak Dina meluapkan emosinya dengan membabi buta. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.

Melihat Kak Dina ingin maju lagi, aku menarik Kak Dina. “Istighfar, Kak! Anak-anak melihatmu. Perilaku Kakak akan jadi contoh buat mereka.”

Namun, Kak Dina tetap kekeh ingin melampiaskan emosinya.

“Sudah, Kak.” Kali ini aku mencoba untuk sedikit lebih tegas. “Kemarahan tidak dapat menyelesaikan masalah, yang ada akan menimbulkan masalah baru.”

“Tapi, Tia sudah kelewatan. Ke mana kamu ha, selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah?” Kak Dina kembali mengintrogasi Tia.

Melihat Tia tidak menjawab, ibu langsung berdiri. “Kamu mau apa, Tia? Kamu mau berhenti sekolah? Kamu mau bekerja di kota? Silakan! Ibu tidak melarang. Tapi, ingat, jangan pulang sebelum berhasil. Jangan pulang sebelum bisa punya motor sendiri. Jangan pulang sebelum punya uang sendiri.” Saat menghadapi Tia, ibu terlihat lebih adem, tidak seperti saat menghadapiku. Apakah ibu sudah lelah dengan ulah Tia?

Tia masih tidak menjawab. Dia hanya menangis. Bikin suasana di ruangan tamu ini jadi serba salah. Tidak lama kemudian, Bang Udin muncul. Dia terlihat tergagap. Namun, segara dia bertanya, “Ada apa ini?”

“Tia bikin ulah lagi. Dia bolos sekolah, tidak tahu keluyuran di mana.” Kak Dina langsung memberikan penjelasan pada suaminya.

“Oh, itu. Dia tidak keluyuran, Dek. Dia pergi cari uang. Abang lihat sendiri dia bantu cuci piring di warung nasi pasar sana. Waktu itu Abang sempat tegur, tapi katanya di sekolah sedang tidak ada guru. Jadi, Abang biarkan saja.”

Astagfirullah, kenapa aku makin tambah curiga kalau mereka berdua ada apa-apanya. Mereka tidak bisa dihubungi dalam waktu yang sama. Mereka pulang juga dengan waktu yang tidak jauh berbeda.

Tidak lama setelah Bang Udin bicara, Tia berhenti menangis. “Tia kerja karena Tia malu selalu diejek teman-teman di kelas. Dia bilang, Tia cupu, tidak pergaulan, tidak modis, karena Tia tidak punya barang-barang keren seperti mereka.”

“Kenapa harus dipikirkan? Kita sekolah bukan untuk gaya-gayaan.” Kak Dina tetap marah.

“Kakak bisa ngomong gitu karena Kakak tidak merasakan sakit hati diejek. Aku malu karena selalu jadi bulan-bulanan mereka. Aku tidak punya teman satu pun di sekolah. Mereka semua menganggapku kampungan.”

“Ya, sudah kalau gitu, kamu berhenti sekolah saja. Kamu pergi cari kerja di kota sana! Biar tidak menyusahkan orang tua,” ucap Kak Dina seolah-olah menemukan titik penyelesaian.

Namun, aku yang masih penasaran dengan kebenaran yang ada, mencoba memberikan pendapat yang berbeda. Lagi pula berhenti sekolah bukan solusi yang terbaik. Memangnya Tia mau kerja apa di kota? Di rumah ini saja dia tidak pernah melakukan apa-apa. Semua baju dan kebutuhannya dibantu dan diurus sama ibu.

“Kalau seperti itu permasalahannya, besok Kakak akan ke sekolah kamu. Kakak akan diskusi dengan gurumu biar teman-teman yang bermasalah itu dipanggil,” ucapku.

“Tidak perlu, Kak,” potong Tia langsung. “Mulai besok Tia janji tidak akan bolos sekolah lagi.”

Setelah mendengar janji Tia, ibu mengajakku langsung berangkat. Sedangkan, Kak Dina diantar sama suaminya.

Sebenarnya, aku sudah malas untuk pergi. Dari rumah ini ke rumah nenek memakan waktu sekitar dua puluh menit. Sedangkan sekarang sudah hampir jam delapan, itu artinya hampir jam setengah sembilan baru sampai di sana. Tubuhku rasanya pun butuh istirahat.

Namun, karena sudah berjanji pada ibu dan Kak Dina pun sudah berangkat duluan, mau tidak mau pun aku pergi.

Setibanya di rumah nenek, aku merasa bosan. Pasalnya, aku terus ditanya, "Kapan nikah, Lan? Apa lagi yang ditunggu?"

Dengan enggan aku hanya bisa menjawab, "Menunggu jodoh, Bu."

"Jangan terlalu pilih-pilih, Lan," ucap saudara ibu yang lain. "Setinggi apa pun sekolah perempuan, kalau sudah tua tetap sulit lakunya."

"Belum tua, kok, Mak, baru dua tiga," jawabku.

"Sudah tua itu," timpal ibu-ibu yang tidak kukenal. "Anakku umur segitu sudah punya anak tiga."

Ingin sekali aku menjawab, "Itu anak ibu, bukan aku. Aku tidak mau kawin muda karena mau mempersiapkan segalanya dengan matang. Aku ingin hidup bahagia dunia akhirat dengan pernikahanku."

Namun, aku memilih diam, tidak menanggapi. Kusunggingkan saja senyuman dibuat-buat.

Merasa benar-benar terpojokkan, ibu juga ikut menyalahkanku. "Wulan itu memang sulit diatur setelah kuliah. Berapa kali kubilang jangan pakai kerudung lebar-lebar, soalnya seperti ibu-ibu, tapi tetap saja tidak pernah didengarkan." Aku langsung mundur ke teras depan rumah yang tidak ada orang berkumpul.

Namun, tiba-tiba, aku baru sadar kalau HP-ku tertinggal di dapur.

Setelah bertanya pada ibu apakah dia mau ikutan pulang atau menginap di sini, aku langsung pamit pulang. “Anak-anak sekarang ini tidak betak kalau kumpul dengan keluarga. Coba di depan HP, bisa-bisa berjam-jam tidak akan ke mana-mana,” omel nenek. Namun, aku tidak peduli. Aku hanya takut benda tipis itu ditemukan seseorang dan dia berhasil menemukan catatan khusus yang sering kutulis di sana.

Setibanya di rumah, aku dikejutkan oleh suara di kamar Tia.

“Terima kasih, Bang, sudah menyelamatkanku,” ucap Tia. Aku yakin sekali itu Tia.

“Malam ini Abang yang minta jatah, ya? Nanti bayarnya harus dua kali lipat, loh.”

“Iya, Bang. Nanti, Tia pikirkan lagi cara biar dapat uang.”

Setelah itu tidak ada suara. Sunyi. Hanya desahan-desahan kecil yang terdengar dari mulut Tia.

Dengan jantung berdebar lebih kencang, keringat dingin yang mulai bercucuran di seluruh tubuhku, aku memberanikan diri melangkah. Perlahan, aku menuju kamar Tia.

Saat di depan kamar Tia, aku mencoba mengatur napas dengan memejamkan mata. Perlahan, sambil membuka pintunya yang tidak terkunci, aku membuka mata. Bang Udin sudah ada di atas tubuh yang tanpa Tia tanpa baju, hanya celana pendek saja yang melekat di sana. Tia juga setengah telanjang.

“Aw,” ucap Tia dengan mata yang terpejam.

Aku tidak bisa lagi mengendalikan diri, dengan air mata yang mengalir dan suara yang bergetar, aku bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”

Seketika Bang Udin melompat ke samping Tia dan menarik kain yang ada di sampingnya. Tia juga tampak pucat dan mencoba menutupi dadanya dengan bantal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status