Share

Kamar Tia

last update Last Updated: 2023-08-29 09:31:04

Tia diadili.

Malam itu, kami akhirnya tidak jadi berangkat setelah salat magrib.

Setelah wali kelas Tia pulang, ibu memutuskan untuk menunggu Tia. Aku dan Kak Dina pun memutuskan untuk ikut berkumpul di ruang tamu menemani ibu.

Tidak lama kemudian, anak itu benar-benar muncul. Dia dengan santainya masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.

Namun, Kak Dina tidak bisa menahan amarahnya. Dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi mulus Tia.

“Ke mana saja kamu selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah? Sudah hebat kamu, ya? Sudah pandai bolos kamu, ya? Kamu kira hidup tanpa sekolah enak? Mau jadi apa kamu nantinya? Mau jadi gembel, pelacur?” Kak Dina meluapkan emosinya dengan membabi buta. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.

Melihat Kak Dina ingin maju lagi, aku menarik Kak Dina. “Istighfar, Kak! Anak-anak melihatmu. Perilaku Kakak akan jadi contoh buat mereka.”

Namun, Kak Dina tetap kekeh ingin melampiaskan emosinya.

“Sudah, Kak.” Kali ini aku mencoba untuk sedikit lebih tegas. “Kemarahan tidak dapat menyelesaikan masalah, yang ada akan menimbulkan masalah baru.”

“Tapi, Tia sudah kelewatan. Ke mana kamu ha, selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah?” Kak Dina kembali mengintrogasi Tia.

Melihat Tia tidak menjawab, ibu langsung berdiri. “Kamu mau apa, Tia? Kamu mau berhenti sekolah? Kamu mau bekerja di kota? Silakan! Ibu tidak melarang. Tapi, ingat, jangan pulang sebelum berhasil. Jangan pulang sebelum bisa punya motor sendiri. Jangan pulang sebelum punya uang sendiri.” Saat menghadapi Tia, ibu terlihat lebih adem, tidak seperti saat menghadapiku. Apakah ibu sudah lelah dengan ulah Tia?

Tia masih tidak menjawab. Dia hanya menangis. Bikin suasana di ruangan tamu ini jadi serba salah. Tidak lama kemudian, Bang Udin muncul. Dia terlihat tergagap. Namun, segara dia bertanya, “Ada apa ini?”

“Tia bikin ulah lagi. Dia bolos sekolah, tidak tahu keluyuran di mana.” Kak Dina langsung memberikan penjelasan pada suaminya.

“Oh, itu. Dia tidak keluyuran, Dek. Dia pergi cari uang. Abang lihat sendiri dia bantu cuci piring di warung nasi pasar sana. Waktu itu Abang sempat tegur, tapi katanya di sekolah sedang tidak ada guru. Jadi, Abang biarkan saja.”

Astagfirullah, kenapa aku makin tambah curiga kalau mereka berdua ada apa-apanya. Mereka tidak bisa dihubungi dalam waktu yang sama. Mereka pulang juga dengan waktu yang tidak jauh berbeda.

Tidak lama setelah Bang Udin bicara, Tia berhenti menangis. “Tia kerja karena Tia malu selalu diejek teman-teman di kelas. Dia bilang, Tia cupu, tidak pergaulan, tidak modis, karena Tia tidak punya barang-barang keren seperti mereka.”

“Kenapa harus dipikirkan? Kita sekolah bukan untuk gaya-gayaan.” Kak Dina tetap marah.

“Kakak bisa ngomong gitu karena Kakak tidak merasakan sakit hati diejek. Aku malu karena selalu jadi bulan-bulanan mereka. Aku tidak punya teman satu pun di sekolah. Mereka semua menganggapku kampungan.”

“Ya, sudah kalau gitu, kamu berhenti sekolah saja. Kamu pergi cari kerja di kota sana! Biar tidak menyusahkan orang tua,” ucap Kak Dina seolah-olah menemukan titik penyelesaian.

Namun, aku yang masih penasaran dengan kebenaran yang ada, mencoba memberikan pendapat yang berbeda. Lagi pula berhenti sekolah bukan solusi yang terbaik. Memangnya Tia mau kerja apa di kota? Di rumah ini saja dia tidak pernah melakukan apa-apa. Semua baju dan kebutuhannya dibantu dan diurus sama ibu.

“Kalau seperti itu permasalahannya, besok Kakak akan ke sekolah kamu. Kakak akan diskusi dengan gurumu biar teman-teman yang bermasalah itu dipanggil,” ucapku.

“Tidak perlu, Kak,” potong Tia langsung. “Mulai besok Tia janji tidak akan bolos sekolah lagi.”

Setelah mendengar janji Tia, ibu mengajakku langsung berangkat. Sedangkan, Kak Dina diantar sama suaminya.

Sebenarnya, aku sudah malas untuk pergi. Dari rumah ini ke rumah nenek memakan waktu sekitar dua puluh menit. Sedangkan sekarang sudah hampir jam delapan, itu artinya hampir jam setengah sembilan baru sampai di sana. Tubuhku rasanya pun butuh istirahat.

Namun, karena sudah berjanji pada ibu dan Kak Dina pun sudah berangkat duluan, mau tidak mau pun aku pergi.

Setibanya di rumah nenek, aku merasa bosan. Pasalnya, aku terus ditanya, "Kapan nikah, Lan? Apa lagi yang ditunggu?"

Dengan enggan aku hanya bisa menjawab, "Menunggu jodoh, Bu."

"Jangan terlalu pilih-pilih, Lan," ucap saudara ibu yang lain. "Setinggi apa pun sekolah perempuan, kalau sudah tua tetap sulit lakunya."

"Belum tua, kok, Mak, baru dua tiga," jawabku.

"Sudah tua itu," timpal ibu-ibu yang tidak kukenal. "Anakku umur segitu sudah punya anak tiga."

Ingin sekali aku menjawab, "Itu anak ibu, bukan aku. Aku tidak mau kawin muda karena mau mempersiapkan segalanya dengan matang. Aku ingin hidup bahagia dunia akhirat dengan pernikahanku."

Namun, aku memilih diam, tidak menanggapi. Kusunggingkan saja senyuman dibuat-buat.

Merasa benar-benar terpojokkan, ibu juga ikut menyalahkanku. "Wulan itu memang sulit diatur setelah kuliah. Berapa kali kubilang jangan pakai kerudung lebar-lebar, soalnya seperti ibu-ibu, tapi tetap saja tidak pernah didengarkan." Aku langsung mundur ke teras depan rumah yang tidak ada orang berkumpul.

Namun, tiba-tiba, aku baru sadar kalau HP-ku tertinggal di dapur.

Setelah bertanya pada ibu apakah dia mau ikutan pulang atau menginap di sini, aku langsung pamit pulang. “Anak-anak sekarang ini tidak betak kalau kumpul dengan keluarga. Coba di depan HP, bisa-bisa berjam-jam tidak akan ke mana-mana,” omel nenek. Namun, aku tidak peduli. Aku hanya takut benda tipis itu ditemukan seseorang dan dia berhasil menemukan catatan khusus yang sering kutulis di sana.

Setibanya di rumah, aku dikejutkan oleh suara di kamar Tia.

“Terima kasih, Bang, sudah menyelamatkanku,” ucap Tia. Aku yakin sekali itu Tia.

“Malam ini Abang yang minta jatah, ya? Nanti bayarnya harus dua kali lipat, loh.”

“Iya, Bang. Nanti, Tia pikirkan lagi cara biar dapat uang.”

Setelah itu tidak ada suara. Sunyi. Hanya desahan-desahan kecil yang terdengar dari mulut Tia.

Dengan jantung berdebar lebih kencang, keringat dingin yang mulai bercucuran di seluruh tubuhku, aku memberanikan diri melangkah. Perlahan, aku menuju kamar Tia.

Saat di depan kamar Tia, aku mencoba mengatur napas dengan memejamkan mata. Perlahan, sambil membuka pintunya yang tidak terkunci, aku membuka mata. Bang Udin sudah ada di atas tubuh yang tanpa Tia tanpa baju, hanya celana pendek saja yang melekat di sana. Tia juga setengah telanjang.

“Aw,” ucap Tia dengan mata yang terpejam.

Aku tidak bisa lagi mengendalikan diri, dengan air mata yang mengalir dan suara yang bergetar, aku bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”

Seketika Bang Udin melompat ke samping Tia dan menarik kain yang ada di sampingnya. Tia juga tampak pucat dan mencoba menutupi dadanya dengan bantal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Hidup Yang Nelangsa

    Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Ada apa dengan hidupku?

    “Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Sepotong Hari Yang Kelabu

    Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Drama Baru

    Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

    “Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Surgakah ini?

    “Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status