Share

Tia dan Bang Udin Hilang Bersamaan Dari Rumah

“Wulan, tadi kamu dicari sama nenekmu.” Suara ibu bikin aku terlonjak.

“Astagfirullah,” ucapku hampir berteriak.

“Kenapa sih, Lan?” Kak Dina tiba-tiba muncul di belakang ibu. “Kok, pakai teriak segala? Ibu hanya bilang kalau nenek mencarimu. Nenek bilang, ‘mentang-mentang sudah sarjana jadi sibuk sekali hingga tidak sempat menjenguk nenek.’” Kak Dina menyampaikannya dengan logat seolah-olah nenek benar-benar marah padaku. Matanya melotot melihatku, mulutnya monyong, dan wajahnya benar-benar cemberut.

“Iya, Bu, nanti malam aku ke sana,” jawabku sambil mencoba menetralkan perasaanku.

Beberapa hari ini, dari pagi sampai sore, Kak Dina dan ibu terus ke rumah nenek. Mereka membantu keluarga di sana. Minggu besok rencananya mau ada acara syukuran atas lahirnya cicit nenek yang pertama.

“Tia nggak ikut ya, Bu. Lagi banyak tugas, nih.” Tia tiba-tiba muncul dari depan kamarnya dan bikin aku kaget lagi. “Nih, tadi coba memahami tugas bahasa inggris, mumet banget.” Tia memperlihatkan HP-nya padaku. Dia seolah-olah tahu apa yang sedang aku pikirkan sejak tadi.

“Coba Kakak lihat! Siapa tahu Kakak bisa bantu.” Aku tiba-tiba punya ide untuk mengecek HP Tia karena penasaran. Kali ini, aku yakin Tia akan bisa mengelak kalau dia menonton film tidak senonoh.

Namun, diluar dugaanku, Tia memberikan gadgetnya dengan santai. “Nih, Kak! Aku ke kamar dulu ambil buku, ya?”

Kok, Tia tidak cari alasan atau terlihat gugup begitu, ya? Seharusnya, kan, kalau dia nonton yang macam-macam, dia pasti bakalan takut kalau aku ambil HP-nya.

Supaya aku tidak terus bertanya-tanya pada diri sendiri, aku segera mengecek riwayat tontonannya di YouTube.

Tidak ada yang aneh. Tia hanya menonton film Korea dan tugas bahasa inggris seperti yang dia katakan.

Astagfirullah, apa yang sedang terjadi padaku? Kenapa sejak kemarin aku terus berpikiran buruk pada Tia?

“Sulit kan, Kak?” Tia muncul lagi di depanku. Aku pun langsung duduk di kursi ruang tamu.

Dengan cekatan, aku membantu Tia menyelesaikan tugas bahasa inggrisnya.

“Terima kasih ya, Kak. Sekarang aku mau mandi dan istirahat dulu.”

Sebentar, sebentar, kenapa Tia mendadak berubah jadi anak lincah seperti ini, ya? Bukannya Tia itu pendiam dan tidak banyak bicara?

Namun, aku berusaha menutup pertanyaan negatifku dengan jawaban positif. Tia kan bukan anak SMP seperti waktu kutinggalkan dulu saat kuliah. Wajar kan, kalau saat ini dia sudah berubah?

“Lan, kita berangkatnya pakai motor kamu saja, ya! Udin katanya ada kerjaan. Jadi, dia tidak bisa ikutan,” kata ibu yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku lagi.

“Tanjal tiga, Bu?” Duh, motorku kan baru dikredit. Namun, akhirnya aku tetap mengangguk mengiyakan. Sekarang saatnya aku mencoba untuk lebih dekat dengan keluargaku. Apalagi yang bisa kuberikan kalau bukan bantuan demi bantuan, kan?

“Iyalah. Kamu jangan pelit-pelit, Lan. Selama ini siapa yang terus membantu kamu kalau bukan Kak Dina? Dari kecil juga kamu selalu dibiayai oleh ibu. Lalu, kenapa sekarang kamu kelihatan perhitungan sekali dengan kami.” Kak Dina langsung mengomel saat aku hendak masuk kamar.

“Bukan perhitungan, Kak. Cuma apa tidak bahaya kalau naik motor langsung bertiga?” Aku mencoba membela diri. Ya Allah ampuni aku kalau ada sedikit terbesit rasa tidak terima. Sekarang aku ikhlas ya Allah. Tidak ada yang lebih berharga dari keluarga.

“Badan kita kan, kecil semua. Jadi tidak masalah kalau kita tanjal tiga.”

“Baik, Bu.” Aku mengakhiri pembicaraan.

Setelah selesai salat magrib, aku langsung keluar kamar, menunjukkan kalau aku sudah siap untuk berangkat.

Namun, di ruang tamu kulihat ibu sedang berbicara serius dengan dua orang tamu. Supaya tidak mengganggu, aku memutuskan untuk ke dapur saja. Mungkin, lebih baik aku menunggu ibu di sana sambil membasahkan tenggorokanku yang terasa kering setelah mengaji sebentar tadi.

“Kenapa, Kak?” Spontan aku bertanya saat melihat wajah kusut Kak Dina. Dia juga tampak belum siap-siap untuk berangkat.

“Si Tia bikin ulah lagi. Tu di depan ada gurunya. Mereka bilang, ‘Tia sudah dua minggu bolos sekolah.’ Ke mana tu anak? Eh, pas mau ditanya dan dicari di kamar, Tia ternyata tidak ada di sana. Makin kelewatan tu Tia. Sekarang sudah berani dia pergi tidak bilang-bilang.”

Apa yang kudengar kemarin itu benar Tia? Apa hal itu yang menyebabkan Tia bolos sekolah?

“Sudah coba telepon, Kak?” Aku mencoba membantu menyelesaikan masalah.

“Sudah, tapi tidak aktif. Mana Bang Udin juga tidak bisa ditelepon. Kalau Bang Udin bisa ditelepon kan, biar dia yang susul Tia. Sesekali Tia harus diberi pelajaran biar dia tahu rasa dan tidak main-main dengan sekolah. Dia pikir hidup bakalan enak kalau tidak sekolah. Mau kerja apa dia kalau cuma tamatan SMP. Seharusnya dia bisa melihat kehidupanku dan mencontoh kamu.” Kak Dina mengomel panjang lebar.

Akan tetapi, dari omelan panjangnya itu, aku jadi tahu kalau sesungguhnya Kak Dina membanggakanku, tidak menyepelekanku seperti yang selama ini kupikirkan.

Eh, sebentar, Bang Udin juga tidak ada di rumah dan tidak bisa dihubungi? Apa aku ceritakan saja apa yang aku dengar kemarin? Tapi, aku tidak punya bukti. Maka, aku memutuskan untuk diam. Biarlah kejahatan ini terungkap dengan sendirinya. Bukankah bangkai yang disembunyikan suatu saat bau busuknya tetap akan tercium di hidung orang lain?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status