Share

Tertangkap Basah

“A—a—apa yang.” Sulit sekali menyelesaikan kalimat yang ada di mulutku. Tenggorokanku tiba-tiba mendadak kering. Kepalaku langsung pusing. Tuhan, apa yang kulihat di depan mataku ini?

Kenapa Tia bisa melakukan perbuatan laknat ini?

Tuhan, selama ini, aku hanya membaca berita di gadget atau menonton di televisi. Lalu, sekarang?

Setelah beristigfar berkali-kali di dalam hati dan menarik napas perlahan, aku baru bisa menguasai diri. “Apa yang kalian lakukan?”

Keduanya saling berpandangan.

Aku terisak lagi. Entah mengapa rasa marah, kesal, dan tidak percaya di dalam hati bikin aku ingin menangis meraung-raung.

“Tia, Bang Udin, apa yang kalian lakukan? Kalian telah berzina!” Kalimat itu sengaja aku keluarkan agar mereka sadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. “Kalian akan mendapatkan dosa besar kalau sampai benar-benar melakukan perkara haram ini. Bahkan kalian bisa diarak keliling kampung. Dan kamu Tia. Kamu bisa hamil dan berhenti sekolah.”

Sesak kembali memenuhi dadaku. Bagaimana bisa adik kandungku sendiri melakukan dosa sebesar ini? Sebagai kakak, kemana saja aku selama ini?

Bang Udin segera turun dari ranjang kecil Tia. Dia mengambil baju dan celana panjangnya yang berserakan di lantai.

“Dan kau Bang Udin. Kenapa kau tega mengkhianati Kak Dina? Di mana rasa tanggung jawabmu?”

Tia menangis.

“Ini bukan salahku. Tia yang memintaku melayaninya,” ucap Bang Udin tegas. Di wajah tegas itu, tidak sedikit pun tampak ada penyesalan atau rasa bersalah.

“Jahat kau, Bang!” teriakku. “Seharusnya kau yang melindungi Tia bukan kau yang mempermainkannya. Tuhan, apa jadinya kalau Kak Dina tahu semua yang terjadi?” Rasa amarah tiba-tiba menguasai diriku. Jika tidak mengingat kekuatan dan usianya, rasanya ingin kujambak atau kucakar saja wajahnya itu.

“Makanya Kakak jangan katakan apa-apa atau kau akan mati!” udara di sekelilingku seketika menghilang. Aku sesak, sulit bernapas mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tia.

“Apa yang kamu katakan, Tia? Sadar kamu dengan yang kamu ucapkan? Kamu baru saja melakukan kesalahan fatal!”

Tia menghapus sisa air matanya. Dia buru-buru mengambil baju kaos lengan pendek dan menggunakannya.

Bersama Bang Udin, Tia mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah. Apa yang akan mereka lakukan.

“Ingat, Kak. Jangan pernah buka mulut!” ancam Tia kemudian berlalu dari hadapanku.

Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, aku mencegah langkah Tia. “Tia sadar!” teriakku.

“Aku sadar Kak Wulan. Aku tahu dengan semua yang kulakukan,” ucapnya lagi.

“Kalau kamu sadar, seharusnya kamu tahu kalau apa yang kamu lakukan itu salah. Bang Udin bukan pasangan halalmu. Dia itu Abang iparmu. Dia milik Kak Dina.”

“Peduli apa aku, Kak. Hanya Bang Udin yang memberikan aku cinta dan kasih sayang yang selama ini aku butuhkan.”

Ucapan Tia membuat Bang Udin tampak sombong. Dadanya benar-benar membusung ke depan. Dia juga mengelus-elus wajah Tia.

“Abang sayang kamu,” ucapnya. Kemudian, keduanya berciuman. Ciuman yang bikin aku ingin muntah. Untung bibir mereka hanya bertemu sesaat.

Setelah mereka pergi, aku seperti orang yang kehilangan oksigen. Aku bingung harus berbuat apa. Satu sisi dalam diriku menyatakan kalau aku harus cari cara untuk menghentikan mereka. Namun, sisi lainnya juga ada rasa malas untuk mengurusi mereka.

Dengan langkah lunglai, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Di tempat ternyaman itu, aku coba menjernihkan pikiranku.

Saat sedang duduk di pinggir kasur, aku teringat bagaimana Tia kecil sudah ditinggalkan ayah untuk selama-lamanya.

Waktu itu, aku sudah lebih besar dari Tia. Aku sudah mulai mengerti segalanya. Termasuk, saat ayah ditemukan di laut dan dibawa pulang ke rumah tanpa nyawa lagi.

Ibu sangat terpukul. Semua orang bersedih. Namun, setiap hari ada saja orang yang datang untuk memberikan bantuan. Ada yang memberikan makanan, ada yang memberikan pakaian, pokoknya hidup kami selalu dibantu.

Akan tetapi, ibu tidak ingin berpangku tangan. Setelah tujuh hari ayah meninggal, ibu sudah membuat kue untuk mencari rezeki tambahan.

Aku yang sudah mulai tahu kondisi rumah, juga ikut membantu berjualan kue itu.

Kehidupan kami tetap berjalan seperti biasa. Ibu tetap berusaha hadir buat aku dan Tia. Sedangkan Kak Dina baru saja melahirkan anak pertamanya dan tinggal di rumah ibu mertuanya.

“Aku istri muda Bang Sam. Aku baru tahu kalau Bang Sam sudah meninggal. Aku ke sini ingin minta warisan yang ditinggalkan Bang Sam untuk salah satu anaknya yang sudah saya lahirkan.” Seorang wanita cantik mendatangi rumah kami di tengah siang yang terik. Dia bersama seorang anak kecil yang kira-kira seumuran dengan Tia.

“Kau jangan mengada-ada, suamiku orang baik, tidak mungkin dia melakukan hal yang tidak senonoh,” jawab ibu dengan tegas.

Namun, wanita muda itu tampak sudah mempersiapkan segalanya. Dia mengeluarkan banyak foto-fotonya bersama ayah. Aku yang hanya bisa mengintip dari balik tirai bisa melihat wajah murka ibu saat melihat foto pernikahan ayah dan wanita itu.

“Kami memang hanya menikah sirih,” ucap perempuan itu lagi. “Namun, anak ini tetap mendapatkan hak atas harta Bang Sam.”

“Harta apa? Kau lihat rumah kami seperti ini? Apa yang ditinggalkan Sam selain kesengsaraan.” Amarah ibu langsung tersulut.

Sambil bercekak pinggang, ibu mengusir wanita itu pergi dari rumah.

“Kalau kau memang menuntut hak kau untuk anak haram itu!” ibu menunjuk anak laki-laki yang dibawa perempuan itu. “Kau jangan minta di sini. Tapi, pergi kau ke kuburan laki-laki biadab itu. Kau minta dengannya.” Saat mengucapkan itu, wajah ibu kulihat benar-benar memerah, bahkan tampak berubah seperti arang yang baru selesai dibakar.

Sejak saat itu kehidupan kami berubah. Di rumah ini tidak ada lagi tawa, yang ada hanya ada kemarahan, bentakan, pukulan dari ibu.

“Malam ini Kak Dina tidur sana ya, Bang?”

Di tengah lamunanku, aku mendengar suara berisik yang mengusik telingaku.

“Iya, Sayang. Tadi dia baru saja menelepon. Sekarang kita bebas.”

“Benar banget , Bang. Kamar siapa kita malam ini?”

“Di kamar aku aja, yuk! Kamar kamu tempat tidurnya sempit, sulit buat guling-guling.”

Keduanya terdengar terkekeh kecil.

Setelah keduanya berlalu, hati kecilku benar-benar meronta tidak terima. Aku tidak boleh diam. Bukankah bencana itu dimulai dari tempat orang saleh yang membiarkan kemungkaran?

Dengan sigap aku membawa HP-ku ke kamar Kak Dina. Kini, aku sudah mengatur rencana. Diam-diam, aku akan merekam aksinya sebagai barang bukti. Dengan begini, mereka tidak akan bisa mengelak lagi dan aku yakin setelah itu mereka akan berhenti melakukan dosa besar ini. Bahkan, aku akan mengancam mereka jika tidak benar-benar bertobat.

Tiba di depan kamar Kak Dina, aku mulai mengatur napas. Pelan, aku mendorong pintunya. Sayangnya, pintu kamar itu terkunci.

Aku kembali menarik napas agar tidak panik. Setelah mataku menelusuri seluruh bagian kamar, aku dapat ide.

Dengan cekatan, aku mengangkat kursi yang ada di dapur. Pelan, aku meletakkan kursi itu di pintu. Dari celah lubang angin yang ada di atas pintu kamar ini, aku akan merekam aksi mereka.

Sebelum naik, aku benar-benar memastikan semuanya aman.

Suara-suara di dalam kamar juga tidak terdengar lagi. Ini tandanya mereka sudah melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Dengan begitu, video yang kuambil pasti sudah tepat. Mereka tidak akan bisa mengelak.

“Bismillah,” ucapku pelan sambil naik ke atas kursi.

Bagus. Mereka sedang berciuman. Sambil memejamkan mata, aku tidak ingin melihat perbuatan keji mereka. Aku mengarahkan kamera gadgetku ke arah mereka.

Namun, tiba-tiba terdengar bunyi benda patah. Dalam seketika tubuhku goyang.

Tanpa bisa dicegah, tubuhku melayang begitu saja dan terhempas ke lantai.

Belum hilang rasa sakit di punggungku, Bang Udin dan Tia sudah ada di hadapanku sambil bertepuk tangan dengan senyum penuh kemenangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status