“Astagfirullah.” Aku terperanjat saat kucing di hadapanku menyambar makanan yang ada di tanganku. Untungnya, aku tidak berteriak.
Karena gemetaran, langsung saja kutinggalkan makanan kucing itu di tanah.Dengan tangan yang masih gemetar, aku melajukan motor secara perlahan.“Astagfirullah, maaf, Bu.” Aku hampir saja menabrak ibu pejalan kaki saking tidak fokusnya.Pikiranku terus dipenuhi banyak pertanyaan. Aku juga mulai yakin kalau Tia dan Bang Udin sudah melakukan perbuatan tidak senonoh.“Namun, kenapa Tia memberikan uang yang dia curi ke Bang Udin?” Aku kembali berbicara pada diri sendiri seperti orang gila.Setibanya di rumah, aku langsung minum air putih yang banyak.Ya Allah, apakah ini nyata? Sungguh, aku tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.Tia anak yang baik, tidak pernah sekali pun dia buat masalah selama ini.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada sumber suara.“Tia?”“Iya, Kak. Kok, kayak orang lihat setan gitu? Kan, Tia baru pulang sekolah.”Aku mengamati gadis berkulit putih di hadapanku. Bajunya rapi, tidak ada kotoran atau noda sedikit pun.Kalau dia yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh tadi, mungkin bajunya akan kotor.“Tapi bagaimana kalau dia melakukannya sambil melepas semua pakaiannya?”“Kenapa, Kak?” tanya Tia tiba-tiba.Ternyata gumamanku di dengar oleh Tia.“Tidak,” jawabku lalu buru-buru minum air putih lagi.“Kak, gorengin ikan, dong! Lapar, nih,” perintah Tia setelah membuka tudung saji.Namun, aku tidak langsung bergerak. Aku mencoba kembali mengamati gerak-gerik Tia. Tidak ada yang aneh, tetapi suara itu?“Mau nggak, Kak? Atau kita beli nasi bungkus saja? Tapi, Kakak yang jamin dan beli! Soalnya paha aku pegel banget, nih.”Deg. Tiba-tiba, aku kembali tersentak dengan kalimat Tia.Meskipun, aku belum menikah, tetapi aku sering baca artikel atau baca novel. Jadi, aku tahu kalau orang habis berhubungan badan akan kelelahan dan bagian kaki atau pahanya akan terasa pegal kalau jarang olahraga.“Aku tadi habis latihan lari untuk persiapan lomba tingkat kecamatan nanti.”Astagfirullah, astagfirullah, kenapa aku terus berprasangka buruk pada Tia? Bukankah Tia memang ditunjuk untuk mewakili sekolahnya di lomba tujuh belasan tingkat kecamatan nanti?Aku juga sih, yang salah. Kenapa juga dulu aku tidak terima saja tawaran mengajar di SMK tempat Tia sekolah? Dengan begitu kan, aku bisa mengawasi Tia.Merasa bersalah karena telah berpikiran jahat pada adik sendiri, aku mengiyakan permintaan Tia.Sepanjang makan bersama, aku mencoba menjadi Kakak yang baik untuk Tia.“Bagaimana sekolahnya, Tia?” tanyaku basa-basi. Intinya, aku ingin mengorek informasi yang mengganjal di kepalaku.“Ya, gitu, Kak. Belakangan ini di sekolah sedang banyak tugas. Jadi, butuh banyak biaya. Tapi, ibu sudah ngeluh dan nyuruh aku berhenti sekolah kalau aku terus minta uang.”Uang lagi?Aku berpikir sejenak. Bagaimana caranya agar aku bisa mengetahui ke mana saja uang yang digunakan Tia? Apa dia membayar Bang Udin untuk meladeninya? Tapi, kenapa harus Bang Udin? Lalu, kenapa harus Tia yang membayar Bang Udin?Aku menggeleng cepat, mencoba menepis semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.“Memangnya tugas apaan?”“Tia kan, sudah kelas tiga nih, Kak. Jadi, kami sering disuruh buat makalah. Kakak tahukan biaya print dan ngetik di rental itu mahal?”Oke, alasannya masuk akal. Sekarang, aku harus mencari cara untuk menyelesaikan semua itu. Aku harus menemukan titik tumpu atau benang merah dari alasan ini.“Kalau gitu pakai laptop Kakak saja. Nanti sekalian biar Kakak print-kan di sekolah Kakak, biar gratis.”“Tapi, tetap butuh uang, Kak. Kan ada banyak bahan yang harus difotokopi.”“Perasaan sekarang semua sekolah sudah pakai buku paket atau LKS. Kan, sekolah ada dana bos setahu Kakak.”Sekakmat. Aku yakin, Tia tidak akan punya jawaban lagi atas ucapanku.“SMK dan SMP itu beda, Kak. Bukan hanya buku paket yang digunakan, kami juga harus pintar-pintar cari bahan di internet untuk merancang sesuatu.” Tia beranjak dari tempat makannya. Dia berlalu ke kamar. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa setumpuk kertas.“Ini semua bahan yang baru selesai kufotokopi hari ini. Ini bahan untuk praktikum, Kak.”Wah, berarti benar apa yang diucapkan Tia?“Kalau begitu, Kakak kasi kamu segini cukup?” Aku memberinya uang dua puluh ribu.Melihat ketulusan dan kesungguhan Tia dalam belajar, aku jadi bertekad untuk lebih dekat dengannya. Dengan begitu, aku akan bisa lebih banyak tahu tentang dirinya. Siapa tahu saja dia diancam oleh Bang Udin untuk mencuri uangku, kan?Setelah menerima uangku dan mengucapkan terima kasih, Tia berlalu ke kamar. Aku sendiri langsung menuju pendopo depan rumah tempat aku mengajar.Karena hari ini tidak banyak anak yang masuk, jadi aku bisa selesai mengajarnya lebih cepat.Selesai membereskan semuanya, aku langsung menuju kamar. Namun, saat melewati depan pintu kamar Tia, aku mendengar suara yang aneh.“Astagfirullah, bukankah itu suara?” Aku menutup mulutku dengan rasa tidak percaya. Apakah Tia kini juga terjangkit film yang dewasa yang tidak boleh ditonton? Apakah ini yang menyebabkan Tia sampai rela mencuri dan membayar Bang Udin?Tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk pada Tia. Lebih baik aku masuk dan melihat langsung apa yang dilakukannya di dalam, kan?“Wulan, tadi kamu dicari sama nenekmu.” Suara ibu bikin aku terlonjak.“Astagfirullah,” ucapku hampir berteriak.“Kenapa sih, Lan?” Kak Dina tiba-tiba muncul di belakang ibu. “Kok, pakai teriak segala? Ibu hanya bilang kalau nenek mencarimu. Nenek bilang, ‘mentang-mentang sudah sarjana jadi sibuk sekali hingga tidak sempat menjenguk nenek.’” Kak Dina menyampaikannya dengan logat seolah-olah nenek benar-benar marah padaku. Matanya melotot melihatku, mulutnya monyong, dan wajahnya benar-benar cemberut.“Iya, Bu, nanti malam aku ke sana,” jawabku sambil mencoba menetralkan perasaanku.Beberapa hari ini, dari pagi sampai sore, Kak Dina dan ibu terus ke rumah nenek. Mereka membantu keluarga di sana. Minggu besok rencananya mau ada acara syukuran atas lahirnya cicit nenek yang pertama.“Tia nggak ikut ya, Bu. Lagi banyak tugas, nih.” Tia tiba-tiba muncul dari depan kamarnya dan bikin aku kaget lagi. “Nih, tadi coba memahami tugas bahasa inggris, mumet banget.” Tia memperlihatkan HP-nya pada
Tia diadili. Malam itu, kami akhirnya tidak jadi berangkat setelah salat magrib.Setelah wali kelas Tia pulang, ibu memutuskan untuk menunggu Tia. Aku dan Kak Dina pun memutuskan untuk ikut berkumpul di ruang tamu menemani ibu.Tidak lama kemudian, anak itu benar-benar muncul. Dia dengan santainya masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.Namun, Kak Dina tidak bisa menahan amarahnya. Dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi mulus Tia.“Ke mana saja kamu selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah? Sudah hebat kamu, ya? Sudah pandai bolos kamu, ya? Kamu kira hidup tanpa sekolah enak? Mau jadi apa kamu nantinya? Mau jadi gembel, pelacur?” Kak Dina meluapkan emosinya dengan membabi buta. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.Melihat Kak Dina ingin maju lagi, aku menarik Kak Dina. “Istighfar, Kak! Anak-anak melihatmu. Perilaku Kakak akan jadi contoh buat mereka.”Namun, Kak Dina tetap kekeh ingin melampiaskan emosinya. “Sudah, Kak.” Kali ini aku mencoba untuk sedikit
“A—a—apa yang.” Sulit sekali menyelesaikan kalimat yang ada di mulutku. Tenggorokanku tiba-tiba mendadak kering. Kepalaku langsung pusing. Tuhan, apa yang kulihat di depan mataku ini? Kenapa Tia bisa melakukan perbuatan laknat ini?Tuhan, selama ini, aku hanya membaca berita di gadget atau menonton di televisi. Lalu, sekarang?Setelah beristigfar berkali-kali di dalam hati dan menarik napas perlahan, aku baru bisa menguasai diri. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya saling berpandangan. Aku terisak lagi. Entah mengapa rasa marah, kesal, dan tidak percaya di dalam hati bikin aku ingin menangis meraung-raung.“Tia, Bang Udin, apa yang kalian lakukan? Kalian telah berzina!” Kalimat itu sengaja aku keluarkan agar mereka sadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. “Kalian akan mendapatkan dosa besar kalau sampai benar-benar melakukan perkara haram ini. Bahkan kalian bisa diarak keliling kampung. Dan kamu Tia. Kamu bisa hamil dan berhenti sekolah.”Sesak kembali memenuhi dadaku. Baga
“Itu balasan bagi orang yang sudah kepo sama kehidupan orang lain,” ucap Tia.“Tapi, kalian sudah keterlaluan. Kalian tidak boleh melakukan ini. Kalian telah berzina. Ini dosa besar,” ucapku, coba menyadarkan mereka dari kesalahan yang telah mereka perbuat.“Tahu apa kau tentang dosa, Kak?” Tia berjongkok di depanku. “Hidup kau sempurna. Kau memiliki segalanya. Aku?” Saat mengucapkan ini, matanya tampak berkaca-kaca. Dia seperti menyimpan suatu luka yang mendalam. Apakah itu disebabkan ulah ayah? Apa karena dia tidak diperhatikan oleh ibu?“Kau juga bisa punya kehidupan sempurna Tia. Kakak janji akan bantu kamu untuk kuliah.”Dia tersenyum sesaat. “Tapi, aku nggak mau," jawabnya. Kemudian, Tia mengulurkan tangannya di hadapanku.Aku terdiam. Sungguh, aku sangat bingung dengan semua keadaan ini. Tia yang tiba-tiba ketus. Tia yang ....“Nggak mau dibantu?” ucap Tia.Mendengar ucapan Tia, aku buru-buru menerima uluran tangannya.Seketika, saat aku hendak berdiri, dia memutar tanganku ke
Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti
Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi
Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk
“Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba