Share

Suara Aneh dari Dalam Kamar

“Astagfirullah.” Aku terperanjat saat kucing di hadapanku menyambar makanan yang ada di tanganku. Untungnya, aku tidak berteriak.

Karena gemetaran, langsung saja kutinggalkan makanan kucing itu di tanah.

Dengan tangan yang masih gemetar, aku melajukan motor secara perlahan.

“Astagfirullah, maaf, Bu.” Aku hampir saja menabrak ibu pejalan kaki saking tidak fokusnya.

Pikiranku terus dipenuhi banyak pertanyaan. Aku juga mulai yakin kalau Tia dan Bang Udin sudah melakukan perbuatan tidak senonoh.

“Namun, kenapa Tia memberikan uang yang dia curi ke Bang Udin?” Aku kembali berbicara pada diri sendiri seperti orang gila.

Setibanya di rumah, aku langsung minum air putih yang banyak.

Ya Allah, apakah ini nyata? Sungguh, aku tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.

Tia anak yang baik, tidak pernah sekali pun dia buat masalah selama ini.

“Assalamualaikum.”

Aku menoleh pada sumber suara.

“Tia?”

“Iya, Kak. Kok, kayak orang lihat setan gitu? Kan, Tia baru pulang sekolah.”

Aku mengamati gadis berkulit putih di hadapanku. Bajunya rapi, tidak ada kotoran atau noda sedikit pun.

Kalau dia yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh tadi, mungkin bajunya akan kotor.

“Tapi bagaimana kalau dia melakukannya sambil melepas semua pakaiannya?”

“Kenapa, Kak?” tanya Tia tiba-tiba.

Ternyata gumamanku di dengar oleh Tia.

“Tidak,” jawabku lalu buru-buru minum air putih lagi.

“Kak, gorengin ikan, dong! Lapar, nih,” perintah Tia setelah membuka tudung saji.

Namun, aku tidak langsung bergerak. Aku mencoba kembali mengamati gerak-gerik Tia. Tidak ada yang aneh, tetapi suara itu?

“Mau nggak, Kak? Atau kita beli nasi bungkus saja? Tapi, Kakak yang jamin dan beli! Soalnya paha aku pegel banget, nih.”

Deg. Tiba-tiba, aku kembali tersentak dengan kalimat Tia.

Meskipun, aku belum menikah, tetapi aku sering baca artikel atau baca novel. Jadi, aku tahu kalau orang habis berhubungan badan akan kelelahan dan bagian kaki atau pahanya akan terasa pegal kalau jarang olahraga.

“Aku tadi habis latihan lari untuk persiapan lomba tingkat kecamatan nanti.”

Astagfirullah, astagfirullah, kenapa aku terus berprasangka buruk pada Tia? Bukankah Tia memang ditunjuk untuk mewakili sekolahnya di lomba tujuh belasan tingkat kecamatan nanti?

Aku juga sih, yang salah. Kenapa juga dulu aku tidak terima saja tawaran mengajar di SMK tempat Tia sekolah? Dengan begitu kan, aku bisa mengawasi Tia.

Merasa bersalah karena telah berpikiran jahat pada adik sendiri, aku mengiyakan permintaan Tia.

Sepanjang makan bersama, aku mencoba menjadi Kakak yang baik untuk Tia.

“Bagaimana sekolahnya, Tia?” tanyaku basa-basi. Intinya, aku ingin mengorek informasi yang mengganjal di kepalaku.

“Ya, gitu, Kak. Belakangan ini di sekolah sedang banyak tugas. Jadi, butuh banyak biaya. Tapi, ibu sudah ngeluh dan nyuruh aku berhenti sekolah kalau aku terus minta uang.”

Uang lagi?

Aku berpikir sejenak. Bagaimana caranya agar aku bisa mengetahui ke mana saja uang yang digunakan Tia? Apa dia membayar Bang Udin untuk meladeninya? Tapi, kenapa harus Bang Udin? Lalu, kenapa harus Tia yang membayar Bang Udin?

Aku menggeleng cepat, mencoba menepis semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

“Memangnya tugas apaan?”

“Tia kan, sudah kelas tiga nih, Kak. Jadi, kami sering disuruh buat makalah. Kakak tahukan biaya print dan ngetik di rental itu mahal?”

Oke, alasannya masuk akal. Sekarang, aku harus mencari cara untuk menyelesaikan semua itu. Aku harus menemukan titik tumpu atau benang merah dari alasan ini.

“Kalau gitu pakai laptop Kakak saja. Nanti sekalian biar Kakak print-kan di sekolah Kakak, biar gratis.”

“Tapi, tetap butuh uang, Kak. Kan ada banyak bahan yang harus difotokopi.”

“Perasaan sekarang semua sekolah sudah pakai buku paket atau LKS. Kan, sekolah ada dana bos setahu Kakak.”

Sekakmat. Aku yakin, Tia tidak akan punya jawaban lagi atas ucapanku.

“SMK dan SMP itu beda, Kak. Bukan hanya buku paket yang digunakan, kami juga harus pintar-pintar cari bahan di internet untuk merancang sesuatu.” Tia beranjak dari tempat makannya. Dia berlalu ke kamar. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa setumpuk kertas.

“Ini semua bahan yang baru selesai kufotokopi hari ini. Ini bahan untuk praktikum, Kak.”

Wah, berarti benar apa yang diucapkan Tia?

“Kalau begitu, Kakak kasi kamu segini cukup?” Aku memberinya uang dua puluh ribu.

Melihat ketulusan dan kesungguhan Tia dalam belajar, aku jadi bertekad untuk lebih dekat dengannya. Dengan begitu, aku akan bisa lebih banyak tahu tentang dirinya. Siapa tahu saja dia diancam oleh Bang Udin untuk mencuri uangku, kan?

Setelah menerima uangku dan mengucapkan terima kasih, Tia berlalu ke kamar. Aku sendiri langsung menuju pendopo depan rumah tempat aku mengajar.

Karena hari ini tidak banyak anak yang masuk, jadi aku bisa selesai mengajarnya lebih cepat.

Selesai membereskan semuanya, aku langsung menuju kamar. Namun, saat melewati depan pintu kamar Tia, aku mendengar suara yang aneh.

“Astagfirullah, bukankah itu suara?” Aku menutup mulutku dengan rasa tidak percaya. Apakah Tia kini juga terjangkit film yang dewasa yang tidak boleh ditonton? Apakah ini yang menyebabkan Tia sampai rela mencuri dan membayar Bang Udin?

Tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk pada Tia. Lebih baik aku masuk dan melihat langsung apa yang dilakukannya di dalam, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status