Share

Bab 7

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 21:18:09

"Cieee, nungguin suami, ya?"

Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk."

"Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?"

Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda.

"Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya."

Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam.

"Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya.

"Duluan ya, Nis."

Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghrib. Tiba-tiba kurasakan getaran di dalam tas.

"Bang Juned ngapain telpon?" gumamku sendiri.

"Apaan, Bang? Udah sampe mana? Jadi enggak jemputnya?" Aku menghela napas panjang. Pasti dia pun dengar.

"Satu-satu dong, Nisa! Aku udah sampai bandara."

"Hah? Kok sampai sana? Pasti enggak jadi jemput kan? Makanya jangan janji-janji terus!"

"Ya-ya, maaf deh. Kamu naik taksi online aja, ya. Lain kali aku jemput kalau bisa."

"Kenapa dari tadi enggak ngabarin? Kalu tau gini kan aku langsung pulang tadi."

"Iya-iya, Sayang. Maafin Abang. Nanti Abang pulang bawain kamu coklat deh."

"Dih, ogah. Janji lagi kan ini pasti. Orang tadi bilangnya enggak pulang, pulangnya besok!"

Terdengar suara tawa di seberang sana yang membuatku makin bersungut dan ingin mencubit perutnya itu. Setelah panggilan berakhir, aku segera memesan taksi. Namun, saat hendak masuk ke dalam mobil taksi yang sudah sampai, tak sengaja malah melihat kemesraan Revan dan April di parkiran seberang jalan.

Dadaku semakin bergemuruh dan ingin mengumpat mereka. Sepertinya mereka sengaja memperlihatkan kelakuan mereka itu padaku. Sengaja juga April memeluk pria itu sambil menoleh ke arahku. Awas saja kalian!

"Jalan, Pak!" kataku setelah di dalam mobil.

Kenapa nasibku begini banget ya, Allah? Tega bener Bang Juned bikin aku kesal berkali-kali. Sesampainya di rumah, aku pun segera turun setelah membayar taksi. Baru juga membuka gerbang rumah itu, aku pun langsung dihadapkan dengan penampakan mobil-mobilan asing di depan sana.

"Pak, ada tamu?" tanyaku pada satpam jaga.

"Iya, Mbak. Tuan sama nyonya," balas satpam yang sudah lumayan lama kerja dengan keluarga Bang Juned itu.

"Waduh." Aku pun buru-buru membelok kembali keluar lagi. "Pak, jangan bilang-bilang ya, kalau saya sudah pulang!" Satpam rumah itu terlihat bingung melihat gelagatku yang langsung pergi dari sana.

Akhirnya, aku pulang ke rumah tempatku tinggal sebelum menikah. Aku belum siap bertemu orang tua Bang Juned yang kabarnya tinggal di luar kota itu. "Mah, Pah!" Kuketuk gerbang rumah, tapi tidak ada sahutan. Satpam jaga juga tidak ada. Tapi, lampu teras sudah menyala.

Apa mereka tidak ada di rumah? Seiring azan Maghrib berkumandang, masih tak juga ada sahutan dari dalam. Aku pun terpaksa memanjat pagar dan akhirnya berhasil. Untung saja aku tahu di mana papa mama biasanya menyimpan kunci cadangan. Perlahan kucari di bawah pot bunga dekat pintu dan ... aku menemukannya.

Masih dengan peluh membanjiri, aku bisa masuk ke dalam. Di dalam terlihat sepi, pembantu pun tak ada kelihatan. "Mbak! Mbak!"

Pasti sengaja rumah dikosongkan karena mereka mau liburan. Astaga, apa mereka lupa denganku sampai aku tidak diajak atau sekadar pamit pun tidak ada kabar. Kutekan telepon berkabel sambil duduk di sofa, melepas penat dan lelah.

"Hallo, Mah! Pada ke mana, sih? Rumah sepi amat."

"Loh, kamu pulang? Suami kamu tau enggak?"

"Enggak."

"Loh, gimana sih kamu, Nisa! Pamit dulu sama si Juna! Kami sudah percayakan kamu sama dia."

"Mama ngomel terus, gimana Nisa bisa jelasin? Ceritanya panjang deh, sekarang kalian di mana?"

"Mama nganter papa berobat ke Singapore. Semua pembantu dan satpam sengaja diliburkan."

"Apa? Papa kenapa, Mah? Kenapa enggak bilang sama Nisa? Mbak Bella ke mana? Si Amran?"

"Mbakmu kan sudah menikah, ya sama suaminya lah. Si Amran sekarang ambil S2 di Kanada. Udah, ya, Mama mau temani papa dulu. Papa belum makan."

"Mah, papa gimana keadaannya?"

Tiba-tiba mataku pedas. Air mata tiba-tiba keluar karena teringat dengan mereka. Aku sangat menyayangi mereka. Tapi, mama hanya membalas singkat saja. Mungkin begini cara mereka membuatku dewasa. Selama ini segala sesuatu yang menyangkut kebutuhanku, mereka yang urus.

Belum lama setelah panggilan, ponselku berdering. Tampak panggilan dari Bang Juned lagi. Mau apa lelaki ini? "Hem." Tapi, setelah kuangkat, lelaki itu malah beralih pada panggilan video.

"Apa sih, Bang?" Tampak sekarang wajah pria berseragam pilot itu.

"Nisa, kamu di mana sekarang? Kata mama kamu belum pulang."

"Aku belum siap ketemu mama kamu, Bang."

"Astaghfirullah. Mereka mertua kamu, Nisa. Eh, mata kamu kenapa? Kamu habis nangis?"

"Udah tau nanya!"

"Ya Allah, gitu amat ditanyain suami sendiri. Btw, masih kerasa enggak kecupan di kening kamu tadi?" Lagi-lagi dia meledekku.

"Enggak! Udah, ya, aku mau istirahat."

"Lah, kamu lagi di mana? Jangan pergi jauh-jauh, Nis!"

"Memangnya kalau aku pergi jauh, Abang bakal pulang cepet? Enggak kan?"

"Hah? Apa? Enggak begitu jelas. Di sini hujan deras. Semua penerbangan delay."

"Ya udah!" Kututup panggilan dengan sepihak.

Setelah menutup pintu, aku langsung pergi ke kamarku sendiri. Lalu mandi dan ganti baju dengan piyama. Kuhabiskan waktu di kamar sambil menatap bingkai foto kami sekeluarga. "Mah, Pah, Mbak Bella, Amran, kalian kenapa sih ninggalin aku? Aku kangen. Enggak ada siapa-siapa di sini."

Sudah lewat pukul sembilan malam. Tiba-tiba juga perut berbunyi. Aku lapar. Mau masak, tapi malas. Padahal di kulkas tadi kulihat masih ada telur dan ikan. Masak mie instan pun sudah lemas. Aku meletakkan dagu pada meja tempatku mengerjakan sesuatu.

Ponsel di atas meja dekat wajahku itu pun tiba-tiba menyala. Ada panggilan lagi. Setelah kulihat, pundakku luruh karena membaca kontak nama lelaki itu lagi. Aku dengan sengaja tidak mengangkatnya. Kutinggal pergi ke dapur untuk minum air. Tapi, dari balik jendela kaca, tiba-tiba aku melihat bayangan sosok lelaki bertubuh tinggi tegap. Badannya kekar seperti tak asing tapi berhasil membuatku ketakutan.

Semua lampu kumatikan dengan cepat karena takut jika sosok tadi adalah perampok. Jangan-jangan dia tahu kalau rumah ini kosong? Apa dia lompat pagar tadi? Kututup telinga sambil berlari ke sofa, ruang tengah.

Suara ketukan tiba-tiba bunyi. Ya Allah, jangan sampai dia bisa masuk. Apa jangan-jangan Revan? Dia kan memang nekat. Ya Allah, tolong! Dalam temaram malam itu, hujan pun turun semakin deras. Air mataku kembali keluar karena ketakutan. Apalagi saat melihat pintu rumah terbuka, aku lupa menguncinya tadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   105

    "Aku enggak nyangka, masa anak baru umur berapa bulan, udah positif lagi." Humaira mengeluh. "Hem, gimana lagi, Sayang. Udah terlanjur juga. Kamu gimana? Masih kuat, kan? Masih muda juga." Aku tertawa saat Humaira mencubit perutku. Kami duduk di kursi ayunan samping rumah sambil menimang balita kecil itu. "Mas Jaya," panggil kekasihku itu. Aku sangat mencintainya. "Ada apa, Sayang?" Kubelai rambutnya yang tergerai panjang. Kebetulan area sini masih private, tak ada yang boleh masuk setelah kukunci pintu samping. Tukang kebun yang ingin merawat tanaman pun kuminta nanti saja. Sampai istriku puas menikmati waktu berdua denganku dan anak kami. "Mas. Mas sayang enggak sama aku?""Kamu beneran nanya ini sama aku? Kenapa, Sayang? Apa kamu masih ragu?" Aku kaget dia tanya seperti itu. Padahal, aku sangat mencintainya."Aku dengar, perempuan kalau sudah melahirkan, sudah enggak cantik lagi. Suaminya pasti udah enggak berselera lagi.""Eh, kata siapa? Aku enggak gitu. Kamu percaya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status