"Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka.
"Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan"."Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?"Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu."Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu.*Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kampung halaman, belum hilang dari benaknya. Ada sedikit rasa penyesalan dalam hatinya. "Andaikan aku tak berada dikebun ini, mungkin aku tak perlu mendengar percakapan itu.""Andaikan segalanya berjalan seperti biasa, aku harusnya sudah bisa berbaring santai di pos surgawi," desahnya. "Andai segala sesuatu berja-."Deg … sesaat jantung Jovan serasa berhenti saat ia menyadari sesuatu. "Ada yang aneh, pasti ada sesuatu yang direncanakan kepala pelayan itu.""Tak ada satupun pelayan yang berjaga malam ini. Kopi ini aku terpaksa membuat sendiri, padahal dia bilang untuk memberi tahu pelayan bila butuh sesuatu," ingatnya tentang instruksi dari kepala pelayan tadi. "Tak benar rasanya situasi ini. Aku harus kembali ke pos surgawi! Tak mungkin count meminta seorang prajurit penjaga untuk berjaga dikebun belakang seperti ini."Jovan bergegas menuju ke pos depan. Tempat yang tepat dan seharusnya dia berada. "Tak ada gunanya menjaga pekarangan barak prajurit."Kebun belakang rumah walikota memang berbatasan langsung dengan pekarangan barak prajurit. Pada masa pemerintahan Sir Agnus, count sebelumnya, tidak ada dinding tembok yang membatasi kedua halaman tersebut. Beliau suka menonton prajurit yang sedang berlatih. Beliau juga sering meminta latih tanding dengan beberapa prajurit yang ada, untuk sekedar berolahraga ringan.Tembok itu mulai dibangun Count Armand ketika putrinya beranjak remaja. Putri Carmen kecil sering ikut bersama kakeknya untuk menonton latihan prajurit. Bahkan beberapa pimpinan regu memberikan pelatihan dasar beladiri dan dasar ilmu militer.Kedua kakeknya, Sir Agnus dan besannya Sir Duval yang merupakan mantan grand knight juga ikut memberi latihan beladiri dan ilmu berpedang pada satu-satunya cucu perempuan mereka itu.Berkat pelatihan tersebut, Count Armand merasa bahwa ia memiliki dua orang putra yang pemberani. Harapan Count Armand untuk memiliki putri yang lembut dan anggun hilang, ketika melihat pertumbuhan putrinya yang sehari-hari lebih suka memegang pedang, dan menghabiskan waktu bersama prajurit."Besok aku akan menuju Desa Mapple!" ancam Putri Carmen. "Meskipun Ayah tidak memberikan ijin, aku akan tetap berangkat!"Brak! Terdengar pintu ditutup keras dan suara Count Armand memohon, mencoba menenangkan putrinya.Tak terdengar lagi suara perdebatan antara ayah dan putrinya itu. Hening dan sunyi menguasai keadaan. Ditelan oleh gelapnya malam, keheningan yang menghisap segalanya itu membawa kembali samar-samar kenangan Jovan dimasa lalu. "Aku juga sering berdebat dengan ayahku."Tiba-tiba datanglah kereta kuda yang nampak asing. "Itu bukan lambang keluarga bangsawan lokal di Carthania. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini?"Jovan beranjak keluar untuk memeriksa siapa yang datang tersebut, dan apa tujuannya datang ke kediaman walikota di waktu yang kurang tepat ini.Jovan mengintip sedikit untuk memantau situasi. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat Hector yang nampak berantakan dan lusuh menjadi kusir dari kereta kuda itu. Hector turun dari kereta, meregangkan punggungnya, menghela nafas dan membungkukkan punggung untuk memegang kedua lututnya. Sepertinya dia benar-benar lelah setelah menempuh perjalanan panjang."Firasatku benar ternyata! Pasti ada sesuatu yang direncanakan kepala pelayan itu. Hector juga pasti terlibat. Aku harus waspada," batin Jovan.Jovan mengintip lagi untuk melihat sosok didalam kereta tersebut, yang tidak segera turun dari dalam kereta itu.Setelah menunggu sesaat. Akhirnya penumpang didalam kereta itu turun. Jovan mengintip kembali untuk memastikan siapa yang datang tersebut. "Berkerudung ... siapa kira-kira orang itu? Apa yang hendak mereka lakukan?"Dalam gelapnya malam, Jovan tak dapat melihat dengan jelas sosok berkerudung tersebut. Satu hal yang menambah rasa curiga, adalah Hector membawa pedang. Sekretaris walikota itu, terkenal sebagai aktivis pencinta perdamaian. Tak pernah sekalipun Hector membawa pedang dalam kesehariannya."Bangsat! Munafik itu pernah mengusulkan pengurangan anggaran militer. Dia menyarankan pembelian cangkul, ketika jendral kami meminta pedang!" kecam Jovan.Mengingat kembali ketika Jovan pernah bertugas untuk berjaga di kantor walikota, dia mendengar sendiri Hector sang sekretaris berdebat dengan Cedric dalam rapat anggaran tahunan. "Ini masa damai, kirimkan saja prajuritmu ke ladang, dan berikan cangkul pada mereka. Itu sama saja dengan latihan fisik, kan? Tubuh bisa lebih kuat, hasilnya pun bisa kalian panen sendiri kelak. Lumayan bisa mengurangi anggaran ransum."Jovan semakin meradang ketika mengingat sindiran pedas Hector kepada pimpinannya tersebut. Andai tidak dihentikan oleh jendral waktu itu, mungkin Letjen Milan akan langsung menjadi seorang kriminal pelaku penganiayaan."Orang tak dikenal dan sekretaris munafik membawa pedang. Datang berkunjung di malam hari. Ini namanya peluang untuk promosi! Kesempatan untuk membalas perlakuan yang merendahkan pimpinan kami waktu itu," Jovan menyimpulkan.Jovan berpikir cepat. Tak ada waktu untuk memanggil bala bantuan. "Menjadi berani, bukan berarti harus menjadi bodoh," gumam Jovan seorang diri. "Lawanku hanya kepala pelayan, sekretaris, dan orang berkerudung yang mencurigakan itu. Wajah datar dan sekretaris munafik itu seperti kado ulangtahun bagiku, tinggal terima dan buka bungkusnya," desis Jovan. "Kerudung misterius ini masalahnya … aku yakin dia ini seorang pembunuh bayaran."Jovan melihat dua orang itu memasuki rumah dengan terburu-buru, meninggalkan kereta kudanya begitu saja. "Cerobohnya mereka ini, menyewa pembunuh bayaran dan datang kemari dengan kereta kuda."**Terlindung dari arah pandang Jovan yang terlampau fokus pada kedua orang itu, sesosok misterius memantau dari seberang jalan. Prajurit penjaga itu tidak menyadarinya sama sekali. "Mereka masuk dengan mudah! Pintu tak terkunci. Sudah pasti wajah datar itu terlibat," umpatnya dalam hati. "Terlalu sunyi suasana rumah ini, jangan-jangan dia memberi obat bius pada seluruh anggota keluarga.""Waktunya bergerak ... tunggulah aku tiket promosiku ... sekarang atau tidak sama sekali!" Jovan bergerak cepat dan tenang. Dilepaskannya baju zirah ringannya untuk lebih mempermudah gerakan. Pedang panjangnya pun diganti pedang yang lebih pendek. Perisai ditinggalkannya, dan sesaat dia ragu."Apa yang harus kulakukan dengan suar ini?"Jovan memutuskan untuk menyelesaikan semua ini sendiri dan meninggalkan suarnya. Jovan masuk ke dalam rumah. Dan seketika dia sadar, dalam kegelapan ini, dia tidak tau denah dan arah didalam rumah ini.Jovan mulai menyusuri selasar dan mulai mencari kedua orang mencurigakan itu. Jovan berusaha mencari letak kamar tuan rumah, sasaran mereka pasti Count Armand. Pria yang baik itu tidak mengenal beladiri sama sekali. Semua orang tau permasalahan itu. Bakat beladiri dari Sir Agnus turun bukan pada anaknya, tapi turun pada cucu-cucunya."Gawat! Aku bisa terlambat," Jovan takut membayangkan sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada Count Armand. Bergegas dia memasuki setiap ruangan yang bisa dibukanya. Tak menemukan apapun dilantai dasar, Jovan bergegas menuju tangga untuk naik ke lantai atas.Sret ... Sekilas Jovan melihat bayangan hitam diluar jendela. Secepat yang dia mampu, dibukanya jendela dan dicarinya apa yang terlihat mencurigakan."Nihil ... tak ada satupun yang terlihat. Dimana mereka sebetulnya berada?""Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel
"Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y
"Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant
"Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem
"Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka
"Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se