Aku kembali memasuki area perbelanjaan. Penat hari ini semakin bertambah. Bertemu dengan Tante Asa lalu Sasi, bensar-benar menguras energi. Tante Asa yang terang-terangan memintaku untuk berpisah dari Saka, lalu Sasi yang terang-terangan mengakui kelicikannya bersama Danar. Kepalaku masih berdenyut. Mungkin dengan kembali berbelanja bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Aku mengambil kembali keranjang belanjaan lalu melangkah menuju bagian kebutuhan sehari-hari.Aku berjalan melewati lorong-lorong barang, sambil mengingat kembali barang apa saja yang memang kuperlukan. hingga sebuah panggilan membuatku menoleh. "Nada? Kamu Nada?" Aku melihat ibu Delia berdiri menatapku tajam. "Bu!" Aku menyapa dengan menganggukkan kepala. Perlahan beliau berjalan mendekat lalu tiba-tiba..Plak! Secepat itu menamparku. Tanpa kuduga. Dan suara tamparan yang begitu nyaring itu, membuat beberapa pengunjung di sekitarku menoleh kaget. Aku tersentak, rasa perih seketika menjalar di pipi. "Pelakor!"Ka
Beberapa hari berlalu, namun bayang-bayang pertemuan Saka dengan ibunya masih menghantui. Aku tahu Saka berusaha tegar, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kebingungan. Aku pun demikian, diliputi rasa bersalah yang semakin dalam. Keputusanku untuk merahasiakan pernikahan ini, keputusan yang semula kupikir akan melindungi Saka, justru berbalik menjadi bumerang yang mengancam masa depannya. Tak bisa terus menerus meratapi keputusan ini, aku yakin akan ada jakan keluar yang akan kami temui. Hingga pertemuan yang tak bisa kuhindari. Bertemu dengan Tante Asa, saat aku memutuskan untuk pergi ke mal sendirian. "Nada?" Aku menoleh. Di hadapanku, berdiri Tante Asa, ibu Saka. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya tajam. Jantungku berdebar tak karuan. Ini kali pertama kami bertemu secara langsung setelah kabar pernikahan kami mencuat. "Tante Asa," sapaku pelan, merasa canggung. "Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya, suaranya tenang, namun ada nada perintah yang tak bisa d
Aku menatap Saka, mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Syarat dari keluarga Delia, tentang tidak berhubungan dengan siapapun selama setahun, terasa seperti tembok tebal yang tiba-tiba muncul di antara kami. Aku menghela nafas berat. "Saka," ucapku pelan, meraih tangannya yang masih memegang amplop cokelat. "Mengenai pernikahan kita... bisakah kita merahasiakannya dulu untuk sementara waktu?" Saka menatapku, matanya memancarkan kebingungan, namun ada juga sedikit rasa sakit. "Maksudmu... kita menyembunyikannya?" Aku mengangguk ragu. "Aku tahu ini berat, Saka. Tapi, dengan rumor yang belum jelas ini... dan syarat dari keluarga Delia... aku rasa akan lebih baik jika kita tidak mempublikasikan pernikahan kita untuk sementara. Setidaknya, sampai semua ini mereda dan kita menemukan cara untuk menghadapinya." Saka menghela napas panjang, sorot matanya menunjukkan betapa berat keputusan ini baginya. "Jadi, aku harus berpura-pura bahwa kita belum menikah?" "Bukan berpura-pu
Ehem!" Dehem Saka, yang tiba-tiba membuat bulu kudukku meremang. Aku cepat-cepat menghindar dengan merapikan beberapa barang yang Saka bawa. Bahkan saat makan malam, Saka tak henti-hentinya mengirim sinyal.Setelah aku melangkah menuju kamar, Saka segera menyusul. Dengan perlahan mendekatiku. Tangannya melingkar dipinggang danxmenghirup rambutku dalam-dalam. Aku berbalik menatapnya. Keheningan malam yang menyelimuti kami berdua, membawa nuansa beda yang tergambarkan kata.Akhirnya, setelah sekian lama terpisah, kami bisa merasakan kedekatan ini. Kedekatan yang menjadi pengikat antara aku dan Saka. Beberapa waktu berlalu. Saka menatapku lembut, senyumnya menghapus sedikit demi sedikit wajah sayunya. Aku tersenyum menatapnya. “Malam ini… adalah malam pertama kita yang sesungguhnya, Nada,” bisiknya, suaranya sedikit parau namun penuh kehangatan. Aku hanya mengangguk, jantungku berdebar tak karuan. Ada rasa canggung, tentu saja. Perjalanan kami terlalu berliku, terlalu banyak rasa sa
Pemakaman Delia berlangsung dalam balutan duka yang mendalam. Saka, yang selama ini dikenal keluarga Delia dan pihak rumah sakit sebagai suami Delia, mengurus segala sesuatunya bersama kedua orang tua Delia. Mereka terlihat begitu terpukul, air mata tak henti-hentinya membasahi pipi mereka yang sembab. Saka berdiri dengan tegar. Dia sesekali mengusap punggung ibu Delia, mencoba memberikan kekuatan dalam kesedihan. Aku datang ke pemakaman dengan ibu. Kami berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah lindungan pohon kamboja yang rindang. Ibuku menggenggam tanganku erat, seolah memberiku kekuatan dan ketenangan di tengah gejolak perasaanku yang tak menentu. Antara Delia juga Saka. Berkali-kali ibu melirikku. Mungkin memastikan, jika aku baik-baik saja dalam kondisi ini. Aku menoleh, lalu tersenyum menatap ibu. Meski aku juga tahu, ini adalah hal yang berat juga bagi ibu karena harus bertemu dengan Tante Asa. Orang tua Delia dan Tante Asa, iampak begitu harmonis dalam duka. Tante Asa
Denting jam dinding di lobi rumah sakit seakan mengukir setiap detik kesunyian yang mencekam. Suara klakson yang memekakkan telinga dan deru mesin yang tak henti-hentinya bersahutan di luar, kini tak lagi kuhiraukan. Fokusku hanya satu: Rumah Sakit. Sebuah kekalutan yang tiba-tiba merayapi diriku, menyelimuti segala emosi yang sebelumnya kurasakan. Delia. Ada apa dengannya? Kenapa Saka terdengar begitu panik? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di benakku, memicu detak jantungku berpacu tak karuan. Kedatangan di Rumah Sakit Setibanya di rumah sakit, aku memarkirkan mobil dengan tergesa-gesa, bahkan tak peduli apakah posisinya sudah sempurna atau belum. Lobi rumah sakit terasa begitu dingin, kontras dengan suhu tubuhku yang justru terasa panas-dingin, campuran antara cemas dan takut. Aku melangkah cepat, kaki-kakiku seakan memiliki dorongan sendiri, menuju area UGD, tempat keramaian sudah terlihat dari jauh, samar-samar terdengar suara isak tangis dan bisikan-bisikan khawatir. Begi