Sidang mediasi, berakhir dengan jalan buntu. Mas Danar menolak semua poin yang kuajukan. Hakim mediator hanya bisa menghela napas panjang, lalu menutup sidang dengan catatan : tidak tercapai kesepakatan. Hingga saat waktu istirahat siang tiba, aku dan Bimo memutuskan untuk menepi sejenak ke sebuah kafetaria kecil di sisi kanan gedung Pengadilan Agama Surabaya. Udara panas yang bercampur gerah, seakan menambah pikiranku makin penat. Aku hanya ingin duduk, diam, dan menyeruput segelas teh manis. Bimo membelikan kami dua porsi nasi rames dan duduk tepat di depanku. Kami tidak langsung bicara. Masing-masing larut dalam pikiran. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Langkah kaki tergesa disertai bunyi dari heels tinggi mengisi ruangan. Aroma parfum berharga mahal mendahului sosok yang kemudian berdiri tepat di sisi meja kami. Rambut panjang kecokelatannya tergerai, wajahnya penuh riasan, bibir merah menyala menambah sensual dan mata tajam yang menusuk ke arahku. "Jadi, karena
Aku tak tenang menunggu sore tiba. Setelah Adzan Ashar berkumandang, aku segera berpamitan untuk pulang. Seperti biasa Mbok Nah segera menyapa dan bertanya begitu aku ssmpai. "Capek, Nduk? Mau makan dulu?" "Ntar aja Mbok. Aku mau ke kamar dulu!" Mbok Nah mengangguk lalu menyiapkan keperluan untuk makan di meja makan. Langkahku terasa begitu berat kali ini. Aku sendiri tak paham. Apakah tubuhku memang terasa lelah atau karena beban ysng semakin bertambah. Sesampainya di klamar, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelahnya menggelar sajadah dan bersimpuh melaksanakan kewajiban. Air mataku mengalir tanpa diminta. Bukan karena aku lemah, tapi karena semuanya terlalu menyesakkan. Sasi… Ilham… Apa aku selama ini terlalu polos atau hanya pura-pura tidak tahu? Ternyata semua bukan soal cinta. Tapi soal pengkhianatan yang direncanakan dengan sangat rapi. Soal kerakusan. Soal tipu daya yang membuatku harus jadi pi
Siang mulai menjelang. Tak terasa, perutku mulai melilit karena lapar. Setelah memesan makanan lewat aplikasi online untuk para tukang, aku berniat mencari kopi dan tempat untuk duduk dengan nyaman. Mataku segera menangkap warung kecil yang agak jauh dari lokasi klinik. Tanpa sungkan, aku berjalan kaki untuk menuju ke sana. Sepertinya aku butuh ruang untuk menenangkan pikiran. Terlebih setelah bertemu Sasi dan Mas Danar, kurasa cukup banyak energi yang telah terkuras.Sesampainya di warung, aku memilih tempat dengan sekat, kupikir agar aku lebih leluasa menikmati waktu. hanya memesan kopi hitam dan beberapa roti isi untuk pengganjal. Setelah pesanan datang, aku menikmatinya perlahan.Sesekali, aku melihat sekeliling warung yang memang ramai dengan pengunjung. Sambil menatap layar ponsel dan membaca ulang pesan dari Bimo. Mencoba untuk merenung di antara langkah besar yang akan kuambil minggu depan. "Mediasi pertama dijadwalkan hari Senin, pukul sembilan pagi. Lo
Sudah lima hari sejak pertemuanku dengan Bimo dan Delia belum ada kabar hingga hari ini. Hanya saja, Bimo sudah menyampaikan jika semua berjalan lancar dan Mas Danar tidak mangkir, surat panggilan sidang bisa sampai dalam waktu 10 atau 14 hari kerja. Semua tergantung domisili, beban perkara juga respon pihak tergugat. Aku benar-benar menyerahkan segalanya pada Bimo. Dan selama masa tunggu itu, aku memilih fokus pada mimpiku yang lama tertunda, mengawasi pembangunan klinik gigiku. Papan nama lama bertuliskan “Pramesthi Dental Care – Coming Soon” yang mulai lapuk dan penuh debu itu, akhirnya diturunkan pagi ini. Aku berdiri di bawah scaffolding, mengenakan helm proyek kuning dan rompi reflektif yang diberikan mandor agar lebih aman berkeliling lokasi renovasi. Hari itu, aku ikut mengawasi pemasangan kabel dan pemetaan ruang tunggu. Tak jarang aku harus naik ke lantai dua yang akan digunakan sebagai area administrasi dan mushola kecil. Kali ini aku turun dan m
Kami bertiga duduk kembali. Setelah pelayan pergi mencatat pesanan, Delia membuka pembicaraan. "Bim, masih ingat kan, Nada?" Delia melirik Bimo dengan senyum. Bimo mengangguk. Sesaat wajahnya memerah. "Aku tersanjung kau meminta bantuanku, Nada!" Aku mengangguk. "Delia bilang, kau bisa diandalkan!" Gurauku. Kami tertawa berbarengan. "Syukurlah. Baru kali ini Delia berkata benar tentangku!" "BIMO!" Delia memukul lengan Bimo dengan gemas. Aku hanya tertawa menyaksikan mereka. Ternyata seramai ini punya saudara. "Aku sangat berharap, kau mengandalkanku dalam segala hal!" Aku membelalakkan mata. "Kau siap?" Tanyaku meyakinkan. Bimo mengangguk dengan mantap sementara Delia bertepuk tangan senang. "Ah, aku selalu berharap sahabat terbaikku bisa menjadi saudaraku!" Lagi-lagi kami tertawa. Percakapan terhenti sesaat, kala pelayan mengantarkan pesanan kami. Setelah pelayan pergi, aku mendehem s
Pagi itu, langit cerah. Aku tiba di Jalan Wijaya Kusuma No. 21, lokasi yang dulu pernah direncanakan ayah untuk klinik gigi milikku. Bangunan itu masih berdiri kokoh, meski mulai kusam dan ditumbuhi semak di beberapa sisi. Papan tua bertuliskan “Pramesthi Dental Care – Coming Soon” masih tergantung, seperti saksi bisu dari impian yang tertunda. Saat aku sedang memotret bagian luar dan mencatat beberapa sudut untuk renovasi, suara langkah sepatu terdengar dari belakang. “Maaf?” suara bariton seorang pria menyapaku. “Saka?” Kataku tak percaya. Ia tersenyum kecil. “Nada. Kita bertemu lagi!" Aku mengangguk. “Kamu... sedang apa di sini?” tanyaku. “Ada survei bangunan. Rumah sakit kami sedang menjalin kerja sama dengan beberapa klinik cabang. Tapi… begitu lewat sini, aku lihat kamu lagi berdiri.” Tatapannya tak lepas dari mataku. Aku tersenyum tipis. “Tempat ini memang pernah jadi rencana besarku. Tapi dulu aku memilih mundur. Sekarang… aku kembali.” Saka mengangguk. “Kamu masih se