Kau Bisa, aku juga 5 Jangan remehkan seseorang yang sudah kenyang makan kecewa. Dia bisa melakukan apapun diluar dugaan."Hani! Kelewatan kamu, ya!" Bu Lasmi malah meninggikan suaranya. Iiieeuuuh! Kelewatan dia bilang? Aku mengerling malas. Kemudian kubuka tudung saji dimana ada mangkuk berisi sisa kuah tongseng kambing."Aku kelewatan? Terus ini apa?! Kalian makan tongseng kambing cuma nyisain kuahnya doang 'kan? Masa aku nggak boleh menikmati makanan hasil keringet ku sendiri?" Mulut ku sambil menikmati cumi cabe ijo yang mantap ini. "Kalo kalian mau, biar impas ... ku sisain kuahnya aja, ya!" Mataku mengerling sengaja ngejek kedua orang dihadapan ku ini. Bu Lasmi nampak merah padam wajahnya mata ibu mertuaku melotot tangannya juga mengepal. Ah, bodo amat. Mau marah, mau enggak terserah. Capek ngalah terus. Brak Meja makan di gebrak membuat sendok di piringku melompat ke lantai. "Keterlaluan kamu, Han! Rita ini hamil, kalo anaknya ileran gimana? Nggak peka banget sih sama oran
Kau bisa, Aku juga 6 Melangkah menenteng ember cucian aku masuk ke rumah. "Dari mana kamu, Han?!" sentak Bu Lasmi. Busyet ini, nanya apa ngajakin perang sih? Galak banget jadi mertua. Ooh, mungkin dulunya dia di galakin juga kali sama mertuanya, sekarang balas dendam ke akuh. Duh, ngenes! "Dari mana, kamu?! Jawab! Malah diem aja! Jam segini cucian piring masih numpuk, teh, ataupun kopi belum ada! Ngapain aja sih kamu?!" Bu Lasmi sudah seperti satpol PP sedang sidak. "Dari nyari pahala, Bu. Ampun, dah! Baru pada melek udah teriak-teriak! Ati-ati pita suara putus. Atau tensinya naik, lho!" Kuletakkan ember di kamar mandi. Tumpukan baju kotor Bu Lasmi dan Rita masih utuh disana. Ogah yaaa kalau disuruh nyuci lagi. "Nyari pahala, nyari pahala, pala Lo peang!" umpat Rita. "Cuciin gelas! Bikinin aku teh, cepetan!" Gantian Rita kini memerintah. Aku berdiri, meraih teko berisi air lalu ku tenggak isinya, gelas habis di rak piring, semua kotor teronggok di wastafel. "Punya kaki, punya
Pagi ini, aku berangkat kerja sambil membawa luka. Air mataku perlahan meleleh mengingat kejadian saat aku akan melahirkan Zidan. Sakit, payah, penuh derita serta tekanan dari suami dan mertua yang kurasakan. Berbeda sekali dengan Rita. Semoga dia merasakan apa yang dulu ku rasakan. Entahlah aku seperti sudah tak bisa lagi membedakan antara do'a dan dosa. Sebab hatiku ingin sekali melihat Rita dan Bu Lasmi merasakan apa yang dulu ku rasa. Ya Allah, tolong ampuni aku. Rasa sakit ini teramat sangat. Ampuni atas semua kesalahanku telah membangkang pada suami, dan mertua, aku lelah ya Allah, aku lelah. ***** POV Heru Mataku menatap tanpa kedip kepergian Hani, wanita yang dua tahun ini menjadi istriku. Entah mengapa kini dia berubah. Tak seperti kemarin-kemarin. Dia jadi lebih berani serta cenderung membangkang. Terlebih setelah dia tahu aku kasbon untuk adikku Rita. Sebagai istri, dia sungguh tak tahu diri. Dijatah lima ratus ribu sebulan masih kurang aja. Mentang-mentang sudah bis
POV HaniAku sampai di restoran, hari ini nggak ada alasan untuk menangis. Aku harus menunjukkan kepada mereka para orang-orang pelit itu bahwa aku bisa. Biar saja mereka sekarang kelabakan dirumah, mereka pikir aku akan selamanya jadi pesuruh mereka, sorry laa yau! Masuk ke restoran mengisi absensi lalu mulai bekerja. Tip lemburan kemarin membuatku ketagihan. "Eh, Lo ngapain hari Minggu masuk?" Sherin salah satu karyawati resto yang selalu rese padaku heran aku masuk kerja di hari libur. "Suka-suka gue, dong! Emang ada larangan karyawan lembur enggak 'kan?" sahutku malas. "Oooh, gue tau! Jangan-jangan Lo lembur gara-gara nggak dinafkahin sama laki Lo, ya? Hahaha, ngenes amat!" Aku yang hendak menuju ke ruangan khusus karyawan berhenti melangkah lalu berbalik menatap tajam Sherin. "Elo nggak berhak ngurusin hidup gue! Mau lembur atau enggak bukan urusan Elo, tau!" "Stop! Stop! Udah jangan brantem! Elu juga Sher, jangan gangguin Hani!" Lukas memisahkan kami. "Han, kamu dipanggil
POV Hani Ya Allah, suamiku ini memang ma-ti rasa padaku atau apa sih? Yang dia pikirin hanya uang, uang, dan uang saja. Boro-boro bertanya bagaimana keadaanku sekarang. Rita juga, mulutnya minta di tamplok pakai ulekan sambel, ya Allah ... kuatkan hamba-Mu ini untuk menghadapi orang-orang model pohon pisang ini, mereka punya jantung, tetapi tidak punya hati. "Begini, Pak. Masalah biaya perawatan, akan ditanggung oleh restoran, sebab Hani kecelakaan saat mengantarkan pesanan makanan ke konsumen." Aryan mencoba menjelaskan. "Eh, Mbak! Lo itu jo-ngos, apa kurir sih? Kerjaan kok nggak jelas banget!" sewot Rita dia mengibaskan rambutnya yang tergerai sebahu. "Begini, Mbak ... kebetulan restoran kami sedang banjir pesanan delivery order, dan karyawan juga sibuk melayani pelanggan yang datang, kebetulan Hani bertugas mengantarkan pesanan gitu, Mbak. Tolong jangan salahkan Hani, ini kecelakaan." Aryan menjelaskan lagi. "Jangan salahkan Hani, jangan salahkan Hani, Bapak nggak tau, dia cel
POV Hani Usai Mas Heru dan Bu Lasmi pergi, Bayu datang menemaniku. Tangan ini terasa sakit sekali gara-gara dipukul keras oleh Bu Lasmi. "Bay, kok sakit banget tanganku ini, tadi habis di pukul keras sama mertuaku. Dia pikir aku cuma pura-pura." Aku meringis. "Apa pura-pura! Aaah, katarak orang itu! Mbak berita kecelakaan itu sudah jadi trending topik di media sosial dan media berita online tau! Em, lagian ini harusnya di urut, Mbak. Atau ... kita pulang aja ke kampung disana biar di urut Wak Hasanudin, beliau terkenal dukun pijat handal!" Ah, pulang ke kampung dalam keadaan begini, apa kata bapak dan ibu nanti. Usul Bayu kadang-kadang asal. Selama ini, mereka tahunya rumah tanggaku bahagia, meskipun aku menyembunyikan jati diri dari suamiku dan keluarganya. "Bay, aku malu pulang ke kampung," lirihku sambil merebahkan diri di bed yang di sering aggak tinggi. Tanganku kini dipasang arm sling, agar tanganku tidak bergeser. Bayu menatapku, sorot matanya sendu. "Sebenarnya aku kesin
POV AuthorLasmi dan Heru pulang dari restoran dimana tempat Hani bekerja dengan tangan hampa. Keduanya tidak berhasil membawa pulang sepeda motor milik Hani. "Huh! Gara-gara dua satpam pe kok itu, gagal deh bawa motor si Hani!" Lasmi ngomel sepanjang jalan. "Kamu itu jadi laki-laki harus tegas, dong! Hani itu istrimu, dia harus wajib tunduk sama kamu, Heru!" Lasmi memukul keras helm anaknya. Heru mendadak hilang kendali sebab Lasmi terlalu kuat memukul helmnya. Sepeda motor Heru oleng hingga membuat mereka terperosok ke saluran air. "Aaaaaaw! Dasar 00n kamu, Her! Bisa-bisanya kita jatuh begini?!" umpat Lasmi meringis kesakitan ia tertimpa sepeda motor. "Aaaaw! Kakiku!" pekik Lasmi kesakitan. Heru berusaha bangkit lalu membenarkan posisi sepeda motornya. Keduanya jatuh di tempat sepi. Tebeng motor Heru sebelah kiri pecah, kaca lampu juga pecah. "Aduuuuh, kakiku!" Lasmi mengaduh, meringis memegangi pergelangan kakinya. Nampak biru diantara mata kaki wanita itu. "Ibu sih, pake muk
POV AuthorSuara sentakan dari arah pintu ruang perawatan Hani membuat Heru menoleh sementara tangannya masih mencengkeram kuat rahang Hani. Ini kali pertama ia melakukan kekerasan terhadap istrinya. Tindakan Heru terlihat jelas dari pintu, tirai Hani hanya tertutup bagian samping saja. Tekanan mental yang ia hadapi saat ini sanggup membuat Heru bertindak kasar. Beban hutang yang dia tanggung sangat menggangu pikiran, ditambah sepeda motornya rusak, serta tuntutan Lasmi untuk mencari biaya operasi Caesar Rita membuat pikiran Heru gonjang-ganjing. "Huh!" Laki-laki itu melepaskan cengkraman tangannya kasar hingga membuat tubuh Hani berguncang. Wanita dengan kepala terbalut perban dan tangan menggunakan arm sling itu meringis kesakitan sebab tangan kirinya sempat tertekan Heru. "Siapa Kau? Jangan ikut campur urusanku! Dia istriku, mau kuapakan saja, suka-suka aku!" ujar Heru matanya menyiratkan api amarah. "Saya Habibi, Dokter yang merawat Nona Hani! Ada berurusan dengan saya, sebab