Share

Aku juga bisa

Kau bisa, Aku juga 4

Aku merasa bebas merdeka hari libur begini sok iyes masuk kerja. Ah, begini lebih baik dari pada jadi kacvng seharian dirumah mertua.

Mengendarai hond4 b3at street sekend kesayanganku ini, kutelusuri jalanan weekend yang lumayan lengang. Para karyawan banyak yang libur, hanya beberapa sepeda motor serta kendaraan melintasi jalanan hitam jalur lintas menuju restoran.

Entahlah, caraku ini akan berhasil untuk melakukan perlawanan kepada suami dan mertuaku atau tidak. Yang jelas, aku ingin berubah, tak mengalah terus. Aku juga punya harga diri. Aku tahu, berdosa membangkang pada suami. Eits, tunggu dulu! Suami yang seperti apa dulu dong? Jika harus menuruti semua keinginan suami modelan Mas Heru, bisa ambruk cagakku nuruti angen-angenmu (rubuh tiangku menuruti kemauanmu).

Selama ini, aku sudah berusaha menjadi istri sekaligus menantu yang Soleha, nurut, dan berbakti kepada suami dan mertuaku. Tetapi, kenyataan hal itu malah membuat mereka layaknya tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi, bikin aku sakit hati, shiiit!

Tanpa terasa aku sudah sampai ke area restoran dimana aku bekerja. Rasanya bahagia bisa menjalani rutinitas weekend yang berbeda.

"Hani?! Tumben weekend masuk!" Lukas karyawan bermukim di restoran ini menyapaku.

"Biasaaalah, butuh cuan tambahan! Ku pikir, lembur weekend lumayan juga! Bos udah datang?" sahutku basa-basi.

"Belum. Pak Aryan biasanya datang jam sepuluh. Kamu isi aja absen bagian lembur, nanti biar dicek sama beliau," terang Lukas.

Aku manggut-manggut seolah mengerti dengan sistem kerja di restoran ini. Biarlah mereka mengira aku karyawan biasa, malah lebih baik.

Aku segera membantu pekerjaan yang butuh bantuan, menyiapkan meja tamu, membenahi daftar menu yang ada diatas meja sambil mengamati apa yang kurang di restoran ini.

Hmmm, sepertinya harus ada inovasi tempat untuk spot foto yang ciamik keren nih, untuk menarik pelanggan datang. Restoran ini memang terkenal dengan rasa makanannya yang endulita. Namun, jika ditambah spot tempat keren pasti tambah oke. Baiklah akan ku usulkan ini nanti.

"Hani, kamu lembur? Nggak salah?!" Lea menyapaku saat ia melihat aku lembur.

"Hu'um! Bosen dirumah, pengen suasana baru," sahutku meliriknya sekilas. Segelas cappucino panas favoritku tergeletak di atas meja khusus karyawan beristirahat. Aku sedang sarapan roti panggang dan segelas kopi.

Lea menatapku sambil tersenyum, ada yang aneh kah dengan diriku?

"Hei, kau senyam-senyum liatin aku, kenapa? Ada upil di idungku? Atau lipstikku kurang beres?" Aku gupek sendiri berdiri menatap cermin. Ah, fine fine aja, kok.

"Aku lagi bayangin mertuamu sewot dan uring-uringan dirumah, Han. Selama ini dia 'kan selalu bergantung padamu," ujar Lea terkekeh.

Ooooh, kukira ada apa. Hmmm, iya juga ya? Bu Lasmi dan Rita 'kan biasanya dilayani. Apa kabar tuh hari ini tanpa aku? Mana gas, dan bahan makanan dirumah habis. Ah, terserah ... bukan urusan gue!

"Aaah, udahlah biarin aja. Mulai sekarang aku mau lembur tiap weekend. Biar banyak duit! Jaman now itu apa-apa diukur pake duit, semakin banyak duitnya, semakin banyak pula pengikutnya!" celotehku asal.

Memang iya, sekarang itu zamannya uang yang menentukan posisi kedudukan seseorang dimana pun. Lihatlah mereka yang banyak uang, asal tunjuk bebas, kentvt juga disanjung. Coba bandingkan dengan mereka yang k3r3 sebaik apapun atitude nya minim uang, dahlah kelaut aja! Nggak akan dianggap.

*

Hari ini restoran sangat ramai, rupanya dihari libur banyak kalangan elit makan disini. Tip yang kudapat dari pelanggan lumayan juga, tiga lembar uang pecahan seratus ribu berhasil ku dapatkan.

"Lho, kenapa ini nggak di sajikan ke depan?" tanyaku saat melihat beberapa piring berisi kepiting saos Padang, udang sambalado, cumi cabe ijo tidak ikut disajikan.

"Jangan heran, itu menu makanan yang sudah dibayar konsumen, tapi nggak dimakan. Rejeki karyawan kek kita-kita ini lah. Kamu boleh sisihin kalo mau bawa pulang, nggak papa, kok ... dari pada mubazir!" terang chef di restoran ini.

Ooooh, jadi kalau weekend banyak lauk sisa begini? Hmmm, baru tahu aku. Atau selama ini aku yang cuek, ya?

"Oke, aku boleh bawa cumi sama kepitingnya?" tanyaku minta izin.

Si chef menatapku. "Bawalah! Semuanya juga boleh! Weekend biasanya banyak makanan sisa, sayang lho kalo nggak kemakan! Yang lain juga udah pada nyisihin menu yang mereka mau, kok."

Baiklah, baiklah. Aku juga akan mengikuti seperti yang lainya. Toh mereka tak tahu siapa diriku sebenarnya. Kupindahkan dua menu lauk yang masih belum tersentuh. Heran deh, mereka mesen kenapa nggak dimakan, ya? Dasar orang kaya!

Hari sudah mulai malam saat aku pulang kerumah, uang tip dan lauk makan yang istimewa membuatku bahagia.

"Baguuus, jam segini baru pulang! Lembur apa dilembur, Mbak?!" Sambutan Rita membuatku mendadak hilang mood.

Aku melengos memutar bola mata malas melihatnya rebahan diatas kasur lantai depan tivi. Piring, gelas, serta beberapa bekas kemasan Snack berserakan. Joroknya eeeyuuuh!

"Bukan urusanmu, kebo!" ketusku.

"Apa?! Kau bilang apa tadi?!" Dia meradang.

Kutatap dia sambil tersenyum mengejek. "KE-BO! Ngapa, nggak terima? Atau pemalas kali, ya!" cibirku.

"Hei, aku bukan pemalas, tau!" kilahnya berapi-api dadanya naik turun emosi dah.

"Lantas kalo bukan pemalas apa? Piring, gelas kotor dan sampah di sekeliling mu, nggak risih, tah? Beresin semuanya! Mulai sekarang jangan harap bisa jadi princess di rumah ini, paham!" Ku tuding muka licinnya itu.

Aku segera ke kamar, meletakkan tas kerja berisi harta karun lauk makan istimewa, kemudian bersiap mandi. Tumben rumah sepi, kemana suami dan mertuaku? Bodo amatlah, aku mau mandi.

Selesai mandi dan berganti pakaian, samar kudengar suara perdebatan di ruang tivi.

"... pokoknya kamu harus bisa cari duit buat operasi Caesar adikmu ini, Her! Ibu nggak mau cucuku bernasib sama dengan anaknya Hani, mati sia-sia!"

Hatiku panas mendengar kalimat beliau. Rasanya ingin memaki wanita tua itu sekarang juga. Santuy, Hani! Santuy! Sekarang, panasin aja lauk makan istimewamu, ya! Isi perutmu sendiri nggak usah pedulikan mereka.

Ku ambil harta karun dari tas, kemudian kubawa kedapur. Malam begini yang tersisa biasanya cuma nasi saja. Kubuka Tidung saji, rupanya ada sisa kuah tongseng daging kambing, kuahnya saja astagfirullah!

Segera kupanaskan lauk makanku kemudian kumakan sendirian.

"Lho, kepiting, cumi? Kau dapat dari mana?!" Rita tiba-tiba muncul saat aku tengah santap malam. Tangannya terulur hendak mencomot capit kepiting yang montok.

Plak

Spontan ku pukul tangan clutak itu. Enak aja main comot! Mereka makan enak aja nggak ingat aku, kok!

"Mbak! Kok di pukul sih, sakit tau!" pekiknya penuh drama.

"Itu yang pantas buat tangan clutak, tau!" sindirku pedas. Kuambil capit kepiting itu langsung kulahap didepannya.

"Hmmmm, mantap!"

"Buuuu! Ibuuuu!" teriak Rita, biasalah anak emak pasti koar-koar kalo nggak berhasil dapetin keinginannya.

Bu Lasmi datang tergopoh-gopoh sebab teriakan Rita. "Apa, Rit?"

"Liat Mbak Hani!" Telunjuk wanita hamil itu mengarah kepadaku. "Aku mau minta capitnya nggak boleh!"

"Hani? Darimana kau dapat makanan itu?!" Bu Lasmi membelalak matanya melihat hidangan di dua piring berbeda.

"Beli, lah! Ngapa, mau?" sahutku sambil menikmati nasi hangat dan cumi cabe ijo.

"Kok kamu makan nggak ajak-ajak? Ibu juga mau, Han! Dasar serakah!"

"Ngapain ngajakin kalian? Wong kalian makan enak aja nggak ingat aku, kok! Gantian lah!" sahutku spontan. "Emang kalian doang yang bisa cuek?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status