POV AuthorHani berjalan mencari makanan siap santap sambil menggendong tangannya yang retak. Rambutnya juga nggak di ikat. Biasanya jam segini, warung nasi uduk Ibu Hartati sudah siap nasi uduk, sayur matang, gorengan, dan es cendol juga ada, pedagang itu sering mangkal di sekolahan yang tak jauh dari rumah mertua Hani. "Mbak Hani! Ya Allah, itu Mbak Hani!" Para tetangga yang melihat Hani berjalan perlahan langsung menghampiri istrinya Heru itu. "Ya Allah, alhamdulilah, Mbak Hani selamat!" ungkap Bu Lis. "Si Hani, eta?!" Ceu Kokom ikutan heboh. Mereka mendekati Hani. "Aduuh hatur nuhun, Gusti, si Hani diselamet keun!" syukur Ceu Kokom. Hani tersenyum menanggapi para tetangga yang kepo terhadap dirinya. "Ya Allah, Han ... alhamdulilah kamu selamat. Aku liat berita di tv ngeri lho! Aku kemarin nanya sama mertuamu, dia malah cuek!" ujar Bu Lis. Dia terkenal biang kerok tukang adu ayam, eh domba. Dia senang jika melihat menantu dan mertua yang tidak akur."Alhamdulilah, aku selama
POV Author Mbak Enik panik sebab tak mendengar suara Hani padahal tadi ia dengan jelas sekali mendengar wanita itu berteriak minta tolong. Didalam rumah .... "Jangan coba-coba teriak, atau kupatahkan sekalian tanganmu ini!" desis Heru mengancam Hani. Wanita dengan tangan masih mengenakan arm sling itu hanya bisa meneteskan air mata dalam diam sebab mulutnya dibekap kuat oleh Heru. "Hani! Han! Kamu nggak papa 'kan?" Mbak Enik terus memanggil Hani, ia hendak membuka pintu namun takut disebut pencuri sebab dirinya hanya sendirian. Mbak Enik bingung mencari bantuan, ia clingukan kesana kemari. Sepeda motor Heru masih di halaman rumah. Namun, kedua manusia itu tak menyahut dari dalam sana. "Heru, kamu akan menyesal melakukan ini padaku," lirih Hani. "Apa, menyesal? Nggak! Aku nggak akan menyesal! Ini hukuman untuk istri pembangkang sepertimu!" geram Heru masih mengunci tubuh Hani sambil menahan sakit pada area sensitifnya. Hani meneteskan air mata. Ia sadar, jika berteriak Heru ak
Kau bisa, aku juga! 1"... Rita harus operasi sesar, Her! Bayinya sungsang dengan lilitan tali pusar, kita harus ada dana minimal sepuluh juta lah. Adikmu nggak punya BPJS. Lagian, Ibu lebih mantep jalur umum, daripada jalur BPJS. Kita harus nyiapin duit itu, mumpung kehamilan adikmu masih delapan bulan." Terdengar obrolan Ibu mertua dan suamiku di ruang keluarga, aku sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Rutinitas pagiku sebelum berangkat kerja. "Hmmm, nanti Heru obrolin sama Hani dulu, Bu. Biar gimanapun juga, sepuluh juta bukan uang kecil. Heru harus diskusi dulu dengan Hani." Samar kudengar Mas Heru memberikan alasan kepada Ibunya. Uang yang mana yang mau dia berikan pada Ibunya? Bukankah semua gajinya hampir diberikan kepada Ibunya? Bahkan aku cuma dijatah lima ratus ribu, itupun selalu terpakai untuk kebutuhan dapur juga. "Kamu itu laki-laki! Tak seharusnya minta persetujuan istri! Dia cuma perempuan yang wajib nurut kemauan suaminya!" Ibu terdengar mendoktrin suamiku.
kau bisa, aku juga! 2 Aku tersenyum miring sambil menggenggam kontak motor matic yang ku beli sekend gara-gara selalu ribut masalah kendaraan saat bekerja. Motor ini kubeli secara kontan namun, kubilang pada suami dan ibu mertuaku, belinya kredit. Berbohong? Tentu saja! Aku memang harus berakting menjadi orang tak punya didepan mereka. Enam bulan pasca operasi Caesar, aku kembali lagi bekerja setelah sebelumnya mengambil cuti layaknya karyawan biasa. "Hmmmm, alhamdulillah sampai detik ini aku masih ingat kok kalau kamu suamiku. Cuma, entah di kamu gimana. Soalnya aku ngerasa kau ingat aku ini istrimu kalau ada maunya doang. Udah dapet, amnesia lagi!" Aku tersenyum sengaja menyindir laki-laki berkemeja abu-abu itu. "Untuk masalah hutangmu, aku nggak ikutan, deh! Masa iya, nggak nikmatin uangnya, tapi ikutan mumet bayarnya, nggak etis dong!" Rasain Lo!Mau marah, terserah! Bahkan aku senang jika dia marah apalagi sampai bertindak kasar, oooooohhh ... bisa mempermulus jalanku menggugat
Kau bisa, aku juga 3 Kutahu aku tak sempurna, bukan berarti aku tak berhak bahagia dan kau perlakukan semena-mena. Aku juga bisa berbuat seperti yang kumau. Aku berbalik menghadap cermin lagi meneruskan sisiran. Aneh deh, masa motorku yang mau dijual? "Dek, aku kakaknya Rita, jelas dia tanggung jawabku dong!" Kuletakkan sisir pada tempatnya lalu, ku tuangkan lotion yang botolnya sengaja kujungkir balik, sambil menunggu adzan Isya, aku sudah berwudhu. "Lho, kalo Rita masih tanggung jawabmu, apa gunanya dia menikah? Suaminya kemana? Sok sok an mau nanggung jawab Rita. Liat nih, lotion ku habis aja apa kau peduli?!" sindirku spontan. "Apa maksudmu aku nggak peduli? Kau kuberi uang lima ratus ribu sebulan, Hani!" Walah dia malah nge gas! Aku santuy mengoleskan lotion ini ke tangan dan kakiku agar tidak kering. "Ck, ck, ck! Lima ratus ribu sebulan bangga! Art aja gajinya sejuta lebih sebulan, Mas! Kerja cuma beberes rumah doang. Nah aku istrimu, nih! Istri! Catet tuh biar nggak lupa
Kau bisa, Aku juga 4 Aku merasa bebas merdeka hari libur begini sok iyes masuk kerja. Ah, begini lebih baik dari pada jadi kacvng seharian dirumah mertua. Mengendarai hond4 b3at street sekend kesayanganku ini, kutelusuri jalanan weekend yang lumayan lengang. Para karyawan banyak yang libur, hanya beberapa sepeda motor serta kendaraan melintasi jalanan hitam jalur lintas menuju restoran. Entahlah, caraku ini akan berhasil untuk melakukan perlawanan kepada suami dan mertuaku atau tidak. Yang jelas, aku ingin berubah, tak mengalah terus. Aku juga punya harga diri. Aku tahu, berdosa membangkang pada suami. Eits, tunggu dulu! Suami yang seperti apa dulu dong? Jika harus menuruti semua keinginan suami modelan Mas Heru, bisa ambruk cagakku nuruti angen-angenmu (rubuh tiangku menuruti kemauanmu). Selama ini, aku sudah berusaha menjadi istri sekaligus menantu yang Soleha, nurut, dan berbakti kepada suami dan mertuaku. Tetapi, kenyataan hal itu malah membuat mereka layaknya tua-tua keladi s
Kau Bisa, aku juga 5 Jangan remehkan seseorang yang sudah kenyang makan kecewa. Dia bisa melakukan apapun diluar dugaan."Hani! Kelewatan kamu, ya!" Bu Lasmi malah meninggikan suaranya. Iiieeuuuh! Kelewatan dia bilang? Aku mengerling malas. Kemudian kubuka tudung saji dimana ada mangkuk berisi sisa kuah tongseng kambing."Aku kelewatan? Terus ini apa?! Kalian makan tongseng kambing cuma nyisain kuahnya doang 'kan? Masa aku nggak boleh menikmati makanan hasil keringet ku sendiri?" Mulut ku sambil menikmati cumi cabe ijo yang mantap ini. "Kalo kalian mau, biar impas ... ku sisain kuahnya aja, ya!" Mataku mengerling sengaja ngejek kedua orang dihadapan ku ini. Bu Lasmi nampak merah padam wajahnya mata ibu mertuaku melotot tangannya juga mengepal. Ah, bodo amat. Mau marah, mau enggak terserah. Capek ngalah terus. Brak Meja makan di gebrak membuat sendok di piringku melompat ke lantai. "Keterlaluan kamu, Han! Rita ini hamil, kalo anaknya ileran gimana? Nggak peka banget sih sama oran
Kau bisa, Aku juga 6 Melangkah menenteng ember cucian aku masuk ke rumah. "Dari mana kamu, Han?!" sentak Bu Lasmi. Busyet ini, nanya apa ngajakin perang sih? Galak banget jadi mertua. Ooh, mungkin dulunya dia di galakin juga kali sama mertuanya, sekarang balas dendam ke akuh. Duh, ngenes! "Dari mana, kamu?! Jawab! Malah diem aja! Jam segini cucian piring masih numpuk, teh, ataupun kopi belum ada! Ngapain aja sih kamu?!" Bu Lasmi sudah seperti satpol PP sedang sidak. "Dari nyari pahala, Bu. Ampun, dah! Baru pada melek udah teriak-teriak! Ati-ati pita suara putus. Atau tensinya naik, lho!" Kuletakkan ember di kamar mandi. Tumpukan baju kotor Bu Lasmi dan Rita masih utuh disana. Ogah yaaa kalau disuruh nyuci lagi. "Nyari pahala, nyari pahala, pala Lo peang!" umpat Rita. "Cuciin gelas! Bikinin aku teh, cepetan!" Gantian Rita kini memerintah. Aku berdiri, meraih teko berisi air lalu ku tenggak isinya, gelas habis di rak piring, semua kotor teronggok di wastafel. "Punya kaki, punya