Share

Kenapa Mas yang ribet?

kau bisa, aku juga! 2

Aku tersenyum miring sambil menggenggam kontak motor matic yang ku beli sekend gara-gara selalu ribut masalah kendaraan saat bekerja. Motor ini kubeli secara kontan namun, kubilang pada suami dan ibu mertuaku, belinya kredit. Berbohong? Tentu saja! Aku memang harus berakting menjadi orang tak punya didepan mereka. Enam bulan pasca operasi Caesar, aku kembali lagi bekerja setelah sebelumnya mengambil cuti layaknya karyawan biasa.

"Hmmmm, alhamdulillah sampai detik ini aku masih ingat kok kalau kamu suamiku. Cuma, entah di kamu gimana. Soalnya aku ngerasa kau ingat aku ini istrimu kalau ada maunya doang. Udah dapet, amnesia lagi!" Aku tersenyum sengaja menyindir laki-laki berkemeja abu-abu itu. "Untuk masalah hutangmu, aku nggak ikutan, deh! Masa iya, nggak nikmatin uangnya, tapi ikutan mumet bayarnya, nggak etis dong!" Rasain Lo!

Mau marah, terserah! Bahkan aku senang jika dia marah apalagi sampai bertindak kasar, oooooohhh ... bisa mempermulus jalanku menggugat cerai dia. Masa bodoh dengan kalimat "Jadi janda itu ngenes." Kenyataan pernikahan ini hanya sebatas status saja, kok. Well, emang gue pikirin!

"Hey, Hani! Sarapan apa yang kau buat itu, hah?! Itu lebih pantas dimakan ayam, tau!" Tetiba Bu Lasmi muncul dan menghardik aku yang kini telah siap berangkat kerja. Matanya melotot hampir saja copot.

Kubenahi tas ransel berisi kotak makan siang, baju ganti, dan mukena ini. Kutatap beliau si Ibu sok Ratu di rumah ini. "Hmmm, stok bahan masakan kosong, Bu. Cuma beras yang masih. Aku udah berusaha jadi istri dan menantu yang baik, dengan memasak bahan yang ada, dan seadanya. Bekalku juga sama, nasi goreng. Kalo mau dimasakin yang enak, stok kulkas jangan sampai kosong isinya, masalah masak, kecil!" ujarku sengaja menyentil ginjal mertua. Biarin aja, stok bahan masakan habis kok mau sarapan aneh-aneh, makan tuh nasi pakan ayam!

Mataku mengedar sambil sesekali melirik Mas Heru yang nampak lesu pagi ini.

"Heru, lihat istrimu! Dia udah kurang 4jar sama ibu!" Dih, Bu Lasmi lebay.

"Bu, aku cuma bilang stok kulkas jangan sampai kosong kalo mau dimasakin yang enak, Ibu sudah menilaiku kurang 4jar? Hello! Apa kabar jika kularang suamiku memberikan gajinya pada Ibu, terus kuajak dia ngontrak, ya? Wah, bisa-bisa dapat gelar mantu durhaka, aku!" Sengaja ku sindir lagi Bu Lasmi, bodo amat mau marah atau enggak.

Aku berdecak sambil meraih helmku. "Aku kerja dulu, deh! Mau cari uang yang banyak, biar nggak perlu nadah dan mengemis sama suami lagi!"

Wkwkwkwk! Aku tertawa puas dalam hati pagi ini. Disaat suamiku butuh, kubuat dia tak berkutik. Lagian aneh! Senang dia nikmati bersama keluarganya, susah ingat aku istrinya, memang perlu di bayclin itu isi kepala Heru. Shiiiit!

"Han, Hani! Kau serius nggak mau bareng sama aku?!" Suamiku bangkit saat aku sudah berada diatas sepeda motor.

"Dua rius malahan, Mas! Oke, aku duluan! Assalamualaikum!"

Dadaaa Heruuuu! Silahkan meratapi nasib bingung berangkat kerja gara-gara motormu ngadat. Mulai sekarang, aku harus bisa bersikap sepertimu cuek bebek saat kau butuh. Kau bisa, aku juga, dong!

"Huuuu! Engkau bukanlah segalaku, bukan tempat tuk hentikan langkahku, na na na, hhm Hhhm hmm!"

Bernyanyi menghibur diri sambil mengemudikan motor dalam perjalanan menuju restoran sungguh membuatku bahagia. Aku sudah janji didepan pusara putraku bahwa aku akan berusaha bahagia meski tanpa campur tangan ayahnya.

Biarlah, perlahan akan kubuat mereka kebingungan menghadapi sikap dan tingkahku. Jika mereka saja bisa bertindak semaunya, tentu aku lebih bisa. Hampir dua tahun aku ditraining hidup bersama keluarga suamiku, tentu hafal dengan sifat mereka. Aku bisa baik jika mereka baik, bisa jahat juga kalau mereka jahat.

Setelah setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga di restoran dimana para karyawannya tidak tahu siapa sebenarnya Bos mereka.

"Widihhh, cerah banget pagi ini!" seru Lea saat kami berpapasan di area parkiran.

"Iya dong! Mood positif biasanya bikin hari kita hoki!"

Aku turun dari sepeda motor meletakkan helmku lalu masuk ke restoran. Benar saja, para chef sudah sibuk menyiapkan hidangan untuk acara pesta pukul sepuluh pagi ini.

Waktu terus bergulir persiapan pesta sudah sempurna dan tamu undangan costumer kami juga sudah hadir.

Mataku berkaca-kaca saat melihat sepasang suami istri beserta anak kecil berumur satu tahun kompak meniup lilin lalu saling berpelukan sayang.

Aku tak tahan memilih berlari menjauh dari keramaian itu. Aku ingat almarhum Zidan putraku.

"Andai saja aku lebih tegas saat itu, pasti kamu masih hidup, Nak ... hiks hiks hiks." Aku terisak di area parkir belakang resto.

"Hani!"

Bahuku terasa ada yang menyentuh perlahan. Aku menoleh dengan mata yang basah berurai air mata. Lea rupanya yang datang. Aku memeluknya sambil menangis. Dia sahabatku, dia yang tahu semua kisah hidupku.

"Sabar, Han! Zidan sudah tenang disana." Lea membiarkan aku menangis di pelukannya.

Apa ini? Bukankah aku sudah janji pada diriku sendiri, takkan lemah? Aku nggak boleh begini, aku harus bangkit. Kuhapus jejak air mata ini.

Acara ulang tahun di restoran sudah selesai. Hari ini seluruh karyawan sengaja pulang cepat. Aku mengajak Lea sidak ke beberapa tempat makan baru yang lagi viral. Sengaja untuk mencari tahu apa saja yang bisa menarik pelanggan dari tempat itu. Ba'da Magrib aku baru sampai kerumah.

"Baru pulang?" Mas Heru tumben sudah dirumah jam segini.

Aku mengernyitkan kening. "Emang biasanya jam segini baru pulang, kenapa?"

"Mandilah, lalu makan. Aku mau ngomong," ujarnya.

Aku manggut-manggut lalu langsung ke kamar bersiap mandi. Tumben rumah sepi, menuju kamar mandi, iseng berhenti membuka tudung saji. What?! Hanya kepala ikan asin dan sambal saja? Ck ck ck!

Bu Lasmi benar-benar kolab keuangannya, deh! Aku geleng-geleng kepala. Untungnya sebelum pulang perutku sudah kuisi kenyang. Ku tutup kembali tudung saji dan langsung melangkah ke kamar mandi.

*

"Dek, gimana kalo motormu dijual aja, aku butuh duit, Dek." Mas Heru wajahnya kusyut kelihatan sekali dari cermin meja riasku.

Aku menoleh spontan! "Apa, motorku dijual?! Nggak salah? Kreditanya belom lunas, Mas! Lagian motornya masih bagus kok. Oooh, atau jangan-jangan, kamu mau beliin aku motor baru, ya?!" Sengaja ku todong dia dengan kalimat begitu. Meskipun aku tau it's imposible.

Mas Heru malah bersikap seolah ia sedang menanggung beban berat. "Aku butuh uang, Dek," lirihnya.

"Butuh uang? Bukanya gajimu banyak, ya? Aku cuma di jatah lima ratus ribu, lho! Butuh uang, kenapa juga harus motorku yang dijual? Aku beli pake keringetku, lho!" tegasku kali aja dia amnesia.

Mas Heru malah menatapku yang kini sedang menyisir rambut membelakangi cermin.

"Aku tau, itu hasil keringatmu, Dek. Tapi ... Rita butuh duit buat operasi Caesar."

Aku cemberut. "Rita yang mau operasi kenapa, Mas yang ribet nyari duit?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status