Share

Dimana Papa?

Kania segera bergegas ke ruang guru. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat sosok Devan yang tertunduk bersama dengan Bi Minah. Di sampingnya terlihat seorang ibu paruh baya dan seorang anak yang memandang Devan tidak senang.

"Anda ibu dari anak yang bernama Devan itu, bukan? Akhirnya Anda datang juga. Lihat apa yang dilakukan putera Anda kepada putera saya."

Wanita paruh baya itu seketika berdiri sambil menunjuk ke arah luka anak yang berada di sampingnya. Kania tersentak melihat luka yang ia lihat sekarang, ada luka robek yang terlihat di sudut pipi bocah lelaki itu. Kenapa Devan sampai melukai temannya seperti ini?

Devan terlihat hanya menunduk tanpa sedikitpun menatap ke arah Kania. Devan selalu bertindak seperti itu jika merasa dirinya bersalah.

Kania menghela nafasnya panjang, ia menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf atas perlakuan puteranya.

"Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh putera saya. Pasti ada alasan kenapa Devan bertindak seperti ini. Saya akan berbicara dengan Devan di rumah nanti."

"Makanya tolong ajari anak kamu dengan benar."

Kania menundukkan wajahnya sekali lagi, "Sekali lagi saya minta maaf." Ia melirik ke arah Devan lalu berkata, "Devan, ayo kita pulang."

Dengan wajah yang masih menunduk, Devan mengikuti langkah ibunya. Namun baru saja Kania dan Devan hendak beranjak dari ruangan kepala sekolah, ibu paruh baya itu kembali menggerutu.

"Pantas saja tingkah anaknya seperti itu, mungkin dia mencontoh tindakan binal ibunya. Ya begitulah sikap anak yang tidak jelas asal usulnya."

Raut wajah Kania seketika berubah mendengar ucapan wanita paruh baya itu. Dengan refleks ia berbalik arah lalu menghadap ke arah wanita itu tidak senang. Kania mencegah langkah Devan lalu berkata, "Tunggu sebentar Devan,"

"Sepertinya saya jadi tahu alasan kenapa Devan memukul anak Anda." Kania melirik ke arah puteranya lalu bertanya, "Devan, apa dia mengejek dirimu tadi?"

Dengan takut-takut Devan menganggukkan kepalanya.

"Anak memang mencontoh perlakuan ibunya. Jika ibunya senang menggunjing maka dia akan melakukan hal yang sama. Jika ibunya berkelakuan rendah, maka ia juga pandai menirunya." sindir Kania tajam.

Raut wajah wanita paruh baya itu memerah mendengar ucapan Kania, "Apa Anda sedang menjelekkan saya?"

Kania memilih mengabaikan perkataan wanita itu lalu beralih kepada kepala sekolah Devan, "Jika ada anak yang ditindas seperti ini di sekolah, bukankah sekolah juga bertanggung jawab? Apa saya harus mencari tahu lebih banyak dan membongkar semua ini ke pihak luar?"

Raut wajah kepala sekolah itu menjadi panik mendengar ucapan Kania, "Sepertinya ini hanya kesalahpahaman biasa. Tidak seharusnya ini menjadi hal yang dibesar-besarkan. Ini hanya pertengkaran anak kecil biasa."

"Bagaimana bisa Anda begitu? Lihat, anak saya terluka!"

Kania segera mengeluarkan beberapa lembar uang ke arah wanita paruh baya itu, "Ini untuk biaya pengobatan anak Anda. Kalau begitu saya permisi. Saya harap ini tidak terjadi lagi, Bu kepala sekolah."

Tanpa mendengarkan ocehan wanita paruh baya itu kembali, Kania menarik tangan Devan lalu keluar dari ruangan guru. Saat tidak ada lagi orang-orang di sekitarnya, Kania menghentikan langkah. Ia melirik ke arah tangan Devan yang lebam lalu bertanya dengan lembut, "Sakit tidak?"

Devan menganggukkan kepalanya dengan air matanya yang mulai berderai, "Mama tidak marah sama Devan?"

Kania mengulas senyuman tipisnya mendengar ucapan Devan, "Kenapa Mama harus marah?"

"Karena tadi Devan sudah membuat masalah. Maafin Devan, Ma."

Kania mengacak rambut Devan dengan gemas, "Tidak apa-apa, kamu hanya membela diri, Sayang. Terkadang membela diri itu perlu, tapi lain kali jangan memakai kekerasan, kamu paham?"

Devan menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Kania.

"Paham Ma,"

Kania mengulas senyuman kembali lalu berkata, "Sekarang Devan mau apa, Sayang?"

"Apa Mama akan mengabulkan semua permintaan Devan hari ini?"

Dengan cepat Kania mengangguk, "Tentu saja."

"Kalau begitu Devan ingin bertemu dengan Papa. Dimana Papa, Ma?"

Deg.

Tubuh Kania seketika membatu mendengar ucapan Devan. Bibirnya terasa kelu. Ia tahu suatu saat Devan pasti akan meminta hal seperti ini, tapi apa yang harus ia jawab? Ia tidak mungkin menjawab bahwa ayahnya sama sekali tidak ingin mengakui mereka.

"Ma, kenapa Mama diam saja? Apa Mama tidak mau mempertemukan Devan dengan Papa? Apa benar kata ibu tadi bahwa asal usul Devan tidak jelas?"

Hati Kania terasa remuk mendengar anak sekecil itu berkata sepahit itu. Dengan cepat Kania memeluk erat Devan. Rasanya sakit sekali karena ia tidak bisa menjaga perasaan anaknya dengan baik.

"Sayang, bukan seperti itu. Mama bukannya tidak mau mempertemukan kalian. Hanya saja Mama tidak bisa."

Mendengar ucapan Kania yang menggantung, Devan tiba-tiba melepaskan pelukan mereka. Dengan wajah polosnya ia bertanya, "Tidak bisa kenapa?"

"Karena Papa Devan sudah berada di syurga."

"Papa sudah meninggal?"

Kania segera mengangguk, "Iya, Papa sudah meninggal."

"Tapi Mama punya foto Papa kan? Pasti Mama punya kan?"

Kania terhenyak mendengar pertanyaan Devan. Tentu saja Devan merupakan anak yang pintar, bagaimana mungkin dia bisa lupa?

"Kita bicarakan ini lagi nanti ya. Sekarang kita pulang dan makan. Kamu pasti terkejut dengan kejadian tadi."

Wajah polos itu terlihat sangat kecewa dengan jawabannya. Tidak ada keceriaan yang terlihat di mata Devan saat ini, Kania jadi merasa bersalah. Dalam hati ia bergumam memohon maaf kepada puteranya sendiri.

Devan berjalan ke arah mobil mereka yang sedang terparkir dengan wajahnya yang menunduk. Kania yang melihat perubahan wajah Devan segera membuka pembicaraan, "Sayang, jadi kamu mau makan apa? Apa Devan mau pergi ke restauran ayam yang Devan mau waktu itu?"

"Tidak mau, Devan ingin pulang saja."

Kania menghela nafasnya panjang mendengar jawaban singkat dari Devan. Devan sedang merajuk.

Devan menutup mulutnya hingga sampai ke dalam rumah. Kania memungut tas yang di lempar Devan sembarang lalu menghela nafasnya panjang. Sekarang bagaimana?

Kania mengetuk pintu kamar Devan yang terkunci, bahkan Devan tidak mau makan sama sekali.

"Sayang, makan yuk. Nanti kamu sakit."

"Gak mau!"

Mendengar jawaban itu, Kania menghela nafasnya dengan kecewa. Tidak bisa dibiarkan! Jika terus seperti ini, Devan akan benar-benar sakit.

Ia segera bergegas ke arah kamar lalu membuka koper usang yang ia simpan di bawah ranjang. Ia mengambil potret Sean dari sana. Potret yang sudah hampir tidak berbentuk karena sudah ia remukkan beberapa kali sebagai pelampiasan amarahnya.

Sekali lagi Kania mengetuk pintu kamar Devan lalu berkata, "Devan, Mama mau bicara."

Tidak jawaban dari dalam sana. Sekali lagi Kania menghela nafasnya lalu berkata dengan lebih lembut, "Mama akan berbicara tentang Papa hari ini, apa Devan mau mendengarkan?"

Sesaat setelah ia berkata seperti itu pintu kamar seketika terbuka. Raut wajah Devan yang berbinar terlihat di ambang pintu, puterinya kemudian berteriak dengan riang, "Benarkah Mama akan bercerita tentang Papa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status