Share

Pertemuan yang Tak Diinginkan

Kania tidak mampu berkata-kata saat melihat Sean di hadapannya. Tenggorokannya mengering seketika dan tubuhnya terasa lemas. Setelah bertahun-tahun berlalu ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali. Seperti dirinya, Sean juga sepertinya ikut terkejut. Ya, pertemuan ini memang bukan pertemuan yang menyenangkan bagi keduanya.

"Bu Kania, ayo beri salam."

Kania seketika tergeragap mendengar ucapan Bu Astuti untuk ke sekian kalinya. Ia segera bangkit berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada dua sejoli di depannya. Wanita yang bernama Sheline ini seakan tidak asing di telinga, namun Kania tidak yakin pernah melihat paras Sheline selama ini. Ia tidak menyangka Sean akan bersanding dengan wanita secantik ini setelah bercerai dengannya.

"Saya sering mendengar nama Anda, senang bertemu dengan Anda, Kania. Apa boleh saya memanggil Anda dengan nama saja? Sepertinya kita seumuran."

Kania mengulas senyuman canggungnya mendengar perkataan Sheline, "Ya, panggil nama saja."

"Ini tunangan saya, Sean."

"Sheline, apa kamu yakin tidak ingin mengganti orang untuk mendesain gaunmu? Kita bisa mencari orang yang lebih kompeten dan profesional daripada wanita ini."

Darah Kania seketika bergemuruh mendengar ucapan Sean. Sepertinya Sean sengaja menyindirnya seperti ini agar Kania merasa terluka lagi.

"Anda belum melihat hasil karya saya, bagaimana Anda bisa memberikan penilaian buruk seperti itu, Pak Sean? Saya selalu memberikan yang terbaik untuk seluruh pekerjaan yang saya terima."

Mendengar perdebatan diantara Sean dan juga Kania, Sheline segera menengahi, "Aduh... Maafkan Sean, dia memang bermulut tajam. Sayang... Tolong jangan bicara seperti itu, aku dengar dari Bu Astuti, Bu Kania ini sangat teliti dalam mengerjakan seluruh gaunnya."

"Semoga saja yang kau katakan itu benar dan tidak merusak rencana indah kita, Sayang," balas Sean dengan tatapannya yang menusuk ke arah Kania.

Kania hanya bisa menghela nafasnya kasar. Setelah sekian lama berlalu rupanya kebencian itu masih ada di hati Sean. Kania memilih bangkit berdiri, ia harus menetralkan hatinya yang masih bergemuruh atas semua sikap dingin Sean.

"Sebaiknya saya ke toilet dulu," ucap Kania.

Kania segera bangkit berdiri lalu meninggalkan ruang makan disana. Dengan langkah kecil ia berjalan ke arah ruang kamar mandi lalu membasuh wajahnya.

Sungguh, pertemuannya dengan Sean menggoncangkan seluruh kehidupan tenangnya yang telah ia rajut selama ini. Dari semua pertemuan, kenapa harus Sean yang ia temui? Kenapa harus pria yang seumur hidupnya ingin ia hindari?

Kendalikan dirimu, Keina! Ini hanyalah pekerjaan. Jangan biarkan Sean menang kali ini. Jangan biarkan pria itu tahu keadaan yang sebenarnya.

Brakk!

Keina tersentak saat mendengar pintu didobrak seketika dari arah luar. Matanya melebar sempurna saat melihat Sean ada disana dengan sorot mata yang menyala-nyala.

"Kau, kenapa kau ada disini?"

Belum selesai Keina bertanya, Sean tiba-tiba merangsek maju ke arahnya lalu menekannya ke arah tembok.

"Aww!" Keina meringis kecil merasakan tubuh Sean yang menghimpitnya dengan kasar, "Lepaskan aku, sakit!"

"Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau rencanakan? Apa kau sengaja muncul di hadapanku untuk kembali menghancurkan segalanya?"

Mata Kania melotot mendengar tuduhan dari Sean. Apa maksudnya?

"Aku tidak mengerti maksudmu. Aku muncul disini karena permintaan tunanganmu itu."

Sean menelusuri wajah Kania, jari tangannya berhenti di sudut bibir Kania lalu berkata, "Memangnya mulut jalang sepertimu bisa dipercaya?"

Nyess! Sakit di hati Kania kembali mendengar sebutan itu. Jalang! Setelah sekian lama berlalu Sean masih menganggapnya demikian. Seandainya Sean melihat bagaimana rupa Devan saat ini, apa dia masih menganggap Keina demikian saat wajah Devan hampir sembilan puluh persen meniru rupa ayahnya ini?

"Apa kau kembali menemuiku karena merindukan sentuhan seorang pria, wahai jalang?"

Keina segera menepis tangan Sean yang hendak memegang dadanya begitu saja.

"Jangan kurang ajar!" Tekan Keina dengan raut wajah penuh amarah, "Lepaskan aku atau aku akan berteriak dan membuat tunanganmu itu tahu sifat kurang ajarmu ini."

Sean menyeringai kecil mendengar ucapan Kania. Sedikit demi sedikit, ia melonggarkan cengkramannya di tubuh Kania, "Apa kau sama sekali tidak takut padaku?"

"Untuk apa aku takut padamu?" balas Kania tanpa takut.

Sean semakin tersenyum dengan lebar, ia mendekat ke arah Kania lalu membenarkan anak rambutnya, "Wah... Rupanya jalang ini sudah memiliki keberanian sekarang. Baiklah kita lihat saja sejauh mana kau bisa menantangku, Kania. Terima saja pekerjaan ini jika kau memang memiliki nyali."

Setelah berkata seperti itu, Sean membalikkan tubuhnya. Tangannya mengepal di samping tubuh pria itu. Dari sekian banyak pertemuan, ia tidak menyangka pertemuan dengan Kania menimbulkan banyak goncangan kembali di hatinya. Bagaimana bisa? Setelah bertahun-tahun berlalu, bagaimana bisa kehidupan wanita itu baik-baik saja setelah mengkhianatinya?

Tubuh Kania langsung melorot jatuh saat Sean berlalu dari hadapannya. Tubuhnya lemas seketika dan seluruh tubuhnya gemetar. Bohong jika ia sama sekali tidak takut. Kebencian Sean padanya masih terlalu dalam dan pria itu sangat nekat. Ia bahkan mendatangi Kania hingga ke kamar mandi.

Kania menangis seketika. Luka yang sudah lama ia kubur kini kembali. Kenapa dari setiap pertemuan, ia harus bertemu dengan pria ini? Sean tidak boleh tahu tentang Devan. Biar saja Sean mengganggap Kania seorang wanita jalang asal Devan tidak pernah direbut dari tangannya.

****

Tubuh Kania masih saja lemas setelah pertemuannya dengan Sheline dan juga Sean selesai. Sebenarnya ingin sekali Kania menolak pesanan ini, namun ia terlanjur sesumbar pada Sean dan mengatakan bahwa ia tidak takut. Ia hanya akan mengerjakan pekerjaannya dengan tenang dan menyelesaikan urusannya dengan Sean secepatnya.

Lamunannya seketika terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdering dengan nyaring. Sudut matanya melirik ke arah layar, dengan cepat ia memarkirkan mobilnya ke arah samping saat melihat nomor telepon pengasuh Devan disana.

Dengan satu sentuhan, Kania segera mengangkat panggilan itu. Ia memakai handsfree miliknya lalu menjawab panggilan itu dengan cepat.

"Ya Bi? Ada apa? Ini saya sedang di jalan."

"Aduh Neng, maaf Neng. Gawat!"

Kania mengangkat alisnya saat mendengar ucapan Bi Minah. Gawat? Ada apa sebenarnya?

"Gawat? Gawat kenapa Bi?"

"Devan Neng, Den Devan..."

Raut wajah Kania berubah menjadi panik saat mendengar ucapan Bi Minah yang tergagap di sebrang sana, "Devan kenapa Bi? Ada apa dengan Devan?"

"Den Devan berantem di sekolah!" Seru Bi Minah.

Alis Kania semakin bertaut saat mendengar jawaban dari BI Minah. Devan bertengkar? Kenapa anaknya bisa bertengkar? Setahu dirinya Devan bukan tipe anak yang pemarah dan suka membuat keributan.

"Bagaimana bisa Devan bertengkar Bi? Sebenarnya ada apa?"

"Bibi tidak tahu Neng. Neng Kania diminta untuk datang ke ruang guru."

Kania memijat kepalanya kembali, setelah pertemuan dengan Sean. Kenapa Devan malah berulah?

"Baik Bi, aku segera kesana. Jaga Devan dulu disana."

Setelah berkata seperti itu, Kania segera mematikan panggilan mereka. Sebenarnya apa yang terjadi pada puteranya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status