Kania tidak mampu berkata-kata saat melihat Sean di hadapannya. Tenggorokannya mengering seketika dan tubuhnya terasa lemas. Setelah bertahun-tahun berlalu ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali. Seperti dirinya, Sean juga sepertinya ikut terkejut. Ya, pertemuan ini memang bukan pertemuan yang menyenangkan bagi keduanya.
"Bu Kania, ayo beri salam."Kania seketika tergeragap mendengar ucapan Bu Astuti untuk ke sekian kalinya. Ia segera bangkit berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada dua sejoli di depannya. Wanita yang bernama Sheline ini seakan tidak asing di telinga, namun Kania tidak yakin pernah melihat paras Sheline selama ini. Ia tidak menyangka Sean akan bersanding dengan wanita secantik ini setelah bercerai dengannya."Saya sering mendengar nama Anda, senang bertemu dengan Anda, Kania. Apa boleh saya memanggil Anda dengan nama saja? Sepertinya kita seumuran."Kania mengulas senyuman canggungnya mendengar perkataan Sheline, "Ya, panggil nama saja.""Ini tunangan saya, Sean.""Sheline, apa kamu yakin tidak ingin mengganti orang untuk mendesain gaunmu? Kita bisa mencari orang yang lebih kompeten dan profesional daripada wanita ini."Darah Kania seketika bergemuruh mendengar ucapan Sean. Sepertinya Sean sengaja menyindirnya seperti ini agar Kania merasa terluka lagi."Anda belum melihat hasil karya saya, bagaimana Anda bisa memberikan penilaian buruk seperti itu, Pak Sean? Saya selalu memberikan yang terbaik untuk seluruh pekerjaan yang saya terima."Mendengar perdebatan diantara Sean dan juga Kania, Sheline segera menengahi, "Aduh... Maafkan Sean, dia memang bermulut tajam. Sayang... Tolong jangan bicara seperti itu, aku dengar dari Bu Astuti, Bu Kania ini sangat teliti dalam mengerjakan seluruh gaunnya.""Semoga saja yang kau katakan itu benar dan tidak merusak rencana indah kita, Sayang," balas Sean dengan tatapannya yang menusuk ke arah Kania.Kania hanya bisa menghela nafasnya kasar. Setelah sekian lama berlalu rupanya kebencian itu masih ada di hati Sean. Kania memilih bangkit berdiri, ia harus menetralkan hatinya yang masih bergemuruh atas semua sikap dingin Sean."Sebaiknya saya ke toilet dulu," ucap Kania.Kania segera bangkit berdiri lalu meninggalkan ruang makan disana. Dengan langkah kecil ia berjalan ke arah ruang kamar mandi lalu membasuh wajahnya.Sungguh, pertemuannya dengan Sean menggoncangkan seluruh kehidupan tenangnya yang telah ia rajut selama ini. Dari semua pertemuan, kenapa harus Sean yang ia temui? Kenapa harus pria yang seumur hidupnya ingin ia hindari?Kendalikan dirimu, Keina! Ini hanyalah pekerjaan. Jangan biarkan Sean menang kali ini. Jangan biarkan pria itu tahu keadaan yang sebenarnya.Brakk!Keina tersentak saat mendengar pintu didobrak seketika dari arah luar. Matanya melebar sempurna saat melihat Sean ada disana dengan sorot mata yang menyala-nyala."Kau, kenapa kau ada disini?"Belum selesai Keina bertanya, Sean tiba-tiba merangsek maju ke arahnya lalu menekannya ke arah tembok."Aww!" Keina meringis kecil merasakan tubuh Sean yang menghimpitnya dengan kasar, "Lepaskan aku, sakit!""Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau rencanakan? Apa kau sengaja muncul di hadapanku untuk kembali menghancurkan segalanya?"Mata Kania melotot mendengar tuduhan dari Sean. Apa maksudnya?"Aku tidak mengerti maksudmu. Aku muncul disini karena permintaan tunanganmu itu."Sean menelusuri wajah Kania, jari tangannya berhenti di sudut bibir Kania lalu berkata, "Memangnya mulut jalang sepertimu bisa dipercaya?"Nyess! Sakit di hati Kania kembali mendengar sebutan itu. Jalang! Setelah sekian lama berlalu Sean masih menganggapnya demikian. Seandainya Sean melihat bagaimana rupa Devan saat ini, apa dia masih menganggap Keina demikian saat wajah Devan hampir sembilan puluh persen meniru rupa ayahnya ini?"Apa kau kembali menemuiku karena merindukan sentuhan seorang pria, wahai jalang?"Keina segera menepis tangan Sean yang hendak memegang dadanya begitu saja."Jangan kurang ajar!" Tekan Keina dengan raut wajah penuh amarah, "Lepaskan aku atau aku akan berteriak dan membuat tunanganmu itu tahu sifat kurang ajarmu ini."Sean menyeringai kecil mendengar ucapan Kania. Sedikit demi sedikit, ia melonggarkan cengkramannya di tubuh Kania, "Apa kau sama sekali tidak takut padaku?""Untuk apa aku takut padamu?" balas Kania tanpa takut.Sean semakin tersenyum dengan lebar, ia mendekat ke arah Kania lalu membenarkan anak rambutnya, "Wah... Rupanya jalang ini sudah memiliki keberanian sekarang. Baiklah kita lihat saja sejauh mana kau bisa menantangku, Kania. Terima saja pekerjaan ini jika kau memang memiliki nyali."Setelah berkata seperti itu, Sean membalikkan tubuhnya. Tangannya mengepal di samping tubuh pria itu. Dari sekian banyak pertemuan, ia tidak menyangka pertemuan dengan Kania menimbulkan banyak goncangan kembali di hatinya. Bagaimana bisa? Setelah bertahun-tahun berlalu, bagaimana bisa kehidupan wanita itu baik-baik saja setelah mengkhianatinya?Tubuh Kania langsung melorot jatuh saat Sean berlalu dari hadapannya. Tubuhnya lemas seketika dan seluruh tubuhnya gemetar. Bohong jika ia sama sekali tidak takut. Kebencian Sean padanya masih terlalu dalam dan pria itu sangat nekat. Ia bahkan mendatangi Kania hingga ke kamar mandi.Kania menangis seketika. Luka yang sudah lama ia kubur kini kembali. Kenapa dari setiap pertemuan, ia harus bertemu dengan pria ini? Sean tidak boleh tahu tentang Devan. Biar saja Sean mengganggap Kania seorang wanita jalang asal Devan tidak pernah direbut dari tangannya.****Tubuh Kania masih saja lemas setelah pertemuannya dengan Sheline dan juga Sean selesai. Sebenarnya ingin sekali Kania menolak pesanan ini, namun ia terlanjur sesumbar pada Sean dan mengatakan bahwa ia tidak takut. Ia hanya akan mengerjakan pekerjaannya dengan tenang dan menyelesaikan urusannya dengan Sean secepatnya.Lamunannya seketika terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdering dengan nyaring. Sudut matanya melirik ke arah layar, dengan cepat ia memarkirkan mobilnya ke arah samping saat melihat nomor telepon pengasuh Devan disana.Dengan satu sentuhan, Kania segera mengangkat panggilan itu. Ia memakai handsfree miliknya lalu menjawab panggilan itu dengan cepat."Ya Bi? Ada apa? Ini saya sedang di jalan.""Aduh Neng, maaf Neng. Gawat!"Kania mengangkat alisnya saat mendengar ucapan Bi Minah. Gawat? Ada apa sebenarnya?"Gawat? Gawat kenapa Bi?""Devan Neng, Den Devan..."Raut wajah Kania berubah menjadi panik saat mendengar ucapan Bi Minah yang tergagap di sebrang sana, "Devan kenapa Bi? Ada apa dengan Devan?""Den Devan berantem di sekolah!" Seru Bi Minah.Alis Kania semakin bertaut saat mendengar jawaban dari BI Minah. Devan bertengkar? Kenapa anaknya bisa bertengkar? Setahu dirinya Devan bukan tipe anak yang pemarah dan suka membuat keributan."Bagaimana bisa Devan bertengkar Bi? Sebenarnya ada apa?""Bibi tidak tahu Neng. Neng Kania diminta untuk datang ke ruang guru."Kania memijat kepalanya kembali, setelah pertemuan dengan Sean. Kenapa Devan malah berulah?"Baik Bi, aku segera kesana. Jaga Devan dulu disana."Setelah berkata seperti itu, Kania segera mematikan panggilan mereka. Sebenarnya apa yang terjadi pada puteranya?Kania segera bergegas ke ruang guru. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat sosok Devan yang tertunduk bersama dengan Bi Minah. Di sampingnya terlihat seorang ibu paruh baya dan seorang anak yang memandang Devan tidak senang."Anda ibu dari anak yang bernama Devan itu, bukan? Akhirnya Anda datang juga. Lihat apa yang dilakukan putera Anda kepada putera saya."Wanita paruh baya itu seketika berdiri sambil menunjuk ke arah luka anak yang berada di sampingnya. Kania tersentak melihat luka yang ia lihat sekarang, ada luka robek yang terlihat di sudut pipi bocah lelaki itu. Kenapa Devan sampai melukai temannya seperti ini?Devan terlihat hanya menunduk tanpa sedikitpun menatap ke arah Kania. Devan selalu bertindak seperti itu jika merasa dirinya bersalah.Kania menghela nafasnya panjang, ia menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf atas perlakuan puteranya."Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh putera saya. Pasti ada alasan kenapa Devan bertindak seperti ini. Saya akan berbi
Devan akhirnya membuka pintu, Kania menghela nafasnya dengan lega. Ia menarik tangan Devan lalu membawanya ke ruang keluarga. Kania mengulurkan potret Sean yang sudah ia bawa lalu berkata, "Ini Papa,"Devan menelusuri potret itu dengan alisnya yang terangkat, "Tapi kenapa fotonya begini, Ma?" Tanya Devan bingung.Kania segera mengambil foto dari Devan, "Mama takut merindukannya jika fotonya terlalu jelas. Sudahlah, kamu sudah melihatnya, bukan? Sekarang kita makan." Kilah Kania dengan cepat.Namun, bukannya beranjak dari duduknya, Devan kembali menarik tangan Kania, "Papa itu orang seperti apa, Ma?"Kania tertegun. Ia menatap manik mata Devan. Manik mata itu terlihat berbinar, sepertinya Devan sangat ingin tahu tentang ayahnya. Kania menghela nafasnya, apa yang harus kita ia katakan? Tidak mungkin ia mengatakan pada Devan bahwa ayahnya mengusir mereka."Papa orang yang baik, ya sangat baik, dia sangat perhatian. Dia selalu membuat Mama merasa sangat dicintai. Meski sedang sibuk, Papa
"Kita akan mengikuti kontes ini."Dewi, Isa, dan juga Lana terlihat berpandangan mendengar ucapan Kania. Raut wajah mereka terlihat bingung melihat pamflet yang ditunjukkan oleh Kania ke hadapan mereka. Dewi yang lebih berani dan banyak bicara dari ketiga pegawainya terlihat mengangkat tangan, "Kita ikut lomba, Bu? Tapi bukankah selama ini kita tidak pernah ikut lomba? Apa Ibu yakin kita bisa ikut lomba ini tanpa mengganggu pesanan yang lain?" Tanya Dewi merasa sangsi.Kania menghela nafasnya dengan kasar. Ya selama mereka bekerja pada Kania, tidak pernah sekalipun ada kabar berita butiknya akan mengikuti kegiatan lomba atau kontes apapun. Ditambah lagi pekerjaan mereka yang saat ini sedang menumpuk, mungkin mereka menganggap Kania sudah gila karena mengambil keputusan ini. Kania sepertinya memang sudah gila. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak karena sering bertemu dengan Sean."Justru karena kita belum pernah mencobanya. Kita usahakan untuk tidak mengganggu pesanan yang lai
"Ada apa Ma?" Tanya Sheline saat melihat wajah Catherine menegang di sampingnya.Catherine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ah tidak, Mama hanya ingin tahu bagaimana rupa orang yang mendesain gaunmu.""Ah begitu."Catherine mengangguk dengan cepat, ia kembali ke arah kursinya, "Sudahlah, sebaiknya kita kembali makan. Setelah ini kita ke tempat lain,"Sheline balas mengangguk, "Baik Ma,"****Sepulangnya Catherine dari berbelanja, Catherine terlihat gelisah. Ia bergerak kesana kemari di rumahnya. Ia tidak menyangka Kania akan kembali bertemu dengan Sean. Padahal sudah tujuh tahun mereka tidak pernah bertemu kembali, tapi kenapa wanita rendahan itu harus muncul disaat yang penting? Ia tidak bisa membiarkan hal ini, bagaimana jika Sean kembali goyah karena kehadiran wanita itu? Ia sudah merasa senang karena Sean akan menikah dengan Sheline, wanita yang sederajat dengan mereka. Ia tidak akan membiarkan Sean kembali pada wanita itu.Catherine segera mengambil ponsel yang berad
"Aku memang masih hidup, kenapa? Apa kau kecewa?""Tidak, saya malah merasa bersyukur Anda masih hidup, jadi Anda bisa melihat bagaimana kerja keras saya setelah pengusiran yang Anda dan putera Anda lakukan."Catherine terlihat bertepuk tangan, "Wah wah wah hanya sampai di tahap ini, kau sudah besar kepala Kania. Kau masih bukan apa-apa, di mataku kau hanya seorang wanita kampungan."Amarah Kania seketika menggelegak, kepalan tangannya semakin menguat di samping tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh terpancing emosi dengan hinaan kecil ini."Jika Anda kemari hanya untuk menghina saya, silahkan keluar."Dengan penuh amarah, Catherine mendekat ke arah Kania, ia menjambak rambut Kania dengan kasar, "Tundukkan pandanganmu di depanku, wanita rendahan. Aku tidak suka cara melihatmu itu."Kania meringis menerima jambakan yang dilakukan oleh Catherine, namun dengan cepat Kania menarik tangan Catherine lalu memelintir tangan mantan mertuanya. Memangnya ia pikir, Kania akan diam saja setelah dianiaya
Sean yang masih belum beranjak dari samping Kania tersenyum puas. Rencananya untuk mempermalukan Kania rupanya tidak main-main. Benar, dialah yang membuat model yang Kania sewa mengundurkan diri tepat sebelum acara dimulai. Biar saja Kania kebingungan saat ini karena rencananya berantakan. Ia tidak terima melihat Kania baik-baik saja setelah mengkhianati seluruh cintanya. Merasa yakin bahwa tidak akan ada jalan keluar bagi mereka, Sean mulai melangkahkan kakinya. Setelah ini Kania pasti merasa malu karena hasil karyanya tidak bisa ditampilkan. Ah, Sean jadi tidak sabar, bagaimana wajah Kania saat mengaku kalah padanya?Sekeras apapun Kania memutar otaknya, ia tidak dapat mendapat jawaban. Waktu berjalan begitu cepat selagi ia memikirkan solusinya. Sial, apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin ia mengundurkan diri setelah sampai di tahap ini."Saya sendiri yang akan menjadi modelnya." Jawab Kania dengan cepat.Mata Dewi melebar mendengar ucapan Kania, "Ibu mau jadi modelnya sendiri?"
"Jadi kau yang melakukannya?" Sergah Kania saat menemukan Sean yang berdiri di sudut gedung.Sean terlihat membalikkan tubuhnya, ia memberikan tatapan tidak mengerti, "Apa maksudmu?"Kania mendengus melihat sikap Sean, "Jangan berpura-pura, kau bukan yang sudah membuat modelku mundur sesaat sebelum acara berlangsung?""Oh itu. Ya aku yang melakukannya."Jawaban santai yang keluar dari mulut Kania membuat hatinya terasa diiris sesutu. Mulut Kania bergetar menahan desakan emosional yang kembali menghantamnya, "Kenapa? Kenapa kau melakukannya?" Tanya Kania getir."Tidak ada alasan, aku hanya ingin memberi pelajaran padamu.""Pelajaran?" Kania mendengus tidak percaya, dari sekian banyak alasan, Sean hanya ingin memberikan pelajaran padanya?"Haruskah kau melakukan hal sampai sejauh itu? Kau tahu bukan bahwa bukan hanya aku yang akan terluka di sini? Pegawai yang bekerja denganku, mereka sama sekali tidak salah." Lanjut Kania dengan kesal.Sean terlihat mengangguk, "Aku tidak perduli karen
"Kenapa kita tidak jadi bertemu dengan desainermu itu?" Tanya Sean saat jadwal pertemuan dengan Kania selanjutnya tiba. Sheline yang tengah menyantap sesuatu mengangkat wajahnya, "Kania akan memberitahukan seluruh desainnya melalui pesan untuk sekarang ini, jadi tidak ada pertemuan lagi untuk kita." Sheline menghela nafasnya panjang, "Dia sudah memenangkan kontes yang kau maksud sepertinya dia cukup sibuk,"Sean terlihat terkejut mendengar penuturan Sheline, "Tapi bagaimana jika kau ingin melihat hasilnya?" Tanya Sean."Aku yang akan kesana, tidak apa-apa.""Apa? Tapi, bukankah itu merepotkanmu? Aku sudah bilang akan membayar gaunnya dengan harga pantas, tapi kenapa dia masih merepotkan kita?" ujar Sean dengan nada kesal."Aku hanya sesekali kesana, Sean. Tidak apa-apa, lagipula prosesnya masih panjang. Bukankah kau sendiri yang membuatnya sibuk hingga memenangkan kontes itu? Kita tidak bisa menyalahkannya.""Kalau seperti itu, dia bisa saja mengerjakan gaun kita secara asal,"Sheline