Yah, namanya juga Widi. Usaha terus aja ampe dapet.
Selagi ada kesempatan, Widi akan mengambil kesempatan tersebut sebaik-baiknya dan tidak akan menyerah meskipun Kala pernah mengatakan jika hubungan mereka hanya bisa untuk sebuah pertemanan. Namun Widi masih merasakan perasaan Kala kepadanya adalah sebuah perasaan cinta yang berusaha disembunyikan. Berbekal dari keyakinan itu, dia tentu saja ingin mendesak dan memengaruhi lelaki itu dengan semua kata-katanya. “Jangan bahas ini lagi, Di.” Kala akhirnya bersuara setelah mendengar pertanyaan Widi yang membuatnya semakin pusing. “Aku akan kembali dan beristirahat.” Kala meninggalkan Widi yang masih terdiam di tempatnya. Namun tak lama, perempuan itu menyusul. Tidak ada obrolan apa pun di antara keduanya sampai Kala keluar dari lift dan pamit seadanya kepada Widi. Kala melemparkan tubuhnya di sofa dengan keadaan unit itu gelap gulita. “Sebenarnya apa yang gue inginkan?” Kala bergumam pada keheningan yang menyerang. “Widi ada di sini. Gue menganggap selama ini gue masih mencintai dia.
“Ma, kami nggak melakukan sampai sejauh itu.” Kala menjawab pertanyaan bernada tuduhan tersebut dengan keyakinan tinggi. “Kenapa Mama menganggap aku seburuk itu?” “Karena Mama tahu siapa perempuan yang kamu bela mati-matian itu. Dia bahkan tidur dengan lelaki lain yang bukan suaminya.” Image buruk yang Widi miliki akan terus melekat erat di dalam dirinya. Mau menyangkal seperti apa pun dia sekarang, bagi orang-orang di sekitar Kala, dia tetaplah perempuan hina. Dia tak ubahnya seorang perempuan pelacur di mata mereka. Kebencian orang tua Kala terhadap mantan menantunya itu begitu besar dan tidak akan bisa ditebus dengan apa pun. “Jangan mengelak lagi, Kala. Bilang sama kami di mana istrimu sekarang!” Ayah Kala lagi-lagi tampak tidak sabaran. “Aku … aku nggak tahu, Pa.” Jawaban itu membuat darah orang tua Kala mendidik lagi. “Dia menghilang.” Tak sabar karena ucapan Kala yang baginya sangat bajingan, sang ayah berdiri lalu menarik baju yang dikenakan putranya. Satu pukulan melayan
Ramon sangat mengerti kekecewaan yang ibu Kala rasakan. Jangankan orang tua Kala, dia saja merasakan hal yang sama. Kala sungguh kelewatan. Kalaupun suatu hari nanti Binar berubah pikiran dan ingin menceraikan Kala, maka dengan senang hati dia akan membantu Binar untuk putus hubungan dengan sepupunya tersebut. Setelah orang tua Kala pulang dari apartemennya, Ramon segera menceritakan semuanya kepada Binar malam itu juga. Dia tidak ingin menundanya. Semakin masalah ini cepat berlalu, maka akan semakin baik. Di tempat yang berbeda, Binar baru saja mendapatkan informasi dari Ramon tentang orang tua Kala yang sudah mengetahui seluk beluk rumah tangganya yang tidak baik-baik saja. Maka dia berpikir sudah saatnya dirinya kembali dan menjelaskan kepada mertuanya. Memang, dia baru sebentar sembunyi untuk menghindari Kala. Tapi kepergiannya tidak akan membuat masalahnya selesai. “Bik, sepertinya kita akan segera pulang.” Begitu Binar berbicara kepada Bibi keesokan harinya. “Saya nggak bis
Setelah Binar selesai bicara, tidak ada dari Kala atau kedua orang tuanya yang bersuara. Mereka hanya diam membisu seolah kehilangan semua kata-katanya. Binar pun tidak mendesak mereka untuk mengeluarkan pendapatnya, karena kedatangannya ke rumah itu hanya untuk berbicara dan menjelaskan yang terjadi antara dirinya dan Kala. Dia pun tidak berharap orang tua Kala akan membelanya dan menyalahkan Kala. Seperti yang dia bilang, semua keputusan ada di tangan Kala dan kedua orang tuanya. “Mama tidak bisa membayangkan perasaan sakit yang kamu rasakan, Bi.” Bu Fatma akhirnya bersuara. “Dalam keadaan hamil, tidak ada yang paling kita butuhkan kecuali suami kita. Tapi, kamu justru ditinggalkan suamimu di tengah malam dan itu untuk menemui perempuan lain. Mama nggak bisa membayangkan rasa sakit itu, Bi.” Binar tidak pernah menduga ibu mertuanya akan mengatakan itu alih-alih menudingnya dengan banyak kata makian. Perempuan paruh baya itu justru menempatkan dirinya pada posisi Binar sehingga t
Kala tidak pernah menyangka sang ayah akan mengatakan segala macam kalimat menyakitkan itu kepadanya. Saat dulu dia bertindak bodoh karena kepergian Widi, mereka tidak sekasar sekarang. Tapi jelas sekarang sangat berbeda. Kala menyakiti Binar si perempuan baik yang tidak pernah mengecewakan. Sedangkan Widi si perempuan selingkuh. Kala pergi dari rumah orang tuanya menuju rumah Binar. Dia akan ikut di mana istrinya tinggal. Itulah yang akan dia lakukan sekarang. Dia tidak ingin kehilangan Binar untuk kedua kalinya. Jadi bagaimanapun Binar akan memperlakukannya nanti, dia akan menerimanya dengan lapang dada. “Binar di kamar, Bik?” Kala bertanya kepada Bibi ketika melihat perempuan paruh baya itu di ruang keluarga. “Iya, Pak. Tapi Ibu pesan kalau jangan diganggu. Ibu sedang istirahat.” Kala hanya mengangguk kemudian naik ke lantai dua di mana kamar Binar berada. Saat dia membuka pintu kamarnya, Binar benar-benar tengah tidur dan terlihat sangat damai. Kala menutup pintu sepelan mu
Ramon tidak bisa menjawab pernyataan yang dikatakan oleh Binar. Mungkin semua orang tidak akan percaya ketika perempuan dan laki-laki bersama, mereka tidak akan terlibat dalam nafsu yang tak seharusnya. Terlebih lagi adalah Kala dan Widi yang notabennya adalah mantan suami istri. Dan lagi, menurut Ramon, Kala dan Widi masih saling mencintai. Tapi dia mengenal Kala. Seperti halnya dirinya, Kala tidak akan pernah melakukan sesuatu yang melanggar norma. Maka Ramon mencoba untuk mengatakan pendapatnya kepada Binar. “Gue rasa mereka tidak akan melakukan hal seperti itu, Bi. Gue yakin Kala masih memiliki batasan yang tidak akan dilanggar.” Binar tampaknya masih ragu. Tapi karena Ramon yang mengatakan itu, tentu saja dia perlu percaya dengan lelaki itu. Berhenti membahas tentang masalahnya dengan Kala, Binar menyusuri jalanan dengan tatapannya ketika mereka sampai di depan kampus mereka dulu. Baik Binar maupun Ramon, tidak ada yang pernah menyempatkan datang ke tempat mereka pernah mengem
Binar tidak serta merta menerima ponsel Kala dan hanya terus menatapnya dalam diam. Nama Widi terus muncul di layar ponsel tanpa henti. Saat panggilan itu mati, tak lama muncul lagi dan membuat Binar tahu, Widi tampaknya tidak akan menyerah. Lantas, Binar menatap Kala sebelum meyakinkan lelaki itu sekali lagi. “Kalau Mas mau aku yang angkat, itu artinya Mas kasih aku kesempatan untuk mengeluarkan kata yang mungkin akan melukai dia. Mas yakin?” Kala mengangguk. “Lakukan saja,” kata Kala memberikan izin. Binar mengambil alih ponsel sang suami lalu menerima panggilannya. Tentu saja dengan meloudspeaker agar Kala bisa mendengar pembicaraan Binar dengan Widi. “Halo!” Binar memulai. “Mbak Binar?” Suara Widi terdengar di seberang sana. Ada sebuah getaran dalam suaranya. Binar menatap Kala hanya untuk memastikan ekspresi sang suami. Tapi seperti semula, lelaki itu bahkan tampak terlihat dingin. “Kenapa, Mbak?” tanya Binar setelah itu. “Ada perlu apa?” Ini adalah untuk pertama kalinya
Setelah kejadian pagi itu, hubungan Kala dan Binar masih sama. Interaksi yang mereka lakukan masih begitu kaku dan tampak tidak seperti suami istri. Bahkan saat mereka masih awal menikah saja, hubungan mereka lebih baik dari sekarang. Binar benar-benar tidak bisa dengan mudah memberikan maaf kepada Kala. Setiap melihat Kala, yang dipikirkan selalu saja pengkhianatan yang dilakukan oleh lelaki itu. Malam ini, orang tua Kala datang ke rumah Binar untuk mengetahui kabar Binar. Ibu mertua Binar itu membuat jamu tradisional untuk kehamilan. Dan bagi Binar itu sangat perhatian. “Jangan banyak kerja, Bi. Tiap pagi diajak jalan-jalan pagi keliling komplek atau muter-muter halaman depan juga nggak papa.” Bu Fatma menasehati. Keberadaan Kala yang ada di sana seperti bukan apa-apa di mata orang tuanya. Mereka mengabaikan keberadaan putranya dan hanya memerhatikan Binar. Kala tidak banyak bicara dan dia hanya diam. Dia menyadari kesalahan besar yang dibuat bahkan orang tuanya pun memusuhinya s