“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Jadi, ini adalah calon istri keduamu, Rasya?” Ucapan itu keluar dari mulut ibu mertua Binar seolah tanpa beban. “Iya, Ma. Namanya Nindi. Kami sudah menjalin hubungan selama satu tahun, dan …” ada jeda yang diambil oleh Rasya sebelum melanjutkan. “Nindi sekarang sedang mengandung.”“Benarkah?” Suara ibu mertua Binar terdengar penuh keterkejutan dan juga antusias. Tapi tak lama Perempuan itu melanjutkan, “Bagi Ibu, ini adalah kabar baik meskipun kalian melakukan hal yang salah. Jadi, berapa bulan kandungan Nindi?” “Baru jalan satu bulan, Bu.” Begitu Nindi menjawab. Suaranya terdengar mendayu-dayu bak gadis lemah lembut dan keibuan. “Bu, aku membutuhkan waktu untuk membicarakan ini kepada Binar. Ibu bantulah aku untuk bicara dengannya nanti.” “Tentu saja Ibu akan melakukannya. Lagi pula, sudah dua tahun kalian menikah tapi tidak ada tanda-tanda dia hamil. Ibu bahkan nggak tahu apa yang salah dengannya. Dia mengaku baik-baik saja saat dicek ke dokter, tapi nyatanya dia mandul. Tentu
Dengan berpura-pura membangunkan Rasya karena getaran ponselnya yang mengganggu, Binar ingin tahu reaksi yang diberikan oleh suaminya. Dan diluar dugaan, lelaki itu menanggapi pesan itu dengan melakukan panggilan untuk ‘Tono’ sambil turun dari ranjang. Binar bisa melihat suaminya dari belakang dan tampak serius berbicara dengan si Tono. “Binar!” Rasya menyelesaikan panggilannya dan mendekat ke arah ranjang. Binar hanya menjawab dengan gumaman. “Bi, aku ada urusan sebentar. Aku keluar, ya.” “Malam-malam begini mau ke mana, Mas?” Kini Binar membuka matanya dan menatap sang suami. “Sepenting itu?”“Temen kantor mabuk dan teman-teman yang lain nggak bisa jemput. Aku akan menjemputnya sebentar. Nggak papa, kan?” “Oh. Oke. Hati-hati ya. Udah malam.” Rasya tersenyum sebelum mengambil kunci mobilnya dan keluar dari kamar. Saat pintu kamar sudah tertutup, Binar menyeringai. Dia juga mengambil kunci mobil dan ponselnya untuk mengikuti Rasya. Hanya dengan mengenakan piyama dan sandal, Bin
“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.” Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa. Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan. Naas, injakan rem mobilnya ta
Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. “Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” “Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” “Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”“Ibu berpikir aku bisa melakuk
Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di