07.42
Pagi di kota Lawang Sentra tak pernah benar-benar tenang. Bising klakson, aroma gorengan kaki lima, dan seruan para pejalan kaki menyatu dalam irama yang memekakkan kepala. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria muda menyelip di antara trotoar yang padat sambil menggenggam tas selempangnya erat-erat. Danu Adibrata. Dua puluh lima tahun. Magang. Gaji pas-pasan. Penampilan payah. Bahkan jam tangannya bukan penunjuk waktu, tapi penanda berapa lama lagi dia harus menahan lapar. Di lobby kantor Naradipa Corp—sebuah perusahaan percetakan raksasa—Danu menarik napas panjang sebelum menyentuhkan kartu identitasnya ke mesin fingerprint. Sepersekian detik setelah lampu hijau menyala, terdengar suara langkah sepatu kulit menggedor ubin marmer. “Lihat siapa yang datang? Si tukang fotokopi kebanggaan kita!” Danu menoleh. Di sana berdiri Alvino—kepala divisi desain, berjas rapi, rambut disisir licin, senyum sinis mekar seperti kembang api yang menyambut petaka. “Aduh, jangan bilang hari ini lu bakal dapet kesempatan presentasi, ya Dan?” Alvino menyikut bahu Danu sambil tergelak. “Udah gue geser jadwalnya ke gue sendiri. Nggak mungkin dong kita kasih klien liat template karya bocah magang?” Beberapa staf menahan tawa. Salah satunya Nadine, mantan kakak tingkat yang dulu sering meminjam catatan Danu—dan kini bahkan ogah menatap matanya. “Tapi itu project gue yang bikin layout—” “Lu bikin,” potong Alvino, “gue poles! Kalo gue nggak ‘koreksi’, itu proposal cuma pantas buat lomba desain SMA.” tawanya menggema di lobby. Danu mengepal tangan. “Pak Yudha tahu saya yang—” “Pak Yudha lagi cuti. Dan selama dia nggak ada, gue yang megang semua. Termasuk ... siapa yang boleh muncul di ruang meeting. Ngerti lu?” Seketika lampu lift berdenting. Alvino masuk lebih dulu, menyenggol bahu Danu untuk kedua kalinya. Nadine mengikuti sambil melempar senyum remeh. Danu terdiam. Di belakangnya, suara staf lain terdengar menggema. “Jadi bener ya? Dia yang bikin? Kirain Pak Alvino.” “Magang doang, sok jago.” “Kasihan, gak tahu tempat.” ** Pukul 11.10, ruang pantry penuh aroma kopi instan dan suara ceret air panas. Danu duduk menyendiri di ujung, menatap email balasan yang tak kunjung masuk. Tiba-tiba, suara Nadine terdengar dari belakang. “Dan?” Danu mendongak. Nadine bersandar di meja dengan ekspresi terlalu manis untuk jadi tulus. “Kamu masih simpan file master project 'Aksara Visual'?” “Iya,” jawab Danu pelan. “Kenapa?” “Aku mau minta. Buat ... jaga-jaga. Tadi presentasi Alvino kayaknya kurang greget. Aku mau revisi sekalian.” Danu menatap mata perempuan itu. Tatapan itu ... sama seperti dulu, waktu dia pernah berani mengungkapkan perasaan—lalu ditertawakan. “Revisi ... buat kamu?” tanyanya datar. “Ya buat kita semua. Tim desain lah!” jawab Nadine cepat. “Kalau kamu cuma disuruh Pak Alvino, bilang aja, gak akan saya berikan!” Nadine tertawa kecil, tapi matanya menajam. “Dan, jangan drama! Kamu kan cuma magang? Bisa apa kamu?” balasnya ketus, melenggang pergi dengan menghentakkan kaki. Ucapan itu menampar lebih keras daripada penghinaan Alvino. Sebelum Danu sempat merespon sikap Nadine, ponselnya berbunyi. Nomor Tidak Dikenal. Suara gemetar dari seberang sana membuat napasnya tercekat. “Mas ... ini ... saya Bu Siti. Ibu Mas Danu ... jatuh dari tangga barusan. Berdarah ... banyak.” Danu menjatuhkan ponselnya. Suara keributan di kantor mendadak hilang dari pendengarannya. Hanya ada suara detak jantung—dan langkah kaki dirinya yang makin cepat. Namun saat ia keluar dari gedung dan melewati lorong parkir bawah tanah ... Seorang nenek berdiri membungkuk di sana, diseret oleh dua pria berjaket hitam. Satu di antara mereka mengangkat batang besi. Suara batin Danu berteriak, “Kalau kau ikut campur, hidupmu tak akan sama lagi, Danu!” Tapi kakinya sudah bergerak. Tubuhnya melesat tanpa pikir panjang. “Hoi!” teriaknya, menendang keranjang belanja ke arah kaki salah satu pria. Dentingan logam memantul. Pria pertama tersentak. Pria kedua berbalik, mengayunkan batang besi ke arah kepala Danu. Ia menunduk cepat, lalu menubruk tubuh lawan dengan seluruh sisa tenaganya. Tubuh mereka terhuyung dan jatuh menghantam beton. Danu melayangkan pukulan mentah ke rahang si pria, tapi tangan kurusnya tak menghasilkan banyak pengaruh. Balasan datang lebih keras. Sebuah hantaman mendarat di perutnya. Danu tersungkur. Napasnya terengah. Dunia mulai berputar. Tapi sebelum kesadarannya lepas, ia melihat nenek itu menatapnya lurus. Matanya bersinar ... bukan seperti manusia biasa. Sebuah bisikan halus menggema di telinganya, samar. "Kau telah memilihnya." Detik berikutnya pandangan Danu menjadi ... gelap. Apa yang akan terjadi?Danu duduk di ruang kerjanya, naskah biografi Rendra Gunawan terbuka di hadapannya, penuh coretan, sticky notes, dan tinta merah yang belum sepenuhnya kering. Tangannya gemetar setiap kali ia menulis ulang satu kalimat—dan bukan karena takut salah gramatikal.Tapi karena … setiap kalimat yang ia ubah, menjadi kenyataan.Hari pertama.Ia menulis ulang bagian tentang "Rendra pernah nyaris mati tersambar petir di lereng Lawang Sentra saat badai hebat melanda."Setelah menyimpan dokumen itu di flashdisk dan pulang, ia membuka berita malam:"Hujan petir langka terjadi di Lereng Lawang Sentra. Satu pendaki ditemukan selamat meski tersambar."Danu nyaris menjatuhkan ponselnya. "Apa mungkin Rendra bisa keluar dari lorong itu dengan tulisanku?" Dia menggeleng samar.Hari kedua.Ia memperbaiki satu bagian kecil tentang ayah Rendra yang kabarnya "dikenal sebagai penjaga naskah-naskah kuno dan masih hidup dalam persembunyian."
Angin yang bertiup dari lorong waktu tak sekadar menyentuh kulit—ia menghantam sampai ke lapisan jiwa terdalam.Kayla, Danu, dan Rahwanagara berteriak tanpa suara saat pusaran cahaya biru kehijauan menggulung mereka. Tak ada arah, tak ada pegangan. Hanya waktu yang pecah, berdenging seperti alarm semesta. Gulungan sejarah Rahwanagara robek dengan sendirinya, aksara berhamburan seperti serpihan kaca yang berkilau.Dan ketika cahaya itu meredup …Mereka jatuh.Bukan di masa lalu. Bukan di masa kini. Tapi di masa depan.Sebuah kota tanpa bayangan, tanpa matahari. Gedung-gedung transparan setinggi langit berdiri di atas tanah yang memantulkan cahaya biru dingin. Mobil-mobil tanpa roda melayang. Jalanan tak lagi padat manusia, hanya hologram yang berjalan dan bekerja, sementara para manusia nyata tertidur dalam kapsul seperti kantung raksasa bening."Apa... ini?" Danu terhuyung. Pena apinya kehilangan cahaya. Buku takdirnya kosong.
Gemuruh guntur terdengar bahkan di siang bolong. Langit Lawang Sentra tak lagi membiru, melainkan dipenuhi retakan samar seperti kaca pecah. Tapi tak seorang pun benar-benar menyadarinya—bagi mata biasa, hanya terlihat seperti perubahan cuaca yang aneh.Di dalam ruang arsip kantor redaksi Suara Svara, pertempuran yang tak kasat mata telah dimulai.Danu berdiri menghadap Kayla. Pena api di tangan kirinya bergetar hebat.“Kamu menghapus semua kerja kerasku. Semua aksara yang kutulis. Kamu ... penghianat!” bentaknya, napasnya memburu. Aura panas menyebar dari telapak tangannya, membuat rak-rak logam di sekitar mulai mencair seperti lilin.Kayla berdiri tenang di tengah pusaran energi yang terbentuk. Matanya menyala biru pucat. “Kamu belum mengerti, Danu. Tulisanmu menembus batas waktu—dan itu berarti ... kamu mengacak-acak takdir tanpa saringan.”“Aku menulis untuk kebaikan!” Danu menyerang lebih dulu. Goresan pena api menghantam lantai, men
Langkah Kayla pelan. Sepasang sepatunya menyentuh lantai kamar Danu tanpa suara. Ia menatap tubuh yang tergeletak tak berdaya itu, napasnya masih berat, berkeringat dingin akibat kekuatan yang terlalu besar keluar dalam satu waktu.Matanya memantulkan cahaya lembut dari buku kuno yang masih menyala di lantai. Ia mengenal buku itu. Ia bahkan tahu dengan pasti bagaimana rasanya saat pena api keluar dari dalam tubuh. Itu rasa yang begitu familiar—sekaligus menakutkan.“Akhirnya kamu juga merasakannya, Danu ....” bisiknya, lirih dan penuh campur aduk.Kayla duduk perlahan di samping Danu, meraih selimut dan menutupinya pelan, nyaris seperti seorang kakak yang melindungi adiknya. Tapi matanya … matanya menyimpan rahasia berabad-abad.Lalu segalanya kembali.Ratusan tahun lalu.Langit merah membara. Di lembah Dunya Aksara, sebuah tempat sakral bagi para Penjaga, seorang anak lelaki berdiri di altar batu. Usianya dua belas tahun, rambut
Danu menatap layar komputer di hadapannya. Tampak buram. Bukan karena mengantuk, tapi karena mouse tak kunjung mau bergerak ke arah yang diinginkannya. Trackpad laptop bermasalah? Bukan. Tangannya sendiri... bergetar dan lemas.Tumpukan kertas di sisi meja hampir jatuh. Naskah-naskah lama yang harus dia koreksi, sunting ulang, proofreading baris per baris, mencocokkan referensi kutipan, dan menyusun layout halaman demi halaman dengan perhitungan kolom yang akurat. Semuanya harus dilakukan manual—tanpa bantuan alat koreksi otomatis, AI editing, atau aplikasi percepat kerja yang biasa ia manfaatkan diam-diam melalui kekuatan lamanya.Seminggu lalu, pekerjaan seperti ini bisa dia selesaikan hanya dalam hitungan jam.Sekarang?Layar Excel saja bisa membuat matanya berair dan punggung terasa diremas-remas. Ia tak bisa mengakses apapun secara instan. Bahkan tombol pintas pada keyboard terasa asing dan lambat.“Danu,” tegur Mbak Tari dari divisi tata letak, “layout halaman 7 sampai 14 belum
KRAK!!Lorong waktu retak.Danu terhuyung. Udara di sekitarnya bukanlah udara… melainkan seperti serpihan sejarah dan bayangan masa depan. Semuanya berputar. Tak ada atas, tak ada bawah.Ia meraba dinding bayangan, napasnya berat.“Ini … jebakan?” gumamnya, suara sendiri menggema seperti gema ribuan lidah.Tiba-tiba, pusaran terbelah. Sebuah cahaya merah keemasan muncul. Seolah ada tangan tak kasat mata yang menyibak tirai semesta.Danu melangkah maju. Tubuhnya terasa lebih ringan, tapi detakan jantungnya semakin berat.Di tengah kekosongan yang kini tampak seperti taman waktu yang melayang, duduklah seorang pria tua berjubah tinta, rambut putih panjang, dan mata tajam yang menyala seperti bara. Di belakangnya, mengambang lembaran-lembaran naskah kuno, pena-pena besar melayang seolah menjaga takhta tak kasat mata.“Kamu siapa …?” lirih Danu.Pria itu membuka mata. “Akhirnya … waktumu tiba.”Dan
Langit Lawang Sentra yang biasanya cerah, sore itu ditutupi awan kelabu yang menggantung berat. Udara mendadak dingin, seolah waktu menahan napas. Kota itu—yang dibangun di atas fondasi sejarah dan misteri—mulai merasakan getaran dari dimensi yang tak kasat mata.Dan semuanya … berpusat pada Danu.Nadine yang sedang berjalan pulang dari kantor, tiba-tiba berhenti di trotoar ketika lampu jalan menyala lebih awal dari biasanya. Bayangannya membelah dua, meski hanya ada satu sumber cahaya.Da mengernyit. "Aneh…"Tapi sebelum ia bisa melangkah lagi, suara retakan—seperti kaca pecah di langit—menggema di atas kepalanya. Orang-orang di sekitarnya berhenti berjalan, menatap langit yang tampak seperti layar film raksasa yang merekah dan berpendar keunguan.Seketika, udara berdesir dingin dan mengeras. Wajah-wajah di sekeliling Nadine mulai membeku—secara harfiah—seperti patung lilin.Lalu ia datang.Sosok berjubah kelam dengan topeng putih menyelubungi wajahnya, muncul dari pusaran retakan di
Pagi harinya di kantor, suasana terasa berbeda. Para staf masih bersikap canggung padanya. Sebagian menjauh. Sebagian wanita malah mulai terang-terangan memuji, menyentuh, dan mendekat. Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika Bu Adhira memanggil Danu ke ruangannya. “Danu, kamu pernah bilang ingin kontribusi besar, kan?” tanya Bu Adhira tanpa basa-basi. “Aku punya proyek ... dan hanya kamu yang kupilih untuk ini.” Danu menegakkan punggung. “Tentu, Bu. Proyek apa?” “Menulis ulang ... dan menyusun ulang biografi penulis legendaris yang sudah hampir dilupakan. Rendra Gunawan.” Danu menahan napas. Nama itu ... asing, tapi terasa menggema di dadanya. Langkah kaki Danu terdengar tenang di sepanjang lorong, tapi sorot matanya tajam. Baru saja keluar dari ruang Bu Adhira dengan tugas baru, ia tahu betul ... seseorang sedang mengintainya. Danu mengabaikannya dan terus mengingat perintah atasannya. “Aku ingin kamu menelusuri hidupnya. Mencari sumber, dokumen, cerita, bahkan tulis
Langkah kaki terdengar pelan namun tegas. Gadis itu mendekat, membelah kerumunan pegawai yang terdiam melihat kerusuhan barusan. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, blazer hitam pas tubuh membungkus posturnya yang tinggi dan tegas. Matanya langsung terkunci pada Alvino yang masih berdiri dengan napas memburu, dan Danu yang kini duduk bersandar pada mobil dengan luka memar di pelipisnya.“Alvino.”Suaranya tenang, tapi dingin dan tajam. Alvino menoleh, wajahnya masih merah dan dipenuhi amarah.“Kay ... ini bukan urusanmu!”“Justru ini urusanku. Kamu menciptakan gangguan energi besar. Sangat besar, hingga aku mencium aroma kebusukan dari ujung dunia.”Alvino memicingkan mata. “Jangan mulai pakai bahasa anehmu di depan mereka!”Tapi gadis yang dipanggil Kay itu melangkah maju, hingga wajahnya hanya sejengkal dari sepupunya. Nyaris tanpa suara, ia berbisik dalam nada rendah namun bisa didengar Danu.“Kamu terlalu cepat me