Share

Kesatria Naga

Kereta kuda sampai di sebuah pedesaan, beberapa orang mengetahui kalau yang lewat adalah kereta dari kerajaan. Banyak orang yang memberi hormat.

Sesekali terdengar teriakan orang yang menangis kesakitan. Ling hanya menutup mata, bibirnya mengatup rapat. Dia tak kuat melihat kepedihan rakyatnya.

Longwei mengintip dari balik kelambu. Matanya terbelalak, jantungnya terasa teriris melihat semua ini. Banyak orang yang tergeletak di pinggir jalan, tubuh mereka di penuhi luka yang mengeluarkan darah.

"Sejak kapan mereka terserang wabah seperti ini," tanya Longwei penuh selidik.

"Sudah lima tahun berlalu, bahkan lima kota di negri Qing sudah kehilangan penduduknya karena penyakit itu," ucap Ling menghapus air mata yang terus berderai.

"Selama itu pula kami mengadakan ritual penyucian, tapi semua tidak membuahkan hasil. Penyakit tetap menyebar dan banyak gadis mati sia-sia," lanjut Ling bercerita.

"Sudah hampir dua tahun aku mencari sosok naga hitam itu, aku berharap bisa menyelamatkan mereka dari kesengsaraan ini. Tapi takdir begitu kejam," Ling mencengkram dadanya, merasakan sesak yang menusuk jantung.

Longwei memejamkan matanya, kekuatan aneh itu kembali datang. Tubuhnya seolah diisi energi yang begitu besar. Pria itu dapat merasakan betapa kuatnya energi ini.

Tangisan Ling memecah lamunan Longwei, pria itu menepuk lembut pundak Wanita yang menangis itu dan menyandarkannya ke bahu.

"Aku akan membantumu," ucap Longwei lirih.

Pria itu mengelus dan memeluk lembut Ling, mencoba untuk meredakan kepedihan yang Wanita ini rasakan.

Beberapa menit kemudian, Wanita itu melepas pelukan Longwei dan menatapnya seekor rubah yang duduk di samping Longwei.

"Tidak perlu, Ayah sudah menyiapkan sayembara untuk menyelesaikan masalah ini," ucap Ling menghapus air matanya.

"Apa? sayembara," alis Longwei bertaut.

"Meskipun mustahil, mungkin cara ini lebih efektif. Kerajaan akan mencari kesatria yang bisa menyembuhkan penyakit ini, kalau dia berhasil. Maka aku akan menikah dengannya," jawab Ling pedih.

"Omong-omong, sejak kapan kau memelihara rubah?" lanjut Ling meraih rubah itu dan menaruhnya di pangkuannya.

Longwei masih termenung karena penjelasan Ling. Pria itu tidak akan membiarkan semua ini terjadi, kalau memang di tubuhnya bersemayam jiwa iblis itu. Harusnya akan sengat mudah menyerap semua penyakit ini, sama seperti yang di katakan siluman rubah semalam. Hanya saja dia tidak tau apa konsekuensi yang harus dia dapatkan.

Mengingat Geming yang berakhir tak bernyawa dan tidak bisa mengendalikan jiwanya sendiri. Mustahil bila dia bisa selamat.

"Berikan dia padaku, aku tidak mau kamu terluka. Dia masih sensitif," ucap Longwei meraih rubah di pangkuan Ling.

'Dasar pelit' gumam rubah sebal.

Tak lama kemudian, mereka sampai di gerbang pintu kerajaan. Hanya beberapa prajurit yang menyambut kedatangan mereka.

Ling turun dari tandu di ikuti oleh Longwei di belakang. Pria itu menyapu seluruh istana dengan mata tajamnya. Sepertinya kerajaan ini benar kerajaan Qing, kerajaan yang paling besar di kala itu. Ternyata dia benar-benar ada di zaman era ini.

"Di mana Ayah?" tanya Ling menahan sesak di dada.

"Baginda raja ada di kamar Nona," jawab pelayan sang Ayah.

Ling segera berlari menuju kediaman sang Ayahanda, air matanya terus mengalir deras seiring kaki yang melaju cepat.

Wanita itu membuka pintu kamar, matanya terbelalak saat melihat Ayahnya yang memejamkan mata di dalam peti mati dari kaca.

"Ayah!" panggil Ling dengan suara keras.

Tidak bergeming. Pria paruh baya dengan rambut yang memutih itu masih memejamkan mata. Ling berlutut dan merangkak mendekati peti tersebut.

Air matanya terus mengalir, mulutnya bergetar memanggil nama Ayahnya dan mengetuk lirih peti kaca itu.

"Ayah ... aku mohon buka matamu. Kau menyuruhku pulang dan lihat apa yang kau lakukan padaku? Kau pembohong Ayah," lanjut Ling dengan terisak.

"Tenang Nona, Baginda hanya tertidur. Beliau baru saja meminum ramuan, sebentar lagi pasti akan bangun," ucap Tabib istana.

"Lalu kenapa dia berada di peti mati seperti ini!" ucap Ling penuh emosi.

"Baginda tidak mau Anda tertular penyakitnya, jadi Beliau memutuskan untuk tidur di dalam peti. Hanya orang khusus yang merawatnya," lanjut Tabib menjelaskan.

"Ini berlebihan, cepat buka petinya!" ucap Ling dengan suara lantang.

Tak ada yang berani membuka peti tersebut, karena memang Raja memberi larangan mutlak dan akan memberi sanksi pada siapapun yang melanggarnya.

Para prajurit dan pelayan hanya saling pandang, mereka tidka tau harus berbuat apa. Sejujurnya mereka juga takut kalau sampai terkena wabah yang menyerang Raja.

"Kalian takut? Baiklah, aku bisa melakukannya sendiri," ucap Ling melangkah maju.

Langkahnya di hadang oleh prajurit, mereka membentangkan tombak dan pedang di hadapan Ling.

"Kalian melawanku?" ucap Ling penuh amarah.

"Maaf Nona, kami harus melakukan perintah Baginda, Anda tidak bisa membuka peti ini sebelum melangsungkan pernikahan. Untuk menjaga agar Anda terhindar dari wabah ini dan ..." ucap prajurit menjelaskan.

"Aku tidak peduli! Minggir," ucap Ling mendorong tubuh Prajurit tersebut.

Di saat bersamaan Longwei datang, dia menarik tangan Ling dan menatapnya dalam. Mata indah itu berkaca, kepedihan yang dia rasakan membuat energi aneh itu semakin kuat.

Longwei berusaha untuk menggunakan ilmu tersebut untuk melumpuhkan Ling sesaat, berhasil. Hanya dengan kedipan matanya Ling tak sadarkan diri dalam pelukannya.

"Antar Nona ke kamarnya, dia sangat lelah," ucap Longwei.

Beberapa pelayan membawa Ling ke kamarnya dan meninggalkan Longwei di ruangan Raja. Pria itu menatap lekat Raja yang sedang tertidur lelap. Wajah dan bibirnya tampak pucat, mungkin minim baginya untuk hidup.

"Mari saya antar istirahat Tuan," ucap salah satu prajurit.

.

.

.

Hari yang di nanti tiba, sayembara mulai terdengar dari pelosok negri. Beberapa pangeran bahkan pengembara berdatangan di negara Qing. Sayangnya tidak ada yang sanggup mengatasi wabah penyakit ini.

Sepekan berlalu, tapi tidak ada satupun orang yang dapat mengatasi wabah penyakit ini. Ling semakin resah, otaknya di peras habis untuk memikirkan Ayah dan Rakyatnya.

Sampai keesokan hari tiba, awan hitam pekat menyelimuti negri Qing. Awan tersebut mengeluarkan petir yang menyambar, seolah akan ada badai besar.

"Apalagi ini?" ucap Ling khawatir.

Seorang pria bertopeng memasuki kerajaan dan menghadap Ling. Pria itu memakai jubah hitam dan topeng berwarna emas.

"Siapa kau?" tanya Ling.

"Hamba pengembara yang ingin mengikuti sayembara kerajaan," jawab pria itu membungkuk.

"Begitu banyak yang gagal, apa yang membuatmu percaya diri bisa memenangkan sayembara ini?" tanya Ling penuh selidik.

"Hamba telah belajar ilmu ini sejak lama, mungkin sangat minim. Tapi tidak ada salahnya untuk di coba," jawab Pria bertopeng itu.

"Baiklah silahkan," ucap Ling yang tidak mau menunggu lama.

"Mohon untuk Tuan putri menyuruh warga keluar rumah dan mandi air hujan persembahanku ini," ucap Pria tersebut.

Ling mengangguk pelan, beberapa prajurit segera keluar istana untuk memberi instruksi pada rakyat.

Pria bertopeng itu mulai membaca mantra, seketika awan hitam kelam mengeluarkan tetesan air hujan. Di saat bersamaan seekor naga hitam keluar dari balik awan kelam tersebut dan terbang mengelilingi negara Qing.

"Naga Hitam?" Ling tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

'Sebenarnya siapa kau' seribu pertanyaan menyelimuti hati Ling saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status