Share

2. Lelaki Pengacung Golok

Mata Senopati Daksa sungguh membelalak ketika melihat kedua kawannya tercerai berai. Terutama bagian atas tubuhnya. Kepala dua kawannya—yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengannya, kini sudah hancur diremuk oleh kedua tangan siluman perempuan itu. Tentu saja, ini pertama kalinya bagi Senopati Daksa melihat sosok siluman di depan matanya langsung.

            Sejauh ini ia hanya menganggapnya sebagai rumor belaka. Sebuah isu yang diembuskan sengaja oleh pasukan dan simpatisan Dyah Ranawijaya, yang sudah cukup lama ingin merebut tahta Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Sebelumnya, ia sangat percaya isu penuh teror itu untuk menciptakan ketakutan dan memanfaatkannya demi melemahkan orang-orang yang masih tetap setiap kepada raja.

            Namun, ia tak menyangka sosok siluman—yang layaknya manusia biasa itu benar-benar muncul di hadapannya. Tubuhnya ramping, sekilas saja bila tidak punya kepekaan yang kuat siapapun akan terkecoh oleh kecantikannya, yang sama sekali tidak sebanding dengan manusia biasa di seantero ibukota Majapahit ini. Kulitnya putih pucat, bibirnya merah ranum, dan rambutnya hitam legam. Teruai panjang dan tampak lembut sekali.

            Lelaki-lelaki hidung belang yang terlanjur bernafsu untuk menyetubuhinya dengan cara paling binatang pasti tak akan menyangka bila perempuan ini adalah sosok yang bisa membunuh lelaki hidung belang manapun hanya dalam satu kedipan saja.

            Lihatlah betapa kepada Senopati Sugrawa dan Wedan kini nampak seperti daging sapi yang ditumbuk di dalam sebuah panumbukan. Seolah siap bercampur dengan cabai jawa, jahe, kunyit, kemiri, dan daun honje. Siap digodok dalam air panas bergejolak. Kemudian diaduk dalam sebuah bejana besar, sebelum akhirnya dimakan oleh warga seperti dalam perayaan besar yang selalu diselenggarakan oleh keraton Majapahit.

            Tubuh Senopati terasa merinding menyaksikkan kedua tubuh kawannya, dan kini ia hanya terpaku menatap perempuan itu tampak menggeram ke salah satu gunungan mayat yang sebelumnya dirapikan oleh ketiga senopati tersebut.

            “Keluarlah siluman busuk! Beraninya kau mengacungkan tanganmu padaku! Apakah kau tidak tahu siapa aku! Aku adalah Nyi Jentayu, utusan dari Ratu Siluman  Dewi Kalacitra! Sudah sepantasnya kau tunduk kepadaku karena aku telah dialirkan darah hitam keramat sang ratu. Darah ratu yang mengalir di tubuhku lebih banyak dari siapapun!”

            Perempuan itu menggertak kepada tangan yang baru saja menyembul dari gunungan mayat para prajurit sehabis perang tiga hari tiga malam. Makin lama, tak hanya tanganya yang menyeruak dari dalam himpitan mayat tersebut, tapi mulailah tampak tubuhnya, lalu kepalanya, meski baru separuh. Sosok itu rupanya mesti menggelindingkan beberapa mayat agar dirinya bisa terbebas dari tumpukan mayat yang menghimpit tubuhnya.

            “Tidak mungkin,” gumam Senopati Daksa.  Ia mengernyitkan kening menatap sosok yang baru saja keluar dari gunungan mayat tersebut. Pasalnya ia ingat sekali semua mayat yang sudah ia dan dua kawannya tumpuk ke tempat itu, semuanya benar-benar mayat! Bukan sesosok jadi-jadian. Kalaupun ada salah satu prajurit yang menjadi siluman karena bertarung melawan prajurit pendukung Ranawijaya, seharusnya Senopati Daksa bisa merasakannya, sebab kepekaannya dinilai yang paling tinggi di antara para senopati muda. Akan tetapi, ia bahkan tidak merasakan apapun. “Mungkin... mungkin ada yang terlewatkan oleh instingku...apa ini seperti yang dikatakan oleh Sugrawa dan Wedan... ada prajurit yang menjadi siluman... atau bahkan, dia adalah penyusup... dia adalah telik sandi yang sengaja dimasukkan oleh Ranawijaya...”

            Namun, semakin Senopati Daksa berpikir keras, ia sama sekali buntu. Yang ada kini tubuhnya masih melawan getar dan kekakuan yang mendadak menjalar di sekujur tubuhnya. Ia merasa energi yang dilepaskan oleh perempuan bernama Nyi Jetayu itu begitu besar. Tapi, energi yang muncul tiba-tiba dari arah gunungan mayat pun nyatanya tak kalah suram.

            “Siapa kau?!” pekik Nyi Jetayu.

            Pertanyaan yang sama pun terlontar dalam batin Senoapati Daksa, yang berada tak jauh dari tempat tersebut. Mereka hanya berjarak lima tombak saja. Kendati pemandangan Nyi Jetayu masih terhalang beberapa pohon, tapi tetap itu masihlah amat dekat.

            “Keluarlah, bajingan tengik! Atau aku akan melumatmu segera! Kami tidak akan membiarkan siluman asing yang mencoba menyaingi kerajaan kami!” pekik Nyi Jetayu tambah menggeram. Senopati Daksa bisa melihat betapa urat-urat hitam dan kebiruan keluar sedikit di bawah permukaan kulit siluman tersebut. Pupil matanya tentu saja tambah tajam dan membesar. Dua gigi taringnya keluar. Lidahnya menjulur seperti ular, dan nampak dari mulutnya menetes air liur yang tak henti seolah ia menderita kelaparan hebat. Yang lebih menakutkan lagi bagi Daksa, seluruh kuku jemari di kedua tangannya memerah dan tumbuh di luar nalar. Ujungnya amat runcing, bahkan mungkin lebih tajam daripada keris milik Daksa.

            “Keparat!” pekik Nyi Jetayu lagi, ia tampak sudah tidak sabar dengan wujudnya yang sudah tak menyerupai manusia pada umumnya lagi. Perempuan itu melenyap sekejap, lalu tiba-tiba sudah muncul di atas gunungan, bersiap akan melancarkan cakaran maut ke arah sosok yang sedang berusaha keluar. “Matilah kau!”

            SREAAAANG!

            Akan tetapi, ketika siluman perempuan itu mencakar ke arah puncak gunungan mayat, kedua tangan siluman itu langsung terpotong seketika. Tentu saja, Nyi Jetayu dan Senopati Daksa terkejut dengan pemandangan secepat kilat itu.

            Belum selesai rasa takjub dan terperangah, Nyi Jetayu sudah harus merasakan kesakitan ketika sebilah golok panjang yang tampaknya amat tajam itu lantas menembus perutnya. Terus tembus hingga lolos dari punggungnya.

            “HAARGHH! KEPARAT! SIAPA KAU!” pekik siluman perempuan itu. Tubuhnya kemudian terjebak di pohon karena ujung golok parang yang panjang  itu menancap di batang pohon beringin. “SIAL! URGGHHH!” geramnya seraya berteriak kencang ke arah sesosok lelaki yang baru saja bangkit dari tumpukan mayat, seolah ia baru saja terlahir lagi dari kematian.

            Sementara itu tampak kini darah hitam segar muncrat dari mulut dan tubuh siluman perempuan itu. Dengan cepat lelaki tak dikenal yang mengenakan pakaian pendekar yang lusuh dan lembab itu segera menarik golok panjangnya, yang membuat Nyi Jetayu terjatuh dan berguling-guling di tanah, kendati perempuan tangguh itu masih bisa bangkit lalu mengambil posisi kuda-kuda.

            “Sialan! Aneh sekali! Kau memiliki aroma siluman, tapi sekarang, aku merasa kau manusia biasa!”

            “Aku memang manusia,” kata lelaki itu seraya terbatuk sesaat. Badannya seperti ringkih ketika membersihkan golok panjang yang serupa pedang-pedang asal Tiongkok itu. Tubuhnya sama sekali tidak seperti seorang prajurit pada umumnya, pikir Senopati Daksa. Ia mendadak ragu kalau pendekar asing yang agaknya tak bertuan itu ikut bertarung dalam perang singkat tiga hari tiga malam. Maka satu pertanyaan besar yang sama pun terbersit dalam batinnya kini. ‘Siapa dia?’

            Rambut lelaki itu terlihat panjang terikat. Wajahnya brengosan. Matanya menyorot tajam ke arah musuhnya kini dan auranya penuh dengan ketenangan. Lelaki itu sama sekali tidak terprovokasi ketika Nyi Jetayu terus menghinanya seraya memulihkan dirinya.

            “Siapa kau bajingan! Hari ini juga kau akan mati karena telah menggangu acara makanku!”

            Sebentar, lelaki itu terkekeh kecil.

            “Aku hanyalah seorang pengembara... yang sepertinya hidup lagi setelah sempat mati.”

            Siluman itu tercengang.

            “Apa maksudmu?!”

            “Entah... aku sendiri tak mengerti... tapi kalau kau ingin tahu namaku... kau boleh memanggilku Gentala.... Setho Gentala...” kata lelaki itu seraya tersenyum dan mengacungkan golok panjang itu ke arang sang siluman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status