Share

5. Alasan Sebuah Pertolongan

Saat pintu dibuka tentu saja Senopati Daksa yang parasnya sudah serupa serigala liar yang amat lapar langsung menyerbu Setho Gentala dan Ki Singojadi. Dengan cekatan, Ki Singojadi segera menotok dua bahu Senopati Daksa dengan tongkat kayu galihnya, hingga kedua tangan senopati itu tidak mampu digerakkan. Tapi, itu hanya sementara dan tampaknya senopati Majapahit itu semakin buas tatkala Ki Singojadi berjarak cukup dekat dengannya.

            Lelaki itu sudah kehilangan kemanusiaannya. Ia telah melihat lelaki tua itu sebagai makanan empuk yang harus mengisi lambungnya. Lihat saja bagaimana taring itu tetap tumbuh dan berusaha menggeram ke arah lelaki tua itu. Seraya itu pula, air liurnya makin membanjir dari celah-celah gigi Senopati Daksa, yang hampir seluruhnya berubah menjadi taring.

            “Tak lama lagi dia akan pulih... regenerasinya cepat,” kata Setho Gentala yang tengah bersiap untuk memukul tengkuknya agar lelaki yang sehari sebelumnya masihlah manusia itu tak sadarkan diri.

            “Dengar, titik saraf dan peredaran darah dari seorang siluman agak berbeda daripada manusia biasa. Kau salah menotoknya, malah akan berakibat fatal pada dirimu. Dia bisa menyerangmu dan mencabikmu... perlu diingat juga, Setho. Meski kau memiliki darah siluman, yang membuatmu bisa regenerasi kendati sudah ditusuk atau bahkan tubuhmu dipisahkan, kau tetap bisa mati bila sampai siluman yang jauh lebih kuat darimu menerkammu...”

            “Aku sudah mengerti, Ki. Kau cerewet sekali. Ini aku sedang berkonsentrasi untuk menotoknya! Lagipula aku sudah mempelajari hal itu berkali-kali!” ujar Setho Gentala berusaha fokus pada titik yang akan ia serang. “Dia sudah akan pulih... brengsek. Cepat juga pemulihannya.”

            Di saat Senopati Daksa akan meloncat ke arah Setho Gentala karena menurut insting liar Daksa kini, Setho Gentala merupakan ancaman terbesar, Setho langsung menotok tengkuknya sehingga lelaki itu kini tak sadarkan diri. Meski Setho dianggap ancaman, sejatinya Daksa tidak  menganggap Setho Gentala sebagai makanan, sebab sepertihalnya yang terjadi pada Nyi Jetayu, para siluman sejatinya memiliki kemampuan mendeteksi siluman lainnya melalui indera penciumannya yang spesial. Penglihatannya pun jadi ganda, antara penglihatan yang alamiah, dan gaib. Memang secara alamiah, atau nyata, sosok Setho Gentala yang sangat terlihat serupa dengan manusia itu—bisa menjadi target empuk bagi siluman manapun. Siluman kelas rendah yang memiliki penglihatan gaib lemah pasti akan menganggap Setho Gentala manusia biasa, namun bagi siluman—baik Butokala atau Butodurga—yang peka terhadap indera gaib, pasti menganggap Setho Gentala bagian dari mereka.

            Yang membedakan hanyalah wangsa siluman itu, apakah dari garis Ratu Kalacitra, Ratu Dewi Blorong, Eyang Suthala, juga Pandhita Calon Arang, dan dari empat sumber wangsa seluruh siluman atau raksasa yang ada, Pandhita Calon Arang-lah yang memiliki darah terkuat, yang mana siapapun yang memiliki darah kental dan langsung memiliki kaitan dengan tokoh legendaris yang paling ditakuti tersebut, siluman-siluman itu biasanya kebal dengan cahaya matahari, dan kini keturunan langsung Pandhita Calon Arang sudah langka sekali.

            Setho Gentala merupakan bagian dari wangsa Calon Arang, yang lebih dominan berperawakan manusia, sehingga ia tidak dicurigai. Lebih dari itu, Setho Gentala pun mampu memakan makanan manusia. Ia sama sekali jarang memakan daging manusia. Sudah cukup lama ia mampu mengendalikan hasrat raksasanya, setelah berguru pada Ki Singojadi dan seorang resi di Gunung Penanggungan, bernama Resi Arthamajaya.

            Oleh sebab itu, saat Setho Gentala berhadapan dengan Senopati Daksa, manusia yang telah menjadi siluman itu tampak tidak terlalu beringas dan mudah ditaklukkan.

            “Mungkin wangsamu mengacu pada darah ratu yang lebih tinggi,” kata Ki Singojadi tampak mengecek keadaan Senopati Daksa.

            “Mungkin.”

            “Hm... dia sudah sepenuhnya tidur. Kita bangunkan dia malam nanti. Untuk sementara kita ikat saja... kita tidak boleh membiarkan dia bebas, karena dia akan memakan daging manusia. Satu saja manusia telah menjadi korbannya, kita akan terlambat. Sekali saja dia menerkam manusia, dia akan terus menerkam tanpa henti. Dan itu akan membuat dia menjadi lebih kuat. Kau melawan salah satu  siluman yang kuat.. lihat saja bagaimana pria ini bisa memulihkan diri cepat.”

            Setho Gentala mengangguk.

            “Perempuan bernama Nyi Jetayu itu bahkan bisa menumbuhkan kedua tangan yang sudah kupotong oleh golokku. Padahal kau tahu, siluman biasa tidak akan beregenerasi lagi setelah terpotong dengan golokku. Tapi, aku membutuhkan dua kali serangan baru bisa berhasil... jelas, Nyi Jetayu bukan siluman biasa.”

            “Siapa dia?”

            “Entah, tapi dia mengaku memiliki kedekatan dengan ratu siluman saat ini. Ratu Kalacitra. Kalau itu benar, pasti dia ada hubungannya dengan perang membosankan yang terjadi di Majapahit ini... mungkin tak lama lagi...”

            “Apanya?”

            “Kerajaan ini... akan binasa...”

            “Kau berbicara macam-macam... kalau sampai telik sandi mengetahuinya, kau akan diculik.”

            “Aku tidak takut. Berapa kalipun mereka membunuhku... pada akhirnya aku akan kembali ke sini, seolah bumi mengutukku. Menolakku...” ujar Setho Gentala sembari mengikat Senopati Daksa ke sebuah tiang.

            “Lagipula, apa yang sebenarnya kau lakukan di peperangan itu. Kau sama sekali tidak terlibat dengan peperangan ini, kan? Kau bahkan pernah bilang, kalau kau tidak ingin terjun lagi ke perpolitikan kerajaan yang membosankan,” kata Ki Singojadi lantas mengajak Setho Gentala keluar dari kamar gubuk tersebut.

            “Ada seorang perempuan membayarku sekantung perak... suaminya tewas di perang, dan melihat aku membunuh siluman yang hampir saja memakannya, ia menginginkan aku membalas dendamnya. Sial, aku malah dikeroyok oleh mereka. Meski aku berhasil menusuk jantung seorang senopati tertinggi itu, antek-anteknya terlalu setia padanya. Aku kalah jumlah tentu saja, dan mereka langsung menusukkan tombak, keris, pedang, golok, parang ke tubuhku.”

            “Lalu?” katanya sembari terkekeh-kekeh.

            “Mereka kira aku mati. Tentu saja, aku memang mati. Tapi, setelah mengendus aroma siluman, tiba-tiba aku sudah berada di tumpukan mayat-mayat prajurit.”

Mereka lalu duduk bersama di selasar depan gubuk milik tabib tekenal di Dusun Turen itu. Keduanya tampak meminum arak dari kendi tanah liat sembari melihat warga tetap menjalankan aktivitasnya. Yang pandai besi tetap bekerja membuat senjata untuk keperluan prajurit kerajaan; yang petani tampak pergi meladang, dan membawa hasil taninya ke lumbung pangan mereka; yang pedagang tetap berdagang di pasar kecil yang tak jauh dari tempat mereka; yang mengurus rumah tetap menjaga rumah mereka sembari menjual kain batik di depan rumah.

            “Jelas sekali dari raut wajah warga Turen... mereka takut dengan keberadaan Senopati Daksa... agaknya sebagian dari mereka mulai curiga kau membawa raksasa ke sini... kita tidak bisa berlama-lama menempatkan dia di sini, Setho... kau harus membawanya ke suatu tempat. Apakah kau memiliki rencana, Anakmas?”

            Setho tampak menenggak araknya, lalu melihat lima bocah berlarian main kucing-kucingan. Yang kalah tampak berpura-pura menjadi ‘siluman’ untuk memburu kawan-kawannya.

            “Entahlah, Paman. Tapi, aku akan membawanya.”

            “Bagaimana bisa?! Dia akan tewas terkena matahari! Percuma saja kau menyelamatkannya! Sudah benar kau tinggalkan dia dalam keadaan sekarat. Aneh sekali kau... makin ke sini, kau makin seperti manusia.”

            Mendengar hal itu, Setho Gentala terkekeh.

            “Aku baru ingat, Paman...”

            “Ingat apa?”

            “Aku berempati padanya... karena kilasan memoriku di masa kehidupan lamaku muncul seketika, tatkala melihat lelaki itu sekarat karena dikhianati kawan-kawannya... atau lebih tepatnya, mereka lari mengurusi hidupnya masing-masing karena terlalu pengecut untuk menyelamatkan kawannya... padahal, dia yang paling berani menentang Nyi Jetayu, tak lain untuk melindungi dua kawannya...”

            Ki Singojadi, tampak mengangguk-angguk.

            “Ini mengingatkanku pada masa laluku, Paman... ya ... kau bertanya alasannya, inilah alasannya. Sangat sepele dan terlalu emosional.”

           

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status