Share

3. Melawan Siluman Tingkat Atas

“Setho Gentala?! Siapa itu! Aku tidak kenal!” pekik Nyi Jetayu sembari terkekeh-kekeh. Kini, luka terbuka di perut dan punggungnya sudah menutup, hal itu cukup membuat siluman perempuan itu percaya diri untuk melancarkan serangannya lagi ke arah Gentala. Dengan tanpa perhitungan perempuan itu berlari cepat ke arah sang pendekar lusuh dan ringkih itu, kemudian setelah kedua tangannya tumbuh sempurna lagi, ia segera mencakarnya dengan kuku-kuku yang lebih tajam dari ujung keris ataupun pisau badik.

            SREANG! SREEANG! SREANG!

            Ke kanan kiri, kedua tangan siluman itu melancarkan serangan ke arah seorang lelaki yang mengaku pengembara tersebut, tapi si lelaki sama sekali belum melayangkan goloknya lagi. Ia malah terus menghindar dengan gerakan yang tak kalah cepatnya.

Ketika cakarannya mengenai batang pohon dan batu, bekas cakarannya bisa menghancurkan batang dan pohon. Tanah yang sempat terkena cakarnya pun tampak rompal dan membentuk ceruk baru.

“Sial! Sial! Sial! Kenapa gerakanku malah melambat! Uhhkk! Rasa sakit bekas tusukan bedebah ini pun belum lenyap! Sialan!” gerutu Nyi Jetayu. “Jurus apa yang sebenarnya kau lancarkan kepadaku lelaki tengik!”

Siluman perempuan itu lantas berhenti menyerang karena tampak ia sudah sangat kelelahan. Napasnya seperti habis, dan karena hal tersebut gerakannya melambat. Dari arah pepohonan, ingin sekali Senopati Daksa membantu pria yang katanya baru bangkit dari kematian itu. Namun, racun dari anak panah kawannya sudah terlanjur menyebar di sekujur tubuhnya, membuat ia kini terduduk. Kedua kakinya terasa sudah kebas dan kaku.

“Aku akan mati.... “ gumam Senopati Daksa penuh rasa pesimistik.

Sementara itu, kini tampak pendekar tak dikenal bernama Setho Gentala itu mulai membuat gerakan kuda-kuda, dengan mengacungkan golok panjangnya ke arah siluman perempuan itu.

“Aku sama sekali belum mengeluarkan satu jurus pun,” katanya mengejutkan siluman perempuan itu. Tentu, Nyi Jetayu jadi semakin geram dan ia segera memaksakan dirinya. Tubuhnya melenyap dan sekejap muncul di hadapannya. Tanganya secepat kilat langsung menghantamkan cakar ke arah sisi kanan tubuh Gentala, tapi dengan cekatan golok itu kembali memotong tangannya untuk kedua kali.

Mata Nyi Jetayu membelalak melihat tangan kirinya putus lagi. Tapi, kini ia masih punya satu tangan. Alih-alih melancarkan cakaran mematikan lagi, Nyi Jetayu segera menurunkan kukunya jadi normal lagi kemudian menghantam perut pendekar ringkih itu dengan pukulan keras dan amat bertenaga.

Bahkan Senopati Daksa yang tengah merasak ajal siap merebut jiwanya itu masih bisa meraskaan betapa besarnya energi gelap yang dilepaskan oleh Nyi Jetayu ketika meninju perut pendekar itu, hingga muntah darah dan terpental ke arah gunungan mayat lain. Bahkan pohon sempat bergetar ketika tubuh Setho Gentala menabrak gunungan mayat yang jadi tumpah itu.

“Urghhh...urghh... kuat juga pukulanmu... huurrhhh!”  Setho Gentala lantas menancapkan golok tersebut di tanah sebagai penopangnya, bersama itu pula ia tampak menarik napas dalam-dalam demi melakukan sebuah teknik pernapasan untuk melepaskan energ gelap yang masih menggerayang di dalam tubuhnya—menambah dampak pukulan itu lebih fatal.

Tapi, belum selesai lelaki itu melakukan pemulihan, siluman permepuan itu sudah muncul lagi di hadapannya dan bersiap menendangnya. Kali ini,  pendekar itu mampu menahan tendangan yang tak kalah bertenaga itu dengan tendangan lainnya. Ia menendang balik tubuh Nyi Jetayu, hingga terlontar beberapa tindak.

Nyi Jetayu menyeringai.

“Sama sekali tidak ada rasanya! HYAAARGHH!” kuku-kuku setajam badik itu muncul lagi di tangan kanannya yang masih ada. Ia bersiap mencakar pendekar itu. Dengan cepat Setho Gentala mundur dan hanya baju depannya saja yang terkena cakaran. Lalu, perempuan itu meloncat dan salto di udara, sebelum akhirnya kakinya menukik cepat serupa elang yang hendak mencengkeram ular tanah.

DAAAAR!

Tanah langsung rompal dan bebatuan kecil sempat terangkat sesaat, sebelum akhirnya, tubuh siluman itu menghilang lagi dan sudah muncul di belakang Setho Gentala, siap mencakarnya lagi dengan kekuatan yang tak kalah besarnya. Namun, alangkah terkejutnya Nyi Jetayu ketika cakaran itu bisa ditepis dengan tangan sang pendekar—tepat seusai Setho Gentala berputar cepat.

Kali ini, giliran pria itu yang melancarkan tinjuan ke tubuh siluman perempuan itu.

“Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan...” gumam Setho Gentala, sebelum ia melancarkan pukulan beruntun dan lebih cepat. Pukulan terakhir ia lakukan dengan menggunakan ujung gagang pegangan golok, tepat terkena keningnya.

“Bajingaaaaan! Hurrrhhh! Urgghh!” siluman itu benar-benar tidak sabar. Alih-alih memulihkan diri dari serangan beruntun Setho Gentala, ia langsung melompat dan berusaha mencakar pria itu lagi. Sayang, kali ini Setho Gentala terlihat lebih cepat. Ia kembali memotong tangan kanan siluman perempuan itu, seusai memainkan goloknya dengan diputarkan oleh kedua tangan kurusnya. Tak lepas disitu saja, golok kemudian berpindah tangan dengan indahnya, kemudian melukai bagian depan tubuh siluman perempuan itu.

“Jurus Tebasan Jagad Penghisap Nyawa... Dewa Yama... berkatilah golok Uragajathi ini,” ujar Setho Gentala baru saja mengucapkan satu jurus pembuka yang cukup mematikan. Ia segera membuat gerakan menyerang dengan golok yang lantas menebas kaki kanan dan kiri siluman itu, dan setiap tebasannya yang menyerupai pola lingkaran mengayun, membuat musuh tak bisa bergerak sama sekali.

Mata Nyi Jetayu hanya melongo melihat pria yang sama sekali belum pernah dilihatnya kini membelah tubuhnya satu-persatu, sebelum akhirnya gerakan mematikan itu menebas lehernya, yang mana membuat kepala siluman perempuan itu terjatuh dan menggelinding.

Melihat hal itu Senopati Daksa takjub sekaligus ngeri sebab meski tubuhnya sudah terpisah, perempuan itu belum juga mati. Ia masih meneriaki pendekar itu. Menghardiknya dengan sumpah serapah yang penuh dendam.

“Kau akan kukutuk! Kau akan kukutuk menjadi bangsa siluman sepertiku! Biadab! Benar-benar brengsek! Hurrrghhh! Ayo! Beregenerasilah! Ayo!”

Namun, seberapa kali ia berusaha untuk menumbuhkan kembali anggota tubuhnya yang sudah terpotong-potong, Nyi Jetayu tetap tidak bisa utuh lagi. Angota-anggota tubuh lainnya secara perlahan berubah membiru. Lalu membuusuk seketika.

“Siapa kau sebenarnya, biadab! Kau bajingan tengik!  Kau bajingan! Setelah tubuhku tumbuh dan utuh kembali, kau benar-benar akan kuncincang, Gentala! Kemarilah! Akan kugigit kau supaya kau menjadi siluman Butokala seperti kami! Ayo! Sini brengsek!”

“Percuma saja kau mengharapkan seluruh tubuhnmu tumbuh dan utuh... golok Uragajathi-ku memiliki keistimewaan dari semua golok parang yang ada... golok ini agaknya memang tercipta untuk menghabisi Butokala dan Butodurga. Siluman-siluman berjenis terkuat yang tak pernah bisa mati meski dibelah tubuhnya, dikubur, bahkan dibakar.. kecuali oleh sinar matahari...”

“Apa maksudmu, bajingan tengik!” pekik Nyi Jetayu yang kini tersisa kepalanya saja. Mulutnya menganga, menunjukkan gigi taring yang tampak makin memanjang. Belum lagi lidahnya kini malah terlihat bercabang: benar-benar serupa ular. “Kalau maksudmu serangan golok tadi tidak akan membuat kami beregenerasi kembali... kau salah besar... Butokala dan Butodurga punya tingkatan, dan siapapun yang menyerap darah hitam dari Ratu Kalacitra dengan mantera keramat dari pendita Nagini keturunan Calon Arang, siluman-siluman itu akan abadi di bawah cahaya rembulan...”

“Kalau hanya malam saja itu tidak abadi,” kata Setho Gentala  seraya terkekeh. “Aku pun akan mencari pendita itu...”

“Kau tidak akan mampu mengalahkannya!”

Setho Gentala hanya tersenyum saja.

“Menetaplah di sini sampai caya matahari membakarmu.”

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status