Share

Bangkitnya Swordmaster
Bangkitnya Swordmaster
Author: Maesaro Ardi

Bingwen yang malang

Suara gelak tawa dua orang anak remaja mengudara di pegunungan siang itu, mereka menertawakan salah seorang temannya yang terkapar penuh luka.

"Hahaha... Dasar payah! Begitu saja kamu tidak bisa melawanku."

"Benar, dia itu lemah sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Guru Bao mau mengangkatnya jadi murid," sahut temannya.

"Bingwen, kenapa kamu tidak menyerah saja akan mimpimu itu. Dengan fisikmu yang lemah tersebut, kamu tidak akan bisa. Melawan kami saja kamu kewalahan. Jangan mimpi menjadi seorang swordmaster!"

Anak itu bangun dengan susah payah, tubuhnya yang kurus kering dan ringkih itu berusaha untuk bangkit kembali. Namanya Bingwen, remaja berusia tiga belas tahun. Namun karena fisiknya yang kecil, dia terlihat seperti anak kecil berusia sembilan tahun.

"Ni Lou, apa hakmu melarangku? Guru saja tidak menghalangi mimpiku. Guru selalu berpesan agar aku terus berlatih, kelak hasil latihanku akan terlihat," balas Bingwen.

Sorot mata tajam Bingwen saat membalas ucapan Ni Lou dan Ni Me, membuat keduanya naik pitam. Bagi Ni Lou dan Ni Me, yang menjadi murid terbaik di perguruan bela diri dan ilmu pedang Guru Bao sangat benci dengan kehadiran Bingwen.

Bukan tanpa alasan Ni Lou dan Ni Me membenci Bingwen, karena Bingwen lah waktu latihan mereka jadi berkurang. Keduanya harus membantu Bingwen berlatih agar bisa menyusul murid baru yang perkembangannya jauh lebih cepat.

"Dasar congkak! Kamu itu tidak akan mampu, sadar dirilah akan hak tersebut," ucap Ni Me dengan sinis.

"Benar, aku tidak tahu kenapa Guru Bao mau menampung anak sepertimu. Tidak bisa apapun, hanya menghambat yang lainnya saja," sahut Ni Lou.

Dua anak yang masih memiliki ikatan keluarga dan berasal dari keluarga bangsawan itu, makin membenci Bingwen setelah tahu siapa Bingwen sebenarnya. Semua orang tahu, Guru Bao untuk mengangkat Bingwen menjadi anak asuhnya. Bingwen ditemukan di depan rumah Guru Bao saat Bingwen masih bayi waktu itu.

"Aku tidak peduli dengan apa yang kalian katakan. Aku akan terus berlatih sampai aku bisa membuktikannya dengan kalian," jawab Bingwen dengan beraninya.

"Kurang ajar!" Ni Lou yang tidak suka jika ada orang yang melawan ucapannya, mengangkat pedang kayunya dan melayangkannya ke arah Bingwen.

"Sudah ku bilang kan sebelumnya, jangan melawan ucapanku. Dasar anak tidak tahu diri!"

Suara pukulan demi pukulan pedang kayu di tubuh Bingwen begitu nyaring terdengar, suasana pegunungan yang sunyi senyap itu kembali heboh. Sorak sorai Ni Me mendukung Ni Lou menjadi menjadi alasan kedua.

"Hajar saja dia, Ni Lou. Anak yatim piatu itu tiap hari makin congkak! Buktikan kalau dia itu tidak setara dengan kita!"

Ni Lou makin semangat menghajar Bingwen yang meringkuk di tanah sambil menutupi kepala dengan kedua tangannya.

Walau Bingwen memohon pada Ni Lou untuk menghentikan aksinya, tapi Ni Lou tidak peduli. Anak lelaki berbadan besar itu terus melayangkan pedang kayu ke tubuh Bingwen. Perbedaan fisik keduanya tentu memberikan efek yang luar biasa, tenaga Ni Lou jauh lebih kuat. Hingga Ni Lou terus menindas Bingwen.

"Seharusnya kamu mati saja! Dari pada menjadi benalu di kehidupan Guru Bao. Anak tidak tahu diri, seharusnya kamu beruntung Guru Bao mau mengasuhmu. Bukan malah menambah beban Guru Bao!" Seru Ni Lou.

Bingwen tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Setiap kali Bingwen hendak berucap, Ni Lou menghantamnya dengan pedang kayu yang dia pegang.

"Ni Lou, aku rasa kita berhenti saja. Dia sudah tidak bergerak lagi. Gimana kalau Guru Bao sampai tahu perbuatan kita?" tanya Ni Me yang mulai khawatir.

"Apa? Kamu mau membela si pecundang ini? Lagi pula apa yang kamu takutkan? Guru Bao sedang tidak ada di tempat, bukankah Guru baru kembali esok lusa?"

Ni Lou menghentikan aksinya, mengambil nafas dalam-dalam. Dia ingat pesan gurunya yang mengatakan kalau sang guru akan pergi ke kota, karena ada urusan mendadak. Namun pelatihan Bingwen masih harus tetap dilakukan.

"Kamu benar, Ni Lou. Hanya saja, jangan sampai Bingwen mengalami luka parah, Guru Bao pasti akan curiga. Kita kembali saja dulu, biarkan anak tidak tahu diri ini terkapar di sini. Kita bilang saja kalau Bingwen latihan sendiri tanpa mau mendengarkan nasihat kita," ujar Ni Me.

Ni Lou terdiam sejenak, dia mempertimbangkan apa yang dikatakan Ni Me. Memang Ni Me ini jauh lebih cerdas darinya, jadi tidak salah jika dia mendengarkan nasihat Ni Me.

"Baiklah, kita pulang saja."

Ni Lou dan Ni Me meninggalkan Bingwen yang terkapar tidak sadarkan diri. Gemuruh petir saling menyambar di atas sana, tidak lama kemudian derasnya air hujan mengguyur bumi. Bingwen yang terbangun karena derasnya hujan menerpa dirinya, anak lelaki itu mengucek matanya dan melihat ke sekelilingnya.

"Berapa lama aku pingsan? Kemana perginya Ni Lou dan Ni Me?" Pertanyaan bodoh yang dia lontarkan dan hanya dijawab dengan suara petir dan gemericik hujan.

"Bodoh sekali aku, buat apa aku bertanya begitu? Tentu saja mereka meninggalkan aku di sini."

Dengan langkah terseok Bingwen berjalan untuk mencari tempat berteduh, hari sudah semakin gelap. Ditambah hujan deras seperti sekarang, akan sangat berbahaya jika dia menuruni gunung.

Pandangan mata Bingwen tidak begitu jelas, entah karena semua luka yang dia terima atau karena hujan.

"Sepertinya di tempat itu jauh lebih aman," ucapnya sambil terus berjalan mengarah ke pohon besar yang letaknya tidak jauh dari posisinya saat ini.

"Semoga hujannya segera berhenti, aku dingin dan lapar."

Bingwen meringkuk, sakit di sekujur tubuhnya makin terasa. Tubuhnya juga menggigil, sementara suara perutnya terus terdengar. Dari pagi dia belum makan apapun.

"Aku lapar, sampai kapan aku harus mengalami hal seperti ini? Kenapa aku tidak bisa meningkatkan kemampuanku? Padahal aku sudah berlatih setiap hari?"

Bingwen terus berbicara seolah ada orang lain yang mendengarkan keluh kesahnya, dia tidak bisa menceritakan bagaimana Ni Lou dan Ni Me memperlakukannya pada Guru Bao.

"Bagaimana kalau Guru Bao menyesal telah merawatku selama ini? Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan Ni Lou, aku hanyalah beban bagi Guru Bao?"

Selama ini Bingwen tidak pernah menitikkan air matanya, seberat apapun sesi latihan yang diberikan oleh Ni Lou dan Ni Me. Bahkan saat Ni Lou tidak memberikan makanan jika Bingwen melawan ucapannya.

Namun, hari ini air mata itu berhasil menyeruak tanpa Bingwen dapat hentikan. Isak tangis anak lelaki itu teramat menyayat hati. Di saat Bingwen tengah bersedih hati, dia tidak menyadari ada yang mendekatinya.

Sreek....!

Sreekk...!

Suara langkah kaki yang berat makin dekat, membuat Bingwen ketakutan.

"S---siapa itu?" Tidak ada sahutan. Bingwen mengesot mundur dari tempatnya semula, sementara langkah kaki tersebut makin terdengar jelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status