“Dad, Mom, apa kalian ada waktu sebentar?” Max melongokkan kepalanya ke dalam ruang kerja sang ayah.Sang ibu ada di sana untuk mengatur jadwal Mozart. Sejak dulu, Arienna sudah berperan sebagai sekretaris utamanya, yang bekerja dari rumah.Malam itu Max memutuskan untuk langsung memberitahu keluarganya terkait rencana mengakuisisi PT TembokTinggi.“Max! Kau baru pulang kerja, Nak?” sapa Mozart dengan riang. Ia segera meninggalkan meja kerjanya dan membawa Max ke sofa yang lebih santai. “Bagaimana harimu?”Max tersenyum singkat dan menceritakan beberapa hal yang penting. Termasuk rencana akuisisinya.Arienna tetap terlihat tidak setuju. “Max, Mom nggak yakin ini jalan baik.”“Ini benar-benar tidak sengaja, Mom.” Max menjelaskan lagi.“Pertama, Areston datang dan meminta bantuan. Itu pun aku nggak menggubrisnya. Lalu, beberapa hari lalu aku mendapat kabar bahwa mereka dinyatakan bangkrut.”Mozart menepuk tangan sang istri pelan dan berkata, “Kurasa ini baik, Sayang. Dengan Max mengambi
Max mengerutkan dahi, mendengar namanya disebut oleh orang yang tak dikenal. “Siapa orang itu?”Namun, alih-alih menghampiri, Max membiarkan sang sekretaris mengatur sesuai prosedur. Karena ia tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke ruangannya.Setelah beberapa saat, telepon meja di ruangan Max berdering singkat. Ia menekan tombol speaker, agar tidak perlu mengangkat gagangnya. “Ya, Al?”“Tuan Max, Pak Anthony memaksa untuk bertemu. Dia tahu bapak sebagai asisten direktur.” Aletha menjelaskan. “Katanya dia mau bicara soal game.”“Game?” Max mengernyitkan keningnya. “Di ruangan mana? Saya ke sana.”“Di ruang ‘Tulip’, Pak.”Max mematikan sambungan telepon itu dan segera beranjak menuju ruang rapat yang disebutkan. Letaknya ada di ujung lorong setelah Max berbelok ke kanan.Baru saja ia masuk dan berencana menyapa dengan sopan, tetapi Anthony langsung menghampirinya. Pria paruh baya itu berceloteh panjang lebar soal game milik Max. Game tersebut memang cukup sukses, dinilai dari si pem
“Aku?”Max menatap Areston seolah memastikan ‘apa kau nggak salah sasaran minta tolong padaku?’“Kau mau aku menolong orang yang sudah menginjak-injak keberadaanku?” tanya Max dramatis. “Aku bahkan tak yakin, kalau saat itu kamu ada di sana, apa kamu akan memihakku atau bertingkah seperti mereka.”Areston membuka mulutnya, tetapi ia tak tahu apa yang harus dikatakan. Setelah tahu bisnis keluarganya kesulitan, ia langsung terbang kembali ke Asia. Sampai di Djayakarta, ia malah mendapati cerita bahwa Max bekerja di perusahaan besar.Yang membuatnya kalap adalah kenyataan bahwa Max seolah menutup mata atas kesusahan calon mertuanya di saat ia bergelimang uang. Areston tidak tahu menahu soal kejadian di acara ulang tahun sang adik.“Max ... demi pertemanan—“Max mengangkat telapak tangannya ke arah Areston, meminta untuk tidak melanjutkan ucapan tak bertanggung jawab itu. “Bahkan keluargamu saja tidak memandangku. Tidak memikirkan demi semua bantuan yang pernah kuberikan selama ini. Merek
Tok! Tok!Max mengerutkan dahi. Kepalanya terangkat, teralih dari kertas-kertas di atas meja kerjanya.5 hari sudah berlalu sejak rapat pertama Max dengan kehadiran Bebby di departemen kreatif desain. Menurut laporan dari Jordan, Bebby terlihat bersemangat mengerjakan proyeknya bersama Anthony.Namun hari ini, ia merasa tidak punya rapat dengan siapapun. Jadi, ia mencoba menebak siapa yang datang ke ruangannya. Antara Lucas atau Aletha.“Ya?!”Seruan Max menjadi tanda bahwa si pengetuk pintu diperbolehkan masuk. Ternyata tamunya hanyalah sang sekretaris. Aletha.“Apa ada masalah, Al?” tanya Max heran.Ia ingat kalau tadi ia minta agar tidak ada yang mengganggunya. Kalau Aletha sampai memaksa bertemu, jelas ada masalah penting yang perlu campur tangan Max.“Tuan Max.” Nada mengadu terdengar dari panggilan yang dilontarkan Aletha. “Ada seorang pria memaksa untuk bertemu. Dia membuat keributan di lobi, karena saya menolaknya.”Dahi Max berkerut semakin dalam. Ia mencoba menganalisa masal
“Tidak penting, Max. Kau tahu kan, mereka perusahaan kecil.”Arienna tak suka membayangkan Max berhubungan lagi dengan mereka yang sudah bertindak tidak manusiawi sejak keluarga Tandjaya bangkrut.Max mengangkat bahu. “Baiklah. Tapi kalau kesempatan itu datang, aku mungkin akan melakukan akuisisi, Mom.”Wajah Arienna tampak tak setuju, tetapi ia menyerahkan semua keputusan pada Max. “Kalau masih bisa menguntungkan, silakan saja, Max. Asal kau tetap hati-hati.”“Tentu.”Kemudian Arienna mengusap lengan Max dan berkata, “Istirahatlah, Max. Mom juga sudah lelah menghadapi Hani dan Imam tadi.”“Ya, Mom. Selamat malam!”Max menatap punggung ibunya yang berbalik menuju kamar tidur mereka di lantai 1, dan menghembuskan napas lelah. Sebenarnya, ia masih memikirkan kemungkinan untuk melakukan akuisisi, tetapi karena sang ibu melarang, Max tak berniat melanggarnya.Ia pun naik ke lantai 2. Langkahnya cepat, karena ia tak mau sampai harus berpapasan dengan mereka.Tiba di kamarnya sendiri, Landy
Max tak mendengarkan permintaan Landy untuk menjauhi ruang kerja Mozart. Ia terus berjalan hingga tiba di depan pintu besar yang sedikit terbuka.“Tuan muda, tolong jangan masuk.” Landy kembali mengutarakan permintaannya. “Anda akan merusak rencana Tuan Mozart.”Mendengar alasan yang disebut Landy terakhir, Max menarik tangannya menjauh dari gagang pintu.“Rencana Dad? Buat siapa?”Manik mata Landy bergerak tak beraturan, sebelum akhirnya ia menjawab jujur. “Keluarga Drajat.”Mendengarkan nasehat Landy, Max akhirnya beranjak dari sana. “Sebagai gantinya, paman yang jelasin. Gimana?”“Tentu, Tuan muda.” Landy terlihat lega karena Max menurutinya. “Mari ke ruang makan!”Tiba di ruang makan, Max segera mengambil makanan dan duduk. Bersiap mendengarkan apa yang terjadi selama ia pergi kerja seharian ini.“Tuan Max, siang tadi seorang wanita muda bernama Tiara mendatangi Nyonya Arienna. Dia meminta bantuan agar bisa melanjutkan hubungan dengan Anda.” Landy memulai laporannya sambil menuang