Share

BAB 3

Author: Sang Ghania
last update Last Updated: 2024-12-19 11:47:23

Antonio terus memperhatikan gadis itu yang tengah duduk tak berdaya di sandaran kursi kayu yang masih lengkap dengan tali yang melilit tubuhnya. Langkah kakinya mulai mendekat kala melihat sesuatu yang tak wajar di beberapa bagian tubuh gadis itu. Sesekali ia memicingkan matanya untuk memperjelas apa yang ia lihat. Tampak beberapa luka lebam dan memar terlukis di sana.

“Siapa yang melakukan ini? Kenapa mereka tak bilang padaku jika gadis ini sudah ditemukan?”

Raut wajah Antonio seketika memerah, salah satu tangannya mulai mengepal sebelum akhirnya memanggil pengawalnya.

“Pengawal!!”

“Siaapp Tuan!”

Beberapa pria berbadan besar itu seketika datang menghampirinya. Tak menunggu lama, Antonio pun segera memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan gadis itu.

“Lepaskan gadis itu!” ujarnya sembari menunjuk ke arah Rachel yang masih terkulai lemas.

“Ta-tapi Tuan, bukankah gadis itu berbahaya?”

“Ini perintah!” Gertak Antonio yang akhirnya membuat para pengawalnya tak berkutik.

Dengan langkah yang sedikit mengendap ia segera membukakan seutas tali yang melilit gadis itu. Benda panjang yang digunakan untuk melilit itu pun satu persatu mulai dilepaskan, terlihat sepintas beberapa garis ikatan itu membekas di beberapa area tangan dan kaki Rachel.

“Bawa dia ke kamar dan siapkan makanan serta buah-buahan yang lezat untuknya!”.

“Ta-tapi Tuan...”

“Apa kau mau melanggar perintahku?”

“Ti-tidak, Tuan. Baik akan segera saya laksanakan”

Beberapa saat kemudian derap langkah kaki yang tampak tergesa-gesa muncul dihadapan mereka.

“TIDAK!! Kenapa gadis itu dilepaskan!” teriak Rudi, salah satu pengawal yang tempo hari menangkap Rachel. Ia langsung mempercepat langkahnya sembari menghadap Antonio.

“Tuan! Kenapa engkau melepaskan gadis itu, bukankah dia sudah mencelakaimu?” cecarnya lagi yang sudah menaruh curiga pada Rachel.

“Tidak. Sebenarnya dia hanya berusaha menolongku saja. Jangan salah pahami gadis itu. Dia adalah calon Tuan Mudamu” ujar Antonio yang seketika membalikkan tubuhnya yang kini menatap Rudi.

“A-apa..” Ujar Rudi yang masih tak percaya dengan pernyataan yang baru saja terucap dari bibir Tuannya itu.

Melihat Antonio yang diam dan menatap tajam ke arahnya seolah membungkam Rudi yang seketika langsung sedikit menundukkan kepalanya.

“Pindahkan gadis itu ke kamar, dan siapkan beberapa hidangan lezat untuknya lalu pergilah!”

“Ba-baik Tuan...”

***

Tak berselang lama kemudian, Rachel pun mulai tersadar dari tidur panjangnya. Perlahan netranya terbuka. Sedikit samar terlihat beberapa benda yang tampak berkilau bahkan sama sekali tak pernah terlintas dibenaknya jika ia bisa berada di tempat seperti itu.

Seketika ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah. Bak putri raja, tempat tidurnya yang tampak mewah dihiasi dengan beberapa pernak-pernik di kelambu berwarna emas itu tampak membuatnya semakin indah.

Tak hanya itu. Bantal, guling, selimut bahkan meja rias pun semua berwarna emas. Dengan bias cahaya remang yang kontras dengan semua perabot dikamar ini membuat kondisi kamar menjadi sangat mewah dan indah.

Merasa tak percaya, Rachel sesekali menepuk pipinya. “Apakah aku sedang bermimpi?”

Tak puas dengan apa yang dirasakan, Rachel kembali menepuk pipinya. Namun kali ini lebih keras dari sebelumnya.

“Aaauuu..!! Ah sakit, berarti aku tidak mimpi. Tapi aku dimana sekarang?”

Rachel yang berusaha mengumpulkan nyawanya yang seperti berada di dunia lain kini mulai beranjak dari tempat tidurnya. Tak berselang lama kini ia mendapati beberapa bercak merah di pipinya yang membentuk seperti jari.

Mencium aroma makanan lezat yang sudah terhidang di hadapannya pun membuat perutnya yang keroncongan mulai semakin lapar dan segera ingin menyantap apa yang sudah tersaji di kamar itu.

“Aku lapar sekali, tapi ini di mana ya? Apakah makanan ini boleh dimakan? Kenapa tidak ada orang?”

Rachel seketika duduk di sofa sembari mengingat apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang membuatnya kembali terbangun di tempat yang sama dalam kondisi yang berbeda. Salah satu tangannya yang masih menyangga kepalanya kini dikejutkan dengan sebuah ketukan di pintu kamar itu.

Seketika derap napas Rachel pun mulai terperanjat. “Astaghfirullahalazim... Penculik itu. Iyaa, kan aku kemarin diculik pas mau pulang kerja. Itu pasti penculiknya! Ya Allah bagaimana ini!”

KLEEK

Sebuah benda pipih yang terbuat dari kayu itu pun terdengar terbuka gagang pintu mulai terdengar dan diiringi hentakan kaki yang mulai menggema terasa seolah suara itu semakin dekat. Hingga terlihat seorang pria paruh baya yang sedikit bungkuk itu tampak menatap Rachel dengan tatapan teduh.

Hentakan kakinya semakin terdengar bahkan kini berada tepat di depan Rachel.

“Aku belum sempat menanyakan namamu. Siapa namamu Nak?”

“Oh saya Rachel Kek”.

“Apakah kau memiliki keluarga?”

“Sebenarnya saya sudah yatim piatu Kek, jadi semenjak itu saya tinggal bersama Om dan Bibi saya”.

“Aku melihat beberapa luka lebam dan memar di beberapa bagian tubuhmu. Siapa yang melakukannya?”

“Uhmm...”

“Jangan takut, katakanlah...”

“Bibi saya Kek.. Tapi tidak apa-apa saya sering kok mengalami ini”.

Mendengar hal itu sepintas terlihat sedikit senyum yang terlukis di bibir si Kakek dan dibarengi mata yang berkaca-kaca.

“Jika kau tak keberatan, kau boleh memanggilku Ayah. Dan kau boleh datang kemari kapanpun kau mau”.

Mendengar itu kini Rachel yang terlihat berkaca-kaca. Tak terasa cairan bening itu pun mengucur dari kelopak matanya.

“Aku yakin kau gadis yang baik. Tapi aku juga yakin hanya kau yang mampu menjadi penerusku. Apakah kau bersedia Nak?”

Tak sepatah katapun terucap dari bibir gadis itu. Bahkan cairan bening itu pun terus mengalir di pipinya.

“Kau tak harus menjawab sekarang Nak. Pulanglah, dan kembalilah jika kau sudah merasa yakin. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu”.

“Baiklah Kek, terimakasih tawarannya... Permisi “ ujar Rachel usai berpamitan pun ia langsung beranjak pergi untuk pulang ke rumah Mira.

Sesampainya di rumah, tak urungnya Rachel dibuat tercengang dengan kondisi rumah tantenya yang sangat sepi. Tak seorang pun terlihat di sana.

Rachel sesekali mengedarkan pandangan dan perhatiannya beralih pada sebuah benda keras berwarna hitam bergaris cokelat dan bertali putih itu tampak tersandar pada dinding teras samping pintu masuk.

Rachel yang merasa tak asing pun seketika mengernyitkan dahi sembari mengingat siapa pemilik sepatu itu. Perlahan ia mengangkatnya sembari memperhatikan dan tiba-tiba...

“Ah.... Aaaah... Enak sekali Yang. Aku tidak kuat...”

“Aliya? Apakah benar itu suaranya?”

Rachel seketika langsung masuk dan mendobrak kamar Aliya yang merupakan sumber suara itu.

BRAAAK!!

“Aliya!”

Seketika mata Rachel berkaca-kaca usai melihat apa yang terjadi. Aliya tampak tersenyum sinis dan bergelut manja sembari menutupi tubuhnya dengan selimut. Sementara Dafa, sang kekasih yang selama ini menjadi alasannya untuk tetap hidup, tampak terkejut usai melihat Rachel mematung di depan mereka.

“Dafa...!”

“Apaan sih..!” Bentak Aliya yang terlihat masih ingin melakukannya kembali. Sementara Dafa yang sudah telanjang dada seketika langsung beranjak dari tempat tidurnya. Raut wajah sayup yang dibungkus dengan rasa panik terukir jelas di wajahnya.

“Da-dafa...” Tak terasa isak tangisnya mulai menderu sesak. Cairan bening itu kini mulai mengucur deras seolah meluapkan rasa sakit yang tak terungkap.

Rachel seperti tak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya. Raut wajahnya tampak sayup, langkahnya pun mulai melambat bahkan nyaris ambruk. Seseorang yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya, menempati ruang terluas dihatinya, mencintai dan menyayanginya. Tapi kini semua tampak berbeda.

Lidahnya mendadak kelu, tak sepatah kata terucap dari bibirnya. Bahkan semua yang terlihat pun kini tampak muram. Tubuhnya yang terkulai lemas kini hanya bisa berusaha untuk tetap kuat melihat apa yang terjadi.

Cairan bening itu terus mengguyur raut wajahnya yang sayup. Napasnya yang menderu sesak seolah merasakan seribu pisau tajam menusuknya yang kembali membuatnya lemah. Benda pipih mengkilat itu seperti tak pernah memberikannya waktu untuk bertahan.

Semua terjadi begitu cepat. Seseorang yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya kini berperilaku sebaliknya. Sulit dipercaya dengan fakta yang ada. Semua tampak seperti mimpi buruk yang terlihat nyata oleh netranya.

Dafa tak hanya menjadi kekasihnya, tapi melebihi keluarganya. Bahkan ia sudah menempati ruang terluas di hati Rachel selain almarhum orang tuanya.

Bahkan Dafa selalu mencintai dan menyayangi Rachel. Menerima Rachel apa adanya, memberi semangat dan selalu menjadi garda terdepan jika Rachel terluka. Namun kini sebaliknya, alih-alih menjadi pelindung, justru Dafa lah yang kini menjadi penyebab Rachel terluka.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” ujar Dafa sembari mengusap puncak kepala Aliya.

“Kau..”

“Kenapa? Tidakkah kau menyadari lekuk tubuhmu yang seperti kudanil? Sudah dekil, gendut, jelek lagi. Huuuftt... Aku baru menyadari sekarang jika aku terlalu tampan untukmu,” ujar Dafa sebelum akhirnya melumat bibir Aliya dihadapan Rachel.

Rachel berusaha untuk tetap kuat meski cairan bening itu terus mengalir dari kelopak matanya. Tak sepatah kata pun ia lontarkan untuk membalas hinaan kekasihnya itu. Menurutnya apa yang terlihat sudah cukup menjelaskan siapa Dafa yang sebenarnya. Saat Rachel hendak keluar dari kamar Aliya, tiba-tiba Rachel berbalik dan...

PLAAKK!!

Sebuah tamparan keras pun mendarat di salah satu pipi Dafa. Hingga terlukis beberapa jari Rachel di sana.

“Eh kamu tu gak punya otak ya! Pantes aja Dafa kepincut sama aku. Iyaa kan sayang...” pungkas Aliya mencari kesempatan sembari mengusapkan puncak kepalanya pada Dafa yang sedang menahan perih di salah satu pipinya.

“Hey! Kenapa kau menamparku!”

“Aku rasa itu kenang-kenangan yang cocok untukmu. Terimakasih untuk selama ini.”

Tak cukup hanya mendapat perlakuan buruk dari Sang kekasih, tapi juga dari Mira yang langsung melayangkan tangannya pada puncak kepala Rachel saat hendak keluar dari kamar Aliya.

“Dari mana saja kamu!” bentak Mira yang sudah tampak naik pitam.

“Aku mencarimu di tempat kerja sambil berteriak seperti orang gila! Dan sekarang kau kembali. Apa kau sudah bosan hidup, hingga kau berani kabur dariku! Dasar anak tak tau diri!”

“Maaf Tante, aku....”

“Pergi kau dari sini. Aku tak sudi lagi memberi tumpangan hidup untuk sampah sepertimu!” Bentak Mira kembali seraya menunjuk ke arah pintu keluar.

“Tante...”

“Pergi sana! Dasar sampah!! Pantas saja orang tuamu yang miskin itu cepat mati, lihat saja dirimu yang sama sekali tak berguna! Cuiiiiihhh!!”

Sekian detik kemudian terasa cairan kental yang keluar dari mulut Mira itu melekat pada pelipis wajah Rachel. Isakan tangis gadis 20 tahun itu yang semula menderu sesak kini sebaliknya. Entah mengapa kali ini cairan bening itu tampak mengering.

Raut wajahnya yang semula sayup pun kini tampak berbeda. Ia terus menatap tajam ke arah Mira sembari mengepal kedua tangannya. Ia sama sekali tak pernah membalas semua cacian, makian dan segala umpatan yang tak pernah berhenti keluar dari mulut Tantenya itu.

Sama sekali tak terlihat belas kasih yang tersisa pada Rachel yang sudah dirawatnya sejak kecil. Kasih sayang yang dulu sempat ia dapatkan dari Tantenya itu seolah semua sirna hanya karena masalah ekonomi yang terus mendesak tanpa adanya peninggalan apapun dari orang tua Rachel.

Keadaan yang sudah tidak kondusif membuat Rachel tak mungkin masih bertahan. Ia pun langsung memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah saudaranya.

Apakah Rachel menerima tawaran Sang Kakek?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 23

    Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 22

    Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 21

    “Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 20

    Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 19

    Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat

  • Bangkitnya Wanita Yang Kau Hina   BAB 18

    Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status