Tak sepatah kata pun terucap dari bibir sang kakek. Tubuhnya terlihat terkulai lemas bahkan seperti kesulitan bernapas. Rachel yang tak tahu harus bagaimana akhirnya berteriak dan berharap pria-pria berbadan besar itu mau menolongnya.
Alih-alih mengucapkan terima kasih, Rachel justru di usir dan beberapa diantara mereka menatap tajam seperti menaruh rasa curiga padanya. “Hey! Apa yang kau lakukan! Pergi sana!” bentak salah seorang dari mereka yang seperti menaruh curiga pada Rachel. Rachel tak bisa berbuat banyak, dan ia pun langsung bergegas pergi usai melihat sang Kakek yang sudah diurus dengan para pria berbadan besar itu. Sesampainya di rumah, Rachel masih merasa tak enak karena sempat ada sedikit keributan saat ia berusaha menolong si kakek. Letak kesalahanku dimana ya? Bukannya tadi terlihat jelas jika aku hanya menolong? Tapi kenapa mereka seperti menaruh rasa curiga padaku? Bahkan langsung mengusirku. Benak Rachel mulai berkecamuk apalagi saat teringat nasehat Mang Udin dan Pak Dio kalau mereka adalah pelanggan setia tempat kerjanya. Bagaimana jika setelah kejadian itu mereka tidak memesan makanan lagi? Sudah pasti Rachel lah yang akan menjadi orang pertama yang disalahkan dan dianggap menjadi penyebab utama atas kejadian itu. Dan benar saja, semenjak itu sang Kakek sudah tidak lagi memesan makanan cepat saji di restoran itu. Tidak seperti biasanya. Mengetahui hal itu pun Rachel kembali merasa bahwa ia sudah melakukan kesalahan. Apakah besok terakhir kalinya Rachel bekerja? Entahlah yang jelas Rachel masih menutupi semua yang terjadi. Baik dari Mang Udin, Pak Dio atau pun rekan kerjanya yang lain. *** Di tempat lain, sesampainya di rumah sakit. Kakek itu langsung mendapatkan perawatan instens dari pihak rumah sakit. Sang ajudan pun langsung berbagi tugas untuk saling menjaga ketat di beberapa sudut ruangan demi keamanan sang Kakek. Kakek itu terlihat terbujur lemas dengan raut wajahnya yang pucat. Bahkan infus pun terlihat menancap di salah satu tangannya yang sudah sangat keriput. Penyakit di usia lanjut sang Kakek memang sering kambuh. Terlebih beliau tidak memiliki sanak saudara yang bisa menjaga, bahkan tidak ada satu pun anak ataupun ahli waris yang dimiliki sang Kakek. Tak berselang lama terlihat beberapa jari sang Kakek mulai bergerak. Bahkan kepalanya pun mulai menoleh ke arah salah satu ajudannya yang bertugas berjaga di dalam ruangan. Tiba-tiba sebuah nama terucap dari mulut pria paruh baya berusia 80 tahun itu yang masih terpejam. “Gadis itu....” “Dimana dia?” Sang ajudan yang mendengar itu pun saling melemparkan pandangan satu sama lain. Dengan tatapan raut wajah yang sama-sama tidak mengerti apa yang dimaksud si kakek. Mereka tetap tidak melakukan apa-apa. Dan tak berselang lama tiba-tiba ucapan itu terulang kembali. Perlahan kelopak matanya yang keriput itu pun mulai terbuka dan berusaha mengungkapkan kembali apa yang ingin disampaikan pada sang ajudan. Sang ajudan yang melihat itu pun langsung bergegas mendekati sang Kakek dan menanyakan perihal gadis itu. “Ada yang bisa saya bantu Tuan?” Kakek itu tak henti-hentinya menanyakan keberadaan Rachel. Gadis pertama yang menolongnya saat hendak jatuh pingsan di lorong perusahaannya. “Dimana dia?” tak ada satu pun pengawal yang mau menjawab pertanyaan si kakek. Mereka kembali saling memandang satu sama lain sembari memikirkan siapa yang dimaksud sang kakek. Hingga salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya. “Maaf Tuan, maksudnya dia siapa ya?” “Gadis yang bersamaku tempo hari sebelum kalian datang. Dimana dia sekarang?” Deg Salah satu pria yang mengusir gadis itu pun akhirnya mengakui kesalahannya bahwa ia lah yang menyuruh gadis itu pergi saat hendak membantu sang kakek. Setelah mengetahui itu sang Kakek pun terlihat naik pitam. Raut wajahnya yang semula pucat pun kini tampak memerah sembari mendengus kasar pada sang ajudan. “Bodoh! Cari dia sampai dapat!” Kakek itu mulai kesal dan hendak terus membentak sang ajudan. “Ta-tapi Tuan!” “Aku tidak mau tahu. Aku ingin kau membawa gadis itu kemari! Cepat!!” Salah satu pria yang mengetahui gadis yang mengantar makanannya tempo hari itu pun langsung menjawab. “Siapp Tuan!” Seketika beberapa diantara mereka pun kembali berbagi tugas untuk mencari Rachel melalui sekretaris pribadi sang Kakek yang tempo hari memesankan makanan. “Beritahu aku dimana kau membeli makanan untuk Tuan Antonio?” “Apakah terjadi sesuatu?” “Beritahu saja! Aku tak punya waktu berdebat denganmu!” “Baiklah” Ujarnya yang langsung mengambil seuntai kertas dan menuliskan sesuatu di sana. “Pergilah ke alamat ini jika kau ingin”. Pengawal itu seketika merampas secarik kertas dari sekretaris pribadi majikannya. Sebelum akhirnya ia kembali melontarkan pertanyaan. “Apa kau mengenal salah seorang karyawan di restoran itu?” “Tidak”. Mendengar itu, raut wajah pria berusia 30 tahun itu pun seketika berubah. Kedua tangannya langsung menggebrak meja sekretaris itu dengan keras sembari menatap tajam ke arahnya. BRAAAKK “Bukankah kau setiap hari memesankan makanan untuk Tuan?” Sekretaris pribadi sang Kakek itu pun seketika merasa terintimidasi sembari menatap sayup ke arah pria itu sembari sedikit memundurkan kursi duduknya. “A-aku aku hanya...” “Hanya apa!” “Aku hanya memesan makanan sesuai permintaan Tuan Antonio. Tak lebih dari itu. Ada apa sebenarnya? Bicaralah, aku tak tahu kenapa kau begitu menaruh curiga padaku! Bukankah kau mengenalku!” “Semua hal buruk bisa saja terjadi meski dari seseorang yang kita kenal” pungkas pria itu sembari melangkah pergi. Sesampainya di restoran itu ia terus mengamati gerak-gerik karyawan sesuai dengan foto yang sempat mereka ambil dari cctv perusahaan. Hingga terbesit dalam pikiran mereka untuk berpura-pura menjadi pelanggan di sana. Sekian detik kemudian terlihat seorang gadis yang mereka cari. Rachel yang masih bersiap-siap untuk pulang pun tak menyadari kehadirannya sedang diperhatikan orang lain. Rachel yang tak menyadari akan terjadi sesuatu pun langsung keluar begitu saja untuk pulang. Tak berselang lama salah seorang dari mereka mendekati Rachel. Dengan gerak cepat salah seorang dari mereka pun langsung menikapnya dari belakang. Pria berbadan besar itu dengan tenaganya yang sangat kuat langsung membuat Rachel tak bisa bergerak hanya dengan satu kali dekapan. “Uhm...!” Napas Rachel yang sempat tersengal berusaha memberontak tapi apalah daya, Rachel tak sekuat para pengawal itu. Tak menunggu waktu lama mereka pun langsung memasukkan Rachel ke dalam mobil dan bergegas menuju perusahaan Antonio Dirgantara. Sepanjang perjalanan mereka tampak kesal dan berencana untuk memberi pelajaran pada Rachel karena sudah berusaha menyerang bos mereka. Tapi dari sisi lain mereka juga tak langsung berani mengambil tindakan tanpa perintah Tuannya. Sesampainya di perusahaan. Rachel langsung dibawa ke ruang bawah tanah. Ruang rahasia milik Antonio Dirgantara, sang Kakek pemilik perusahaan itu. Seuntai tali pun mereka keluarkan untuk melilit gadis malang itu yang terduduk di kursi dan masih belum sadar karena pengaruh obat bius saat disekap. Tak berselang lama mereka keluar dan mengurung Rachel di ruangan itu hingga mendapat perintah dari sang Kakek. *** Di tempat lain, terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk dan membuat gaduh di Restoran cepat saji tempat Rachel bekerja. Suara teriakannya yang menggema seketika menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Bahkan beberapa karyawan restoran itu turut menyaksikan dan berusaha menghampiri wanita itu usai sebuah nama seorang karyawan di restoran itu terucap dari bibir wanita itu. “Racheelll... Racheeeelll!!! Anak kurang ajar! Dimana kamu!!” Bentak wanita itu sembari menatap tajam ke arah para karyawan yang sedang bertugas. Mang Udin yang merupakan salah satu driver delivery di Restoran itu seketika langsung menghampiri sumber keributan itu. “Permisi, maaf Bu ada apa ya?” ujar salah seorang karyawan yang memberanikan diri menegur Mira yang tampak sudah naik pitam. “Mana Rachel! Kenapa sampai sekarang belum pulang!” bentaknya lagi sembari memukul salah satu meja pelanggan. Seketika semua mata saling memandang satu sama lain. Berhubung Rachel masih anak baru, tentu belum semua karyawan mengenalnya. Alhasil mereka jadi saling bertanya dari satu bagian ke bagian yang lain. “Maaf Bu, Rachel sudah pulang tadi sore. Saya lihat sendiri kok dia keluar restoran”, ujar salah seorang karyawan yang satu bagian dengan Rachel. Hanya saja hari itu mereka sedang beda shift. “Bohong!! Kalau memang sudah pulang kenapa sampai sekarang belum sampai di rumah!!” Ujar Mira yang tampak menaruh rasa curiga pada karyawan yang kebetulan satu bagian dengan Rachel itu. “Apa kau membantunya untuk kabur dariku?” ujarnya lagi dengan nada mengancam. Sorot matanya yang tajam seolah mengintimidasi dan mendesak karyawan tersebut untuk menjawab pertanyaannya dengan jujur. Suara gaduh yang ditimbulkan wanita itu pun kian memuncak. Tak hanya karyawan yang merasa tak nyaman, bahkan para pelanggan pun merasa terganggu. Bahkan beberapa dari mereka pun terlihat saling berbisik lirih bersama pelanggan yang lain. Tak berselang lama terdengar derap langkah kaki dari dalam sebelum akhirnya sebuah pintu terbuka dan seseorang tampak keluar dari sana. Terlihat seorang pria paruh baya berbadan tegap menghampiri mereka. “Jangan sentuh karyawan saya! Jika ada yang perlu ditanyakan bicarakan baik-baik. Kalau tidak ada pergilah” pungkas pria itu sembari menangkis tangan wanita itu yang hendak menarik lengan salah satu karyawannya. “Pak Dio...” ujar salah seorang karyawan yang merasa tenang usai managernya datang. Pandangan mereka pun seketika mengarah pada atasannya itu sebelum akhirnya mengekor di belakangnya. Sekian detik kemudian wanita itu pun pergi. Terdengar sekilas dengusan kasar yang tersamarkan dengan hentakan kakinya yang keras. Masih terlihat amarahnya yang masih terpendam di setiap langkahnya. *** Hari ini, pihak rumah sakit menyatakan Antonio Dirgantara sudah baik-baik saja dan diperbolehkan untuk pulang. Tapi entah kenapa ia kembali teringat dengan gadis itu. Meski belum mendapat kabar tentang gadis itu yang tempo hari ia perintahkan pengawalnya untuk mencari. Tapi tetap saja seperti ada sesuatu yang mengganjal. Sepertinya Antonio memang harus segera pensiun. Mengurus perusahaan sebesar ini seorang diri sangatlah berat. Mengingat usianya yang sudah menginjak 80 tahun itu membuatnya semakin merasa rapuh dalam segala hal. Sangat ingin rasanya untuk memiliki seorang ahli waris. Tapi tidaklah mudah menentukan sebuah pilihan. Kemudian ia kembali teringat dengan seorang gadis yang pernah menolongnya kala itu. “Sepertinya gadis itu... Aah tidak, tapi apakah dia bisa menjadi penerusku?” gumam Antonio yang sedikit berharap meski sedikit ragu dengan Rachel. Ditengah lamunannya, Antonio tiba-tiba ingin berjalan menyusuri perusahaannya. Sebilah tongkat kayu yang berukuran sedang itu setia menyanggah tubuhnya yang sudah layu. Derap langkahnya yang pelan seolah tersamarkan dengan suara mesin, kendaraan, bahkan langkah beberapa orang yang berlalu lalang di sana. Napasnya yang mulai terengah pun membawa si Kakek ke sebuah ruangan bawah tanah tempat ia beristirahat ketika merasa lelah dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Usai membuka pintu ruangan itu sang Kakek dikejutkan dengan seorang gadis tak asing di sana. Sesekali ia tampak memicingkan matanya yang sedikit kabur. Terlihat seutas tali melilit tubuh gadis itu yang bersandar pada sebuah kursi kayu. Tubuhnya terkulai lemas. “Astaga! Dia kah gadis yang menolongku kala itu?”Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula
Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel
“Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C
Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny
Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,