Mengingat semua yang telah terjadi, cairan bening kembali mengucur deras dari kelopak mata Rachel. Dadanya bergemuruh sesak, menahan isak tangis yang begitu berat. Langkahnya melambat saat Rachel bersandar pada salah satu pohon di pinggir jalan yang ia lewati.
Perlahan, semua tampak menghitam. Di tengah kesadarannya yang mulai memudar, beberapa sosok pria berbadan besar tampak berdiri di depannya. Sosok-sosok itu semakin mendekat hingga akhirnya menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya perlahan terasa melayang, entah apa yang membuatnya begitu ringan, seolah menembus kegelapan. *** Rachel merasa seolah terlahir kembali di dunia yang berbeda. Ia terbangun di kamar yang sama, seolah kembali menjadi putri raja yang bergelimang harta. Kamar mewah dengan beberapa sisi dipan berwarna emas kini kembali ia nikmati. Belum sepenuhnya pulih, Rachel berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Salah satu tangannya menyangga kepalanya yang masih terasa sakit. Matanya berputar ke segala arah, sembari mengernyitkan dahi menahan rasa sakit. Semua yang terlihat tampak buram. Tubuhnya yang masih bersandar pada dipan kamar itu perlahan teringat kejadian sebelumnya. “Kakek...” ujar Rachel, mengenang sosok Kakek yang pernah ia tolong beberapa waktu lalu. Dengan terburu-buru, Rachel beranjak dari tempat tidurnya, namun kepalanya yang masih sakit membuatnya terjatuh lemas kembali ke tempat tidur. Tak berselang lama, terdengar derap langkah kaki yang mulai mendekat ke kamar itu, diikuti dengan gagang pintu yang mengayun turun, kemudian sebuah pintu kayu berukir sedikit ternganga. Seorang pria sepuh yang tak asing menatap sayup ke arah Rachel, diikuti oleh beberapa orang lain yang membawa sesuatu. Salah seorang wanita dari kelompok itu mulai mendekati Rachel, perlahan memeriksa tubuhnya untuk melihat luka-luka yang ada. Deru napas panjang sang Kakek terdengar mengiris hati saat melihat beberapa luka lebam yang masih segar di tubuh gadis malang itu. “Anak malang...” ujar Kakek dengan suara serak, usai mengusap kepala Rachel yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Sorot matanya tampak berkaca-kaca melihat keadaan Rachel. “Sembuhlah, Nak. Tunjukkan siapa dirimu,” lanjut Kakek, suaranya penuh haru, sebelum berbalik hendak meninggalkan Rachel yang masih terkulai lemas. “Rawatlah semua lukanya,” pungkas Kakek, memberikan instruksi pada salah seorang yang membawa perlengkapan medis. “Baik, Tuan,” jawab orang itu dengan cepat. “Kakek...” Mendengar suara itu, langkah Kakek seketika terhenti. Ia menoleh, memastikan apakah benar Rachel yang memanggilnya. “Kau memanggilku?” tanya Kakek, terkejut dan tertegun, seolah tidak percaya. “Apakah Kakek yang menolongku? Terima kasih, Kek,” ujar Rachel, matanya penuh dengan air mata yang tak henti mengalir. Perlahan, mata Rachel terbuka. Cairan bening itu masih mengalir, menambah kesedihan yang ada. Namun, tatapan sayup Kakek itu seakan tidak terbalas oleh Rachel yang masih terkulai lemas. “Tak apa-apa,” kata Kakek dengan suara lembut, mencoba menenangkan. “Jika kau tak keberatan, kau boleh tinggal di sini selama proses pemulihan.” “Tak Kek, aku tak mau merepotkan Kakek,” jawab Rachel dengan lemah. “Kau mau tinggal di mana? Bukankah kau sudah tak punya tempat tinggal?” tanya Kakek, suaranya penuh pengertian. “Darimana Kakek tahu?” tanya Rachel, menatap Kakek dengan tatapan penuh kebingungan. “Sudahlah, anggap saja ini rumahmu sendiri,” jawab Kakek sambil melangkah pergi, memberi ruang bagi Rachel untuk merenung. Tak lama kemudian, Rachel mengangguk perlahan, meskipun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hanya isakan tangis yang mengguncang tubuhnya, penuh harapan meskipun hatinya penuh luka. Ia menatap Kakek yang sudah menolongnya, merasa sedikit tenang meski kesedihannya belum juga mereda. Rachel sempat tertegun mendengar kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh Kakek itu. Luka-luka, baik fisik maupun batin, yang membawanya pergi dari rumah seolah sedikit mereda karena kebaikan dan ketulusan pria sepuh itu. Beliau memang sangat baik, tapi aku butuh waktu untuk mengenalnya lebih jauh. Aku tak mungkin langsung meminta bantuannya, apalagi tentang pekerjaan. Tapi... apa yang harus aku lakukan sekarang? Beliau satu-satunya orang yang baik padaku saat ini. Rachel bergumam dalam hati, mencoba mengurai kebingungannya. Namun, trauma yang masih menyelimuti membuatnya merasa takut. Ketakutan akan perlakuan buruk yang mungkin saja terulang terus menghantui pikirannya. Rasa ragu bercampur ketidakberdayaan semakin berkecamuk dalam benaknya. Namun, keadaan tak memberinya banyak pilihan. Kini, harapan Rachel hanya bersandar pada perlindungan dari Kakek itu satu-satunya orang yang peduli padanya. Setelah luka-lukanya selesai dirawat, beberapa orang yang membantu tadi menundukkan kepala sebelum meninggalkan kamar satu per satu. Hanya tinggal Rachel dan Kakek itu di ruangan tersebut. “Kakek, bolehkah aku bertanya?” suara Rachel terdengar lemah, sisa tenaganya nyaris habis. “Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kau tanyakan? Katakanlah,” jawab Kakek sambil tersenyum, menatap Rachel dengan penuh kelembutan. “Kenapa Kakek mau menolongku? Bukankah aku hanya orang asing yang Kakek tidak kenal?” tanyanya, suaranya bergetar antara tidak percaya dan penuh rasa syukur. Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum menjawab. “Apakah pertolongan hanya pantas diberikan kepada orang yang kita kenal?” “Tentu tidak. Tapi...” Rachel berhenti, menahan isak tangis yang hendak pecah. “Kakek sudah dua kali menolongku. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas ketulusan Kakek.” Pria sepuh itu terkekeh ringan, bibirnya mengembang dalam senyum yang menenangkan. “Kau terlalu cepat menilaiku, Nak. Sekarang, istirahatlah. Biarkan lukamu pulih. Itu cukup bagiku untuk saat ini,” ujarnya sembari mengulas senyum tipis ke arah Rachel yang sedang terbaring di tempat tidur. Sekian detik kemudian, Kakek itu beranjak dari duduknya dan pergi, meninggalkan Rachel sendiri dalam keheningan. Hatinya kini berkecamuk. Rachel merasa dirinya berada di ambang kebimbangan. Keputusan yang akan diambilnya kali ini tidak hanya akan menentukan hari esok, tetapi juga berdampak besar pada hidupnya di masa depan. Rachel mengingat kembali penawaran yang pernah diberikan oleh Kakek itu. Ia ingin sekali menanyakannya, tetapi lidahnya seolah membeku. Bayangan perlakuan kasar yang sering ia terima dari Om dan Tantenya sendiri kembali menghantui pikirannya. Trauma yang mendalam, luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh, serta ketakutan akan hal yang sama terulang membuatnya ragu. Dalam hati, Rachel mulai mempertimbangkan keputusannya. Aku tak mungkin terus di sini. Tapi dari sisi lain aku juga tidak tahu harus tinggal dimana setelah ini. Apakah ini saat yang tepat untuk menerima tawaran Kakek itu? Tidak, aku tidak bisa... pikirnya. Ia tak ingin terlihat seperti seseorang yang tidak tahu terima kasih, apalagi dianggap memanfaatkan ketulusan pria sepuh itu. Namun, sebuah kenyataan pahit menghantam benaknya. Setelah ini, ia sama sekali tak tahu ke mana harus pergi, atau di mana akan tinggal. Rasa bimbang dan putus asa membelitnya, membuat setiap keputusan terasa berat. Selang beberapa saat, Rachel teringat Mang Udin, salah satu seniornya yang sering membantunya dalam bekerja. Ia kembali berpikir untuk meminta bantuan Mang Udin mencari kos yang dekat dengan tempat kerjanya. Namun, begitu ingat akan kendala yang satu ini, hatinya kembali terasa berat. Tidak ada uang, dan gajinya yang belum turun membuatnya terhambat untuk menyelesaikan masalah ini. Ya Allah bagaimana ini? Haruskah aku menerima penawaran Kakek itu untuk menjadi anak angkatnya? Gumam Rachel dalam hati.Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula
Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel
“Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C
Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny
Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,