Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi.
Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tangan? Ini penipuan lho, Pak... " Loan Officer Bernama Bambang Priayoga itu menatap tajam Azkara. Pria paruh baya itu tak mengerti mengapa Azkara tiba-tiba menolak melaporkan Shafira yang sudah memalsukan tanda tangannya. "Yakin, Pak, gimanapun juga dia istri saya saya, jd biar saya bayar aja hutangnya, 30 juta kan? " Bambang dan kedua collector saling pandang. Lalu Bambang mengangguk. setuju. Baginya yang penting uangnya kembali. "Yakin!" Azkara mantap. Setelah menyelesaikan prosedur pelunasan hutan di meja costumer servis, Azkara pulang ke rumah sambil menenteng map berisi sertifikat rumah. Ia menghela nafas lega, berhasil mengamankan sertifikat rumah peninggalan orang tuanya. Sepertinya ia harus mengganti kunci rumah dan menyimpan map itu di tempat aman, agar Shafira tak bisa masuk rumah dan menemukan sertifikat miliknya itu. Kata-kata Satria kemarin terus terngiang-ngiang dibenak Azkara, hingga sulit memejamkan mata. Pria mana yang membawa kabur istrinya? Pertanyaan itu juga terus berputar di kepala. Tak percaya sama sekali dengan hal itu. Tapi Satria juga tak mungkin membohonginya. Terlebih tempat ini hanya kampung kecil yang setiap warganya saling mengenal dan saling peduli satu sama lain. Azkara juga tak bisa mengabaikan perbincangan warga tentang tingkah laku istrinya. Tak mau terus menerus berada dalam kegamangan. Sepertinya ia harus menuntaskan masalah ini secepatnya. Jika tidak, akan terus membuatnya frustasi setengah mati. Apalagi omongan orang mulai tak enak di dengar. Sebagai suami, ia dianggap tak becus mendidik sang istri. Disinilah ia sekarang. Azkara menatap bangunan di hadapannya dengan takjub. Batinnya bertanya-tanya, apa ia salah rumah? Azkara memindai sekelilingnya dengan bingung. Lalu menatap kembali bangunan di hadapannya itu. Ini memang rumahnya. Tapi... kenapa berbeda dari ingatannya. Baru beberapa bulan tidak pulang, rumah mertuanya berubah menjadi lebih indah. Meski tak dapat dibilang mewah, tapi lumayan megah untuk ukuran rumah di perkampungan seperti ini. Ia tak dapat menghubungi mertuanya itu sejak kembali dan mencari istrinya. Jadi Azkara memutuskan untuk langsung datang ke kampung ini mencari ibu mertuanya itu. Sang ayah mertua sudah lama tiada. Wanita paruh baya itu hidup sebatang kara di rumahnya. Azkara memberanikan diri memencet bel yang ditempel si pagar tinggi berwarna hitam. Pagar itu menutup seluruh halaman dari pihak luar. Tak mudah menemui pemilik rumah. Meski ada bel, tapi dari luar kondisi rumah tampak sepi. Berkali-kali Azkara mencet bel tapi tak ada sedikitpun pergerakan dari dalam. Ia sendiri tak yakin jika rumah ini masih milik mertuanya, mengingat wanita bertampang judes itu hanya seorang petani. Tepatnya buruh tani. "Eh, Azkara, cari Bu Wirya, ya?" Suara seseorang di belakangnya membuat Azkara memutar tubuh untuk melihatnya. "Iya, Bu Meria, apa kabar? Ibu tahu mertua saya pergi kemana, ya, soalnya dari tadi dibel gak ada yang buka pintu?" sahut Azkara sopan, mengenali wanita berusia awal empat puluhan yang berdiri si hadapannya itu. "Lha emang nggak bilang ke Nak Azkara kalo Bu Wirya mau liburan ke Hongkong?" Wanita berkerudung itu menatap tak percaya pemuda di hadapannya. Azkara tampak linglung menggelengkan kepala polos. "Nggak, Bu." Bu Meria ternganga tak percaya. Azkara mengangguk malu. "Ya, Allah, beneran, Nak? Masa istrimu nggak bilang?" Meria keheranan menatap lekat wajah tampan di hadapannya. "Wah, masa, sih, Nak? " Meria menatapnya tak percaya. "Saya denger, Nak, Azkara kerja di luar kota. Apa Shafira belum kasih kabar kalo mereka pergi jalan-jalan ke Hongkong?" Azkara termenung sejenak lalu menggeleng tak berdaya. Merasa konyol dengan semua ini. Disaat ia berjuang mati-matian bekerja di luar kota. menabung untuk umroh mereka berdua. Di saat yang sama harus menyisihkan untuk memberi nafkah istrinya, juga mertuanya. Sementara wanita itu malah berjalan-jalan ke luar negri? Benar-benar konyol! Apa mereka punya otak? Perasaan? Memeras keringatnya sampai habis dan berdarah-darah agar bisa bersenang-senang! Apa mereka yang mengambil tabungannya unutk jalan-jalan. "Oh ya, Nak, cowok yang jemput mereka katanya temennya Nak Azkara, katanya disuruh sama Nak Azkara jemput istri dan mertuamu." Apa?! Sepasang mata teduh itu melebar, menatap wanita paruh baya dihadapannya tak percaya. Cowok? Siapa cowok itu?? "Maaf, Bu, cowok yang mana, ya? seperti apa tampangnya?" Gantian. Giliran si ibu yang terpana. "Maksudnyaa.. Nak Azkara nggak tahu?" Alis Meria saling bertaut erat. Azakara tertegun, lalu menggeleng. Baru menyadari jika ia tak sengaja membuka aibnya sendiri. Ia hanya bisa menarik nafas pasrah. Mau bagaimana lagi. Ia harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan istrinya. Dan membuktikan kebenaran dibalik kepergian istrinya itu. "Sayaaa.... nggak tahu, Bu," sahutnya lirih. Jawabannya itu sontak membuat Meria ternganga. "Ibu nggak tahu siapa cowok itu. Tapi Bu Wirya bilang temennya Nak Azkara. Cumaa... " "Cuma apa, Bu?" Serobot Azkara tak sabar. "Sikapnya nggak kaya ke temen suami. Manja-manja genit gitu... " lanjut Meria setengah termenung"Selamat pagi, Pak Azkara, perkenalkan, saya widyanto, asisten pribadi Pak Jovan," pria muda itu mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah "Eh, iya, saya Azkara," Azkara gugup menyambut ukuran tangannya dengan ragu, merasa bingung memilih menyalaminya atau menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada seperti bersalaman dengan yang buka marham. Ini karena karena ia tak pernah bersalaman akrab dengan orang-orang dari kalangan berada. Azkara merasa minder sendiri. "Silahkan masuk, Pak, Pak Jovan sudah menunggu." Widiyanto membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Azkara masuk ke ruang megah. Azkara tertegun di depan pintu. Begitu pintu terbula lebar, ia dapat melihat sebuah ruangan CEO yang mewah dengan perabotan berkelas. Tata letak perabotan dan desain interiornya menunjukkan jiwa seni yang tinggi. Di belakang meja kantor berukuran besar dengan setumpuk dokumen dan laptop serta tulisan CEO bertengger di atasnya, duduk seorang pemuda seusianya yang hampir tak dikenaliny
Azkara menatap bangunan berlantai 18 di hadapannya takjub. Kekaguman terhadap sosok sang sahabat, Jovan tak dapat disembunyikan dari ekspresinya. Ia tak percaya akan menjadi bagian dari perusahaan yang sedang berkembang ini. PT. MAZ grup, nama yang dipakai Jovan merupakan gabungan nama mereka berdua, Jovan Mahendra dan Azkara, M dari Mahendra dan Az dari Azkara. Azkara mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Kebanyakan mereka pegawai perusahaan ini dilihat dari seragam formal yang dipakai. Ada juga pria wanita dengan setelan jas seperti petinggi perusahaan. Azkara seketika menghentikan langkahnya, mengamati penampilannya sendiri. Meski memakai celana bahan dan kemeja, tapi terlihat bekel dan murahan. Kepercayaan dirinya luntur seketika. Berbagai kekhawatiran menghampirinya. Antara diusir atau diolok-olok. Harapan untuk masuk ke dalam kantor dengan lancar menguap entah kemana. Azkara tertegun. Meski penampilan bukan yang utama, dan bukan pula jaminan seseorang
Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar
Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti
Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga
Azkara segera mengobrak-abrik barang-barang di kamar dengan emosi. Setiap benda atau lembaran kertas yang ditemukannya diteliti dengan seksama tanpa terlewati. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Shafira. Selembar kertas jatuh di melayang ke atas lantai. Azkara memungutnya. Ia melihat tanda tangannya di potongan kertas itu. Tampak aneh. Kertas itu digunting entah dari mana. Hanya ada tanda tangannya disana. Ia mengabaikannya saja karena sepertinya nggak penting juga. Mungkin kertas bekas yang digunting Shafira. Percakapan dengan Satria dan Andika juga gelagat keduanya membuatnya terus memeras otak menebak dan mencari petunjuk sekecil apapun. Ia bukanlah orang yang gampang terpengaruh gosip. Antara percaya dan tidak dengan omongan orang-orang sejak ia pulang baginya tetap butuh pembuktian. Ia tak ingin salah menuduh istrinya sendiri. Jauh di lubuk hatinya ia sangat berharap jika rumor itu tidak benar. Shafira mungkin hanya jalan-jalan dengan temannya. Atau mungkin dengan