LOGINAlarm dari ponsel Sarah berdering nyaring. Sarah mengerang pelan, tubuhnya menggeliat malas di atas kasur. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba nakas, mencari ponselnya. “Hmm…” gumamnya kesal saat akhirnya menemukan layar itu dan mematikan alarm. Pukul enam pagi. Sarah menghela napas, berniat memejamkan mata lagi—namun detik berikutnya, sesuatu menghantam kesadarannya. Testpack. Mata Sarah langsung terbuka sempurna. Ia langsung bangkit setengah duduk, selimutnya tersingkap. Pandangannya menyapu kamar, lalu berhenti di tas kecil di sudut ranjang. “Nggak boleh lupa…” gumamnya pelan, suaranya bergetar antara harap dan cemas. Sarah segera turun dari tempat tidur, langkahnya tergesa meski tubuhnya masih terasa lelah. Ia meraih tas itu, membuka resleting dengan tangan sedikit gemetar. Dua testpack itu ada di sana. Tanpa membuang waktu lagi, Sarah langsung berlari kecil menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Pintu ditutup rapat di belakangnya, bahkan dikun
Sarah masuk ke kamarnya dengan langkah tergesa, napasnya masih sedikit memburu. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung memutar kunci. Lampu kamar dinyalakan. Dengan tangan gemetar, Sarah membuka tas kecilnya. Dua buah testpack dikeluarkan, diletakkan di atas meja rias. Ia menatap benda-benda itu lama, seakan sedang menatap masa depannya sendiri. “Besok pagi aku akan test. Semoga hasilnya positif… supaya aku bisa langsung minta pertanggungjawaban Axel.” Ia duduk di tepi tempat tidur, punggungnya sedikit membungkuk. Tangannya perlahan naik, menempel di perutnya sendiri. “Di dalam perut ini harus ada anak. Aku harus hamil.” “Aku mau Axel nikahin aku. Biar dia nggak terus-terusan tertarik sama Luina… biar posisi aku aman," lanjut Sarah. Sarah mengelus perutnya sekali lagi, kali ini lebih lama, matanya menatap kosong ke arah dinding. Sarah tersentak. Tangannya refleks berhenti mengelus perutnya. Tok—tok—tok. Ketukan itu terdengar, disusul suara Desi dari bali
Ajeng duduk di balik meja kasir, dagunya bertumpu di telapak tangan. Tatapannya kosong menembus etalase kue yang masih terisi rapi. Biasanya, di malam seperti ini, ia hanya bisa melihat unggahan orang-orang di media sosial—tertawa, bersulang, merayakan pergantian tahun bersama pasangan atau keluarga. Tidak ada satu pun pesan masuk di ponselnya. Ajeng menghela napas pelan. “Ya sudahlah… mungkin emang jodoh gue sama oven dan adonan,” gumamnya lirih, berusaha bercanda dengan diri sendiri. Tiba-tiba— Kring… Bel kecil di pintu toko berbunyi. Ajeng langsung melihat ke arah pintu. Senyum lebar langsung merekah saat melihat orang yang melangkah masuk—Farhan. "Toko kamu masih buka? Saya pikir udah tutup," sapa Farhan, melangkah mendekati meja kasir. Ajeng segera mera
Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.
Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,
Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k







