Share

Bab 10

Author: lovelypurple
last update Last Updated: 2025-09-29 21:12:10

"Tahan! Jangan biarkan air menelanmu!"

Suara Ki Jatmika bagai guntur, menembus deru badai yang mengamuk. Sagara terhuyung, tubuhnya dihantam ombak raksasa yang tak henti-hentinya menerjang. Dingin dan asin memenuhi indra, mengaburkan pandangannya. Dia mengira jantungnya akan meledak, bukan karena takut, melainkan karena kelelahan yang mematikan. Malam pekat, hanya sesekali kilat menyambar, memperlihatkan siluet tebing curam di belakangnya dan sosok Ki Jatmika yang berdiri kokoh, seolah tak terpengaruh oleh amukan alam.

"Sudah berapa lama kau di sana?" Ki Jatmika berteriak lagi, suaranya dipaksa menembus gemuruh. "Berdiri! Hadapi dia! Laut itu bukan musuhmu! Dia adalah dirimu!"

Sagara nyaris tak bisa mendengar. Kakinya terasa seperti timah, setiap gerakan adalah perjuangan. Paru-parunya terasa terbakar, memohon oksigen yang tak kunjung datang. Dia merasa tak berdaya.

"Aku... aku tak sanggup lagi, Guru!" Sagara berhasil membalas, suaranya parau dan lemah, tenggelam oleh desiran angin kencang. "Ombaknya terlalu besar! Aku tidak bisa bernapas! Aku akan tenggelam!"

Sebuah gelombang besar datang lagi, menyeretnya hingga beberapa meter dari posisi semula. Dia terseret di atas batu karang, punggungnya terasa nyeri.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Ki Jatmika bertanya, nada suaranya tajam, memancing. "Menyerah? Membiarkan ombak kecil ini mengalahkanmu? Bagaimana kau akan menghadapi Perguruan Banyu Langit jika laut saja membuatmu patah arang?"

"Aku hanya ingin beristirahat," Sagara memohon, mencoba mengangkat kepalanya. Air mata asin bercampur dengan air laut. "Aku kedinginan, Guru... aku lelah sampai ke tulang."

"Istirahat?" desis Ki Jatmika, nadanya menusuk. "Kau pikir Larisa bisa beristirahat sekarang? Kau pikir dia punya kemewahan itu, Sagara? Saat dia terikat, setiap detik adalah siksaan!"

Kata "Larisa" menyentak Sagara. Sebuah sengatan listrik menjalar di nadinya, membuat sekujur tubuhnya menegang. Tiba-tiba, wajah Larisa muncul dalam benaknya, terikat, terancam, matanya memancarkan ketakutan sekaligus harapan yang putus asa. Bayangan itu lebih tajam dari petir yang baru saja menyambar. Dia melihat bagaimana para pengikut Perguruan Banyu Langit menyeretnya pergi, senyum mengejek menghiasi bibir mereka. Kemarahan membakar Sagara, membakar lebih panas dari paru-parunya yang sakit.

"Tidak!" Sagara berteriak, suaranya menemukan kembali kekuatannya, meski terpecah oleh batuk. "Aku tidak akan menyerah! Aku akan menyelamatkannya! Aku harus! Aku telah berjanji!"

"Maka buktikan!" Ki Jatmika membalas, suaranya kini terdengar seperti perintah dari langit. "Berdiri! Hadapi Arus Samudra! Jangan melawan, Sagara! Jangan! Itu bukan tentang kekuatan lenganmu, melainkan kekuatan jiwamu!"

Sagara memaksa dirinya bangkit, kakinya bergetar. Dia menatap ombak di depannya, bukan lagi sebagai musuh, melainkan sebagai raksasa yang harus ia pahami. Dia mencoba teknik yang diajarkan Ki Jatmika, merendahkan kuda-kuda, membiarkan tubuhnya lentur seperti rumput laut. Namun, setiap kali ombak datang, tubuhnya tetap melawan, menegang, dan dia kembali dihempaskan.

"Kenapa aku masih tidak bisa?!" Sagara frustrasi, dia terbatuk-batuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. "Aku mencoba mengikutinya! Aku mencoba membungkuk! Aku mencoba melepaskan diri!"

"Kau masih melawan, Sagara!" Ki Jatmika mengamati dari atas tebing. "Kau masih menganggap laut sebagai lawan! Kapan kau akan belajar? Aku sudah bilang, Arus Samudra bukan tentang kekuatan, melainkan penyerahan diri. Mengalirlah bersamanya, Sagara, seperti air itu sendiri!"

"Tapi... tapi jika aku menyerah, aku akan tenggelam!" Sagara membalas, rasa takut itu kembali, menggigit. "Bagaimana aku bisa menyelamatkan Larisa jika aku mati di sini?!"

"Kau tidak akan mati," Ki Jatmika berkata, suaranya lebih tenang sekarang, namun tetap penuh otoritas. "Kau akan hidup. Kau akan menemukan kekuatan sejati. Kau harus berhenti berjuang. Biarkan laut melewati dirimu. Jadilah bagian dari dirinya. Bukan dia bagian darimu. Pikirkan air dalam dirimu, Sagara. Pikirkan darah yang mengalir, cairan di setiap sel. Kau adalah bagian dari laut. Laut adalah bagian dari dirimu. Rasakan denyut nadinya!"

Sagara menatap ombak yang bergolak. Gelombang-gelombang itu tampak tak ada habisnya, tak punya belas kasihan. Namun, kata-kata Ki Jatmika bergema di kepalanya: *Berhenti berjuang. Biarkan laut melewati dirimu. Jadilah bagian dari dirinya.*

Dia menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam, merasakan dinginnya air yang membalut tubuhnya. Dia tidak mencoba menahan diri, tidak mencoba mendorong ombak. Sebaliknya, dia mengendurkan setiap otot, membiarkan dirinya terangkat, terhempas, lalu kembali ditarik. Dia membiarkan dirinya bergerak bersama arus, bukan melawannya. Seperti dedaunan yang menari mengikuti hembusan angin, bukan menentangnya. Dia bernapas dengan laut.

Sebuah gelombang besar datang, lebih besar dari sebelumnya. Sagara tidak panik. Dia membiarkan tubuhnya rileks sepenuhnya. Ombak itu mengangkatnya tinggi, lalu membawanya turun, memutarnya. Dia merasakan kekuatan luar biasa air, namun kali ini, air tidak lagi terasa seperti ancaman. Itu terasa seperti pelukan, memegang dirinya dengan lembut di tengah amukan badai. Dia merasa seperti ikan, lahir kembali dalam elemen yang seharusnya menjadi miliknya.

Ketika gelombang itu surut, Sagara mendapati dirinya berdiri tegak di atas batu karang, kakinya menapak kuat, seolah tak ada apa-apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya tidak lagi menegang. Dia merasakan keseimbangan sempurna, sebuah keselarasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Angin dan ombak masih menderu, namun dalam dirinya, ada ketenangan.

Dia membuka matanya. Ki Jatmika menatapnya dengan senyum tipis, senyum yang merekah di wajah keriputnya, diterangi oleh kilat yang sesekali.

"Kau berhasil," kata Ki Jatmika, suaranya kini terdengar hangat, penuh kebanggaan. "Sekarang kau benar-benar berjalan bersama laut. Kau telah menemukan Arus Samudra. Kau telah menyatu."

Sagara merasakan kehangatan yang menjalar di hatinya. Kelelahan masih ada, tapi kini ada rasa kekuatan baru, pemahaman yang mendalam. Dia menatap ke cakrawala yang gelap, merasa seperti dia bisa melihat melampaui badai, melampaui malam.

"Larisa..." bisiknya, namun kali ini dengan tekad yang membara. "Aku bisa merasakannya, Guru. Aku bisa menyelamatkannya."

"Ya," Ki Jatmika mengangguk, seolah membaca pikirannya. "Waktumu semakin sempit, Sagara. Setelah ini, tidak ada lagi istirahat. Setiap detik sangat berharga. Perguruan Banyu Langit tidak akan menunggu."

Sagara mengangguk, tatapannya tajam. "Aku siap, Guru. Aku akan pergi sekarang."

Tiba-tiba, Ki Jatmika mendongak. Pandangannya menyapu langit yang bergejolak. Sagara mengikuti arah pandangnya. Dari kejauhan, menembus awan badai, terlihat siluet titik-titik hitam yang terbang cepat. Bukan satu atau dua, melainkan kawanan besar, berputar-putar di langit. Mereka datang dari arah timur, arah Perguruan Banyu Langit.

"Burung-burung gagak," bisik Ki Jatmika, suaranya kini dipenuhi kegelisahan. "Mereka tidak pernah terbang sejauh itu, apalagi di tengah badai. Bukan pertanda baik. Mereka adalah pertanda kematian."

Sagara merasakan firasat buruk merayapi punggungnya. "Apa artinya itu, Guru? Apakah mereka mencari kita? Apakah mereka tahu kita di sini?"

"Tidak," jawab Ki Jatmika, matanya menyipit, menatap kawanan burung yang semakin mendekat, menambah suasana mencekam. "Itu pertanda. Tanda bahwa kegelapan di Perguruan Banyu Langit semakin kuat. Kekuatan jahat mereka tumbuh, menyebar, bahkan ke samudra lepas. Mereka sedang bergerak. Mereka memanggil sesuatu."

"Kalau begitu, kita harus segera bergerak juga," kata Sagara, tanpa keraguan. Kekuatan baru yang ia dapatkan memompanya dengan energi. "Kita tidak boleh membuang waktu. Aku tidak bisa membiarkan mereka lebih jauh."

Ki Jatmika menoleh padanya, sorot matanya serius. "Ingat, Sagara. Kau telah menaklukkan Arus Samudra, kau telah menyatu dengan kekuatan lautan. Tapi ini baru permulaan. Perjalananmu akan jauh lebih berbahaya dari badai apapun yang pernah kau hadapi. Kau harus tetap waspada, setiap saat. Jangan sampai lengah."

Sagara menatap kawanan burung hitam yang kini tampak seperti bayangan kematian di cakrawala. Setiap kepakan sayap mereka membawa pesan bahaya yang tak terucapkan. Dia tahu, ini bukan lagi tentang melarikan diri atau bertahan. Ini adalah pertarungan.

Dia membiarkan ombak membasuh kakinya sekali lagi, merasakan sentuhan akrab air. Pikirannya dipenuhi gambaran Larisa, senyumnya, tawanya, dan kini, ketakutannya. Dia tidak akan membiarkan mereka menang.

"Tunggulah, Larisa," gumam Sagara, suaranya tegas, penuh janji. Angin badai menerpa wajahnya, namun tekadnya tak tergoyahkan. "Aku segera datang. Tidak akan ada lagi yang menghalangiku. Tidak akan ada yang bisa menghentikanku

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sagara    Bab 32

    “Mati kau, pengkhianat!” jerit Danu, menerjang maju dengan pedang teracung. Serangannya membabi buta, didorong oleh teror.Sagara tidak menghindar. Ia tetap berdiri di tempatnya. Saat pedang Danu hanya berjarak satu jengkal dari dadanya, ia menggerakkan tangan kirinya. Ia tidak menangkis bilah pedang itu. Ia meraih pergelangan tangan Danu.Lagi-lagi, bukan dengan cengkeraman yang mematahkan tulang, melainkan dengan sentuhan yang seolah menyerap.“Ikat,” bisiknya sekali lagi.Danu merasakan hal yang sama seperti yang Bima rasakan. Energi dingin merambat dari pergelangan tangannya, melumpuhkan lengannya, lalu bahunya, hingga seluruh sisi tubuhnya terasa kaku seperti es. Pedangnya jatuh ke tanah dengan bunyi denting yang nyaring. Momentum serangannya telah dicuri, diserap, dan dinetralkan dalam sekejap mata.“Bagaimana… bagaimana mungkin?” racaunya, separuh tubuhnya kini lumpuh.Sagara menatap mata Danu yang dipenuhi teror. “Aku tidak ingin melukaimu.”“Jangan berbohong!” pekik Danu, men

  • Bara Dendam Sagara    Bab 31

    Dua pasang mata elang api yang terukir di pelindung dada mereka berkilat-kilat disiram cahaya api unggun. Mereka adalah anjing penjaga Rangga, tembok pertama antara Sagara dan kebebasannya, antara dirinya dan jalan menuju Larisa.Sagara menahan napas, menekan tubuhnya lebih dalam ke rumpun bambu yang dingin dan basah. Embun pagi menetes dari daun-daun di atasnya, terasa seperti tusukan es di tengkuknya, namun ia tidak bergeming. Dari celah sempit di antara batang-batang bambu yang kokoh, ia mempelajari setiap gerakan mereka. Yang satu, bertubuh lebih kurus dan tampak gelisah, terus-menerus melirik ke dalam kegelapan hutan. Yang lain, lebih kekar dan percaya diri, menyandarkan tombaknya ke sebatang pohon dan menghangatkan tangan di atas api.“Hentikan kegelisahanmu itu, Danu,” kata si penjaga kekar, suaranya serak dan penuh kejengkelan. “Kau membuatku ikut tegang.”Penjaga yang dipanggil Danu itu tersentak, bahunya menegang. “Aku tidak bisa, Bima. Tempat ini memberikan firasat buruk ke

  • Bara Dendam Sagara    Bab 30

    "Kau bukan lagi Sagara si Penguasa Jurus Harimau Merah. Kau adalah pewaris Cakra Laut Selatan," tutur Ki Jatmika menasehati Sagara.Dengan diberikannya liontin medali Cakra Selatan, hal itu berarti menandakan bahwa sudah saatnya bagi Sagara untuk berkelana dan menuntaskan urusannya yang belum tuntas."Sagara, kini aku izinkan kau untuk terjun ke dunia persilatan sesungguhnya. Namun, pembelajaranmu belum tuntas sepenuhnya," lontar Ki Jatmika."Liontin yang aku berikan padamu itu bukan sekadar liontin biasa. Ia memiliki roh. Roh yang membimbing pemiliknya untuk menguasai Jurus Cakra Laut Selatan secara sempurna," paparnya lebih lanjut."Roh... guru?"Ya, sekarang pegang liontin itu,” perintah Ki Jatmika."Baik, Ki. Sudah.""Dengarkan baik-baik. Sekarang kau usap permukaannya sebanyak tiga kali, lalu ucapkan mantranya."“Mantra apa, Guru?” tanya Sagara, jemarinya yang ragu melayang di atas permukaan dingin liontin perunggu itu.Ki Jatmika tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipi

  • Bara Dendam Sagara    Bab 29

    ...air yang meresap ke dalam bumi yang haus.Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ki Jatmika menatap Sagara dengan kebanggaan yang nyaris tak terlihat.“Kau berhasil,” bisik Ki Jatmika.Sagara membuka matanya, terkejut. Ia menarik pusarannya, membiarkan tangan Ki Jatmika bebas. Pemuda itu tidak merasa lelah, tidak merasa nyeri, hanya ketenangan yang luar biasa.“Aku… aku tidak tahu bagaimana,” aku Sagara, napasnya masih teratur, “aku hanya membiarkannya mengalir.”“Justru itu kuncinya,” balas Ki Jatmika, mundur selangkah. “Kau berhenti melawan diri sendiri. Kau berhenti melawan bayangan Rangga. Kau menerima arus itu sebagai bagian darimu.”Sagara mengangguk. Keseimbangan yang ia rasakan berbeda dari latihan fisik mana pun. Ini adalah keseimbangan jiwa.“Tapi ini baru permulaan, Nak,” lanjut Ki Jatmika, matanya kembali tajam. “Mengekang amarah itu mudah dalam kondisi santai. Sekarang, aku ingin kau menghadapi arus yang tidak bisa kau kendalikan. Aku ingin kau menggunakan semua yang k

  • Bara Dendam Sagara    Bab 28

    Sosok Ki Jatmika hilang dari pandangan. Sagara bahkan belum sempat berkedip ketika ia merasakan hawa panas di belakang tengkuknya. Instingnya berteriak bahaya.WUSH!Telapak tangan Ki Jatmika meluncur dari belakang, membidik titik vital di antara tulang belikat Sagara. Serangan itu cepat, presisi, dan penuh tenaga dalaman.Sagara menarik napas cepat. Kedua tangannya bergerak dalam gerakan melingkar ganda. Yang mana satu tangan menarik serangan Ki Jatmika ke samping, tangan lainnya membentuk pusaran untuk menetralisir energinya.WUSH!Telapak Ki Jatmika meleset beberapa senti dari dada Sagara. Energinya diserap oleh pusaran yang dibuat Sagara, lalu menghilang seperti ombak yang surut.Ki Jatmika tersenyum tipis. "Cukup bagus, Nak. Tapi itu belum cukup."Serangan berikutnya datang bertubi-tubi. Pukulan dari atas. Tendangan dari samping. Sapuan dari bawah.Ki Jatmika bergerak seperti badai menyerang tanpa jeda, tanpa ampun. Setiap gerakan penuh kekuatan, tapi juga penuh kontrol.Sagara m

  • Bara Dendam Sagara    Bab 27

    Ki Jatmika melangkahkan kakinya. Ia mendekat ke arah sang murid dan menepuk pundaknya."Kau harus ingat Sagara, kalau semua yang kau lihat dan rasakan mempunyai arus. Dan emosi adalah salah satu arus terkuat yang dipunyai oleh manusia."Pria itu berkata lebih lanjut. "Ini sama halnya seperti saat Rangga melontarkan tuduhan kepadamu. Pada sejatinya, ia tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata tajam. Akan tetapi ia juga melepaskan amarah, kesombongan, dan rasa takutnya atas kehilangan kekuasaan""Tapi pada intinya, semua itu tak lain adalah tentang momentum, Nak. Momentum yang bisa kamu pilih untuk kau rangkul atau kau biarkan menghancurkanmu."Sagara mengerutkan kening, mencoba mencerna semua perkataan gurunya.Secara filosofis ia mengerti, tetapi secara praktis ia belum terlalu paham."Tapi guru, Rangga adalah pendekar yang hebat. Kekuatan emosinya juga pasti sekuat badai.""Maka dari itu untuk mengalahkannya, kau harus menjadi alirannya. Jangan menjadi batu yang menghentikan badai,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status