Share

Bab 6

Penulis: lovelypurple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 18:38:33

Rangga meletakkan cawan peraknya di meja, bunyinya nyaris tak terdengar. Matanya yang sebelumnya menatap langit-langit kini fokus pada pria berjubah gelap di hadapannya.

"Dan sekarang," lanjut Rangga, suaranya kembali ke nada berbisik yang mengancam, "dengan duri itu tercabut, waktunya untuk menancapkan akarku dalam-dalam di perguruan. Guru Besar memang kuat, tapi pandangannya terlalu sempit. Dunia persilatan memerlukan pemimpin yang berani mengambil alih, bukan hanya menunggu takdir."

Pria berjubah gelap itu mengangguk, "Hamba mengerti, Rangga. Apakah Anda sudah memiliki rencana untuk mengkonsolidasikan kekuatan?"

Rangga tersenyum tipis, merapikan lipatan jubahnya. "Tentu saja. Semua sudah kusiapkan. Malam ini, aku akan mengadakan pertemuan darurat dengan para murid senior. Kita akan membahas 'krisis' yang menimpa perguruan, kematian Guru Besar, dan pengkhianatan'Sagara."

Ia sengaja menekan kata-kata itu, seolah meludahkan racun. "Narasi yang kuat lebih berbahaya daripada jurus terkuat sekalipun."

"Lalu, apa yang harus hamba persiapkan?" tanya pria itu.

"Sampaikan pada semua murid senior bahwa keamanan perguruan kita terancam," perintah Rangga, menyeringai. "Guncangkan rasa takut mereka. Biarkan mereka merasa tidak aman. Lalu, aku akan datang sebagai penyelamat. Aku akan mengusulkan pembentukan 'Barisan Penjaga Kehormatan Banyu Langit'—sebuah pasukan khusus yang bertugas menjaga keselamatan dan nama baik perguruan."

"Pasukan khusus?" pria berjubah gelap itu tampak ragu. "Bukankah itu akan menimbulkan kecurigaan, Rangga? Kita sudah memiliki pasukan penjaga."

"Bukan sembarang pasukan penjaga, Prawira," Rangga membetulkan, suaranya menajam. "Ini adalah pasukan yang berisikan murid-murid terpilih, yang setia padaku, bukan pada memori Guru Besar yang sudah tiada. Aku akan menawarkan mereka kekuasaan dan posisi. Mereka akan menjadi mata dan telingaku di setiap sudut perguruan. Dan yang terpenting, mereka akan menjadi tangan kananku untuk menyingkirkan siapa saja yang berani meragukanku."

Pria berjubah gelap yang bernama Prawira itu pun mengangguk, memahami. "Baik, Rangga. Hamba akan menyebarkan kabar tentang pertemuan darurat dan menekankan pentingnya kehadiran setiap murid senior."

"Bagus," Rangga mengangguk puas. "Pastikan juga untuk menyebarkan desas-desus tentang ancaman dari luar. Katakan ada perguruan gelap yang mengincar Banyu Langit. Biarkan rasa takut itu membesar, agar mereka semua rela berlindung di bawah sayapku."

"Rencana Anda sempurna, Rangga," Prawira memuji, membungkuk lebih dalam. "Tak akan ada yang bisa menolak."

"Memang tak akan," Rangga menyahut dingin. "Dan pastikan, Prawira, tidak ada seorang pun, bahkan Larisa sekalipun, yang curiga dengan pergerakan kita. Gadis itu... ia cerdas. Jangan sampai kecerdasannya menjadi bumerang bagi kita."

Prawira mengangguk lagi. Ia keluar dari pendopo, meninggalkan Rangga dalam kesunyian yang penuh rencana busuk. Rangga menutup mata, membayangkan dirinya duduk di singgasana Guru Besar, mengendalikan seluruh perguruan, bahkan mungkin seluruh Pulau Selatan. Sagara sudah tamat. Kini gilirannya.

Di sisi lain Pulau Selatan, nun jauh di pegunungan yang diselimuti kabut, Sagara masih bergelut dengan iblis dalam dirinya. Setelah percakapan dengan Ki Jatmika tadi malam, tidurnya memang tidak lagi dihiasi mimpi tenggelam, tetapi kini ia dihantui oleh bayangan Rangga yang licik dan Larisa yang menangis.

Setiap kali ia mencoba bermeditasi, wajah mereka muncul, memicu gejolak amarah yang sulit ia padamkan.

Pagi itu, ia duduk bersila di tepi jurang, di mana angin berhembus kencang, mencoba menenangkan diri. Namun, ketenangan itu rapuh. Ki Jatmika datang mendekat, membawa secawan teh herbal.

“Bagaimana perasaanmu pagi ini, Nak?” tanya Ki Jatmika, suaranya tenang namun ada nada menguji.

Sagara membuka mata, menatap gurunya dengan pandangan lelah. “Masih sama, Guru. Amarah itu… ia terus menghantuiku. Setiap kali aku mencoba menguasainya, ia justru terasa semakin kuat.”

Ki Jatmika menyerahkan cawan teh itu. “Minumlah. Ini akan membantu menenangkan pikiranmu.”

Sagara menerima cawan itu, menyesapnya perlahan. Hangatnya teh terasa menenangkan tenggorokan, namun dingin di hati tak kunjung sirna.

“Dendam itu seperti ombak. Semakin kau mencoba menahannya, semakin besar ia akan menghantammu,” kata Ki Jatmika. “Yang harus kau lakukan bukan menahan, melainkan menyalurkannya. Seperti laut yang menyalurkan kekuatannya pada bebatuan, mengikis perlahan tanpa amarah.”

“Bagaimana caranya, Guru? Bagaimana aku bisa menyalurkan sesuatu yang begitu destruktif?” Sagara bertanya, suaranya penuh frustrasi.

Ki Jatmika duduk di sampingnya, menatap cakrawala. “Kau menyalurkannya dengan tujuan. Kau tidak lagi bertarung untuk membalas, tetapi untuk mencari kebenaran. Kau tidak lagi berenang dalam lautan dendam, tetapi menyelami dasar lautan untuk menemukan apa yang hilang.”

“Kebenaran?” Sagara mengulang. “Apa yang sebenarnya hilang, Guru?”

“Kepercayaan, Nak. Kehormatan. Dan tentu saja, kedamaian di hatimu,” jawab Ki Jatmika. “Sampai kau menemukan semua itu, dendam akan terus membakar.”

Sagara menatap tangannya, mengepalkannya. “Aku akan mencoba, Guru. Aku akan mencari kebenaran.”

Ki Jatmika tersenyum tipis. “Itulah yang harus kau lakukan, Sagara. Jangan biarkan bayang-bayang masa lalu menggelapkan jalanmu.”

***

Kembali ke Perguruan Banyu Langit, di jantung Pulau Selatan, suasana terasa berbeda. Bisikan ketakutan dan kekhawatiran menyebar seperti wabah. Para murid senior tampak gelisah, berbicara dalam kelompok-kelompok kecil, mata mereka dipenuhi kecurigaan.

Malam harinya, di aula utama, puluhan murid senior berkumpul. Lampu minyak yang seharusnya menerangi, justru menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, menambah kesan angker. Rangga berdiri di podium, tatapannya menyapu setiap wajah.

“Saudara-saudaraku sekalian!” suaranya bergema, penuh wibawa namun terselip nada keprihatinan yang dibuat-buat. “Kita berkumpul malam ini karena perguruan kita berada di ambang krisis. Kematian Guru Besar adalah pukulan telak, dan pengkhianatan Sagara telah mencoreng nama baik Banyu Langit.”

Beberapa murid mengangguk, sebagian lainnya terlihat ragu. Di barisan paling depan, Larisa duduk diam, wajahnya muram. Sejak kematian Guru Besar, ia merasa ada yang tidak beres. Kata-kata Rangga tentang Sagara terasa seperti pisau yang ditusukkan ke jantungnya. Ia mengenal Sagara lebih dari siapa pun, dan ia menolak percaya bahwa tunangannya mampu melakukan kekejaman seperti itu.

“Kita tidak bisa hanya berdiam diri!” lanjut Rangga, suaranya meninggi. “Ada kabar beredar, bisikan-bisikan gelap dari luar, bahwa perguruan kita kini lemah, rentan. Ada pihak-pihak yang mungkin mengincar kita, memanfaatkan kekacauan ini untuk keuntungan mereka!”

Bisikan ketakutan menyebar di antara murid-murid. Ini adalah taktik yang Rangga gunakan, menanamkan benih ketidakpastian.

“Maka dari itu,” Rangga melanjutkan, dengan nada heroik, “aku mengusulkan, demi menjaga kehormatan dan keselamatan kita semua, untuk membentuk sebuah pasukan khusus. ‘Barisan Penjaga Kehormatan Banyu Langit’! Pasukan yang berisikan pendekar-pendekar pilihan, yang akan menjaga perguruan dari segala ancaman, baik dari dalam maupun dari luar!”

Seketika, aula dipenuhi bisikan. Beberapa murid tampak antusias, beberapa lainnya saling pandang. Larisa, di sisi lain, merasakan firasat buruk yang menusuk. Ini terlalu cepat, terlalu terorganisir. Rangga terlalu pandai berbicara, terlalu meyakinkan. Ini bukan sekadar keprihatinan, ini adalah upaya perebutan kekuasaan terselubung.

“Siapa yang bersedia bergabung dengan Barisan Penjaga ini?” Rangga bertanya, matanya menyala penuh ambisi.

Banyak tangan terangkat, terutama dari murid-murid yang dikenal ambisius dan mudah terpengaruh. Rangga tersenyum puas. Ia telah berhasil menanamkan rasa takut dan menawarkan ilusi perlindungan.

Setelah pertemuan usai, Larisa bergegas pergi. Ia tidak tahan lagi mendengar semua kebohongan itu.

Malam-malam berikutnya, ia tidak bisa tidur. Ia mulai diam-diam mengamati Rangga. Ia melihat bagaimana Rangga mengumpulkan murid-murid yang baru bergabung dengan pasukannya, memberikan mereka instruksi rahasia, dan menggelar latihan-latihan tertutup di bagian terpencil perguruan.

Setiap gerak-gerik Rangga terasa janggal. Aura kepedulian yang ia tunjukkan di depan umum lenyap saat ia bersama anak buahnya. Matanya memancarkan perhitungan dingin, dan seringai licik muncul di bibirnya. Larisa mengumpulkan semua potongan teka-teki itu dalam benaknya.

Suatu malam, Larisa melihat Rangga menyelinap keluar dari perguruan, menuju ke arah hutan terlarang yang jarang dilewati orang. Hatinya berdebar. Ia tahu ini berbahaya, tapi rasa ingin tahu dan dorongan untuk menemukan kebenaran tentang Sagara jauh lebih besar dari rasa takutnya. Ia mengikuti Rangga dari kejauhan, bergerak senyap di antara pepohonan.

Langkah kaki Rangga membawanya semakin dalam ke hutan, menuju sebuah gua tersembunyi yang ditutupi oleh semak belukar lebat. Larisa bersembunyi di balik sebuah pohon besar, jantungnya berpacu kencang. Ia melihat Rangga masuk ke dalam gua. Tak lama kemudian, dari dalam gua terdengar suara percakapan.

Larisa mengendap-endap mendekat, berusaha menangkap setiap kata. Ia bersembunyi di balik batu besar di dekat mulut gua, mengintip. Di dalam gua, Rangga sedang berbicara dengan seorang sosok berjubah hitam pekat. Wajah sosok itu tertutup tudung, sehingga Larisa tidak bisa melihat identitasnya. Namun, postur tubuhnya tinggi dan kekar, memancarkan aura berbahaya.

“Semua berjalan sesuai rencana,” suara Rangga terdengar, samar namun jelas. “Banyu Langit kini ada di genggamanku. Para murid sudah termakan oleh tipuan ketakutan, dan pasukan rahasia ‘Penjaga Kehormatan’ sudah kubentuk. Mereka akan menjadi alatku untuk melumpuhkan siapa pun yang menentang.”

Sosok berjubah hitam itu mengangguk pelan. Suaranya rendah dan serak, seperti gesekan batu. “Bagus. Kekuasaan itu rapuh, Rangga. Kau harus memperkuatnya. Jangan sampai ada celah. Dan pastikan, bocah itu tidak akan pernah kembali.”

Larisa menahan napas. Bocah itu? Apakah yang dimaksud adalah Sagara? Jantungnya bergemuruh.

“Tentu saja,” Rangga menyahut dengan sombong. “Ia sudah kuanggap mati. Bahkan jika ia hidup, ia tidak akan berani menunjukkan wajahnya lagi. Ia sudah hancur, bahkan ia sendiri percaya bahwa dia adalah—”

Tiba-tiba, sebuah ranting kecil di bawah kaki Larisa patah, menimbulkan suara 'krek' yang memecah kesunyian malam.

Rangga dan sosok berjubah hitam itu seketika menoleh ke arah sumber suara.

“Siapa di sana?” teriak Rangga, matanya memancarkan kemarahan, tangannya cepat menghunus pedangnya yang bersinar di kegelapan gua. Sosok berjubah hitam itu juga ikut bergerak, bayangan gelapnya menyambar dengan cepat ke arah pintu gua.

Larisa membeku di tempatnya, rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Ia tahu ia telah ketahuan. Ketakutan mencekiknya. Ia harus lari, sekarang juga! Namun sebelum ia sempat bergerak, bayangan gelap itu sudah menyelinap ke luar gua, dan dengan gerakan secepat kilat, sosok itu sudah berada tepat di hadapannya.

Sebuah tangan dingin dan kasar mencengkeram lengannya erat, menariknya paksa dari balik persembunyian.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sagara    Bab 10

    "Tahan! Jangan biarkan air menelanmu!"Suara Ki Jatmika bagai guntur, menembus deru badai yang mengamuk. Sagara terhuyung, tubuhnya dihantam ombak raksasa yang tak henti-hentinya menerjang. Dingin dan asin memenuhi indra, mengaburkan pandangannya. Dia mengira jantungnya akan meledak, bukan karena takut, melainkan karena kelelahan yang mematikan. Malam pekat, hanya sesekali kilat menyambar, memperlihatkan siluet tebing curam di belakangnya dan sosok Ki Jatmika yang berdiri kokoh, seolah tak terpengaruh oleh amukan alam."Sudah berapa lama kau di sana?" Ki Jatmika berteriak lagi, suaranya dipaksa menembus gemuruh. "Berdiri! Hadapi dia! Laut itu bukan musuhmu! Dia adalah dirimu!"Sagara nyaris tak bisa mendengar. Kakinya terasa seperti timah, setiap gerakan adalah perjuangan. Paru-parunya terasa terbakar, memohon oksigen yang tak kunjung datang. Dia merasa tak berdaya."Aku... aku tak sanggup lagi, Guru!" Sagara berhasil membalas, suaranya parau dan lemah, tenggelam oleh desiran angin ke

  • Bara Dendam Sagara    Bab 9

    “...Jika kau melenceng dari prinsip itu, maka kekuatan ini akan berbalik melahapmu, dan bahkan jiwamu akan akan ikut tenggelam dalam arus yang kau ciptakan.”Sagara menelan ludah, peringatan Ki Jatmika menusuk tepat di jantungnya. Ia tak tahu bagaimana jiwanya bisa dimakan oleh kekuatannya sendiri, namun ia mengerti beban di balik kalimat yang terpenggal itu. Sebuah janji agung, namun juga bahaya yang teramat besar. Ia mengangguk perlahan, mata elangnya menatap lurus sang guru.Di pulau yang sama, Perguruan Banyu Langit tenggelam dalam sunyi. Namun malam itu, keheningan terasa berbeda, seolah angin membawa kabar yang belum terucapkan. Lampion-lampion yang tergantung di halaman memancarkan cahaya redup, seolah enggan mengusir kegelapan sepenuhnya. Larisa berjalan sendirian, langkah kakinya memecah kesunyian lantai batu menuju ruang arsip tua. Ada desakan aneh dalam hatinya, firasat bahwa jawaban atas keanehan yang mereka hadapi tersembunyi di antara lembaran-lembaran usang.Ia menemuk

  • Bara Dendam Sagara    Bab 8

    Dalam pandang Sagara, tampak bendera-bendera hitam bergambar naga berkepakkan gigi tajam berkibar menggantikan panji-panji biru-putih Banyu Langit. Aula besar yang dulu dipenuhi sapaan dan tawa kini diselimuti keheningan yang kaku; aroma dupa dan kebanggaan lama digantikan oleh bau logam dingin dan bisik-bisik takut. Di atas singgasana yang diukir dari tulang, Rangga duduk tegak — jubah keemasannya berkilau di bawah cahaya lentera, wajahnya memancarkan kesombongan yang dingin. Matanya yang tajam menatap lurus ke barisan murid-murid yang berlutut, menyapu mereka satu per satu seperti penasaran yang hendak menimbang nilai nyawa. Sagara berdiri di barisan, tubuhnya kaku. Gelombang dingin merayap di punggungnya sampai ke tulang leher. Gambaran itu bukan sekadar khayalan; ia merasakan setiap detilnya seperti kejadian yang mungkin terjadi — masa depan yang mengerikan. Perguruan yang dicintainya terjajah, diganti simbol-simbol baru, nama Banyu Langit dirobek dan dilukis ulang oleh ambisi Ra

  • Bara Dendam Sagara    Bab 7

    Jauh di sisi lain Pulau Selatan tepatnya di sebuah gunung terpencil tampak Sagara duduk bersila di atas batu besar di tepi jurang, di mana kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang menakjubkan. Suara gemuruh ombak yang jauh di bawah sana, meski samar, selalu terasa memanggil.Pagi itu, udara terasa dingin, namun di dalam diri Sagara, ada semacam bara yang perlahan mulai menyala. Setelah percakapannya yang intens dengan Ki Jatmika malam sebelumnya, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski amarah dan kesedihan masih bersemayam.Pertarungan melawan diri sendiri, itu yang dikatakan gurunya. Pertarungan yang jauh lebih sulit daripada menghadapi seratus pendekar sekalipun.Ki Jatmika muncul dari balik rumah sederhana mereka, membawa dua cawan teh herbal yang mengepul. Ia meletakkan satu cawan di samping Sagara, lalu duduk di sebelahnya, menatap lautan luas di kejauhan.“Bagaima

  • Bara Dendam Sagara    Bab 6

    Rangga meletakkan cawan peraknya di meja, bunyinya nyaris tak terdengar. Matanya yang sebelumnya menatap langit-langit kini fokus pada pria berjubah gelap di hadapannya."Dan sekarang," lanjut Rangga, suaranya kembali ke nada berbisik yang mengancam, "dengan duri itu tercabut, waktunya untuk menancapkan akarku dalam-dalam di perguruan. Guru Besar memang kuat, tapi pandangannya terlalu sempit. Dunia persilatan memerlukan pemimpin yang berani mengambil alih, bukan hanya menunggu takdir."Pria berjubah gelap itu mengangguk, "Hamba mengerti, Rangga. Apakah Anda sudah memiliki rencana untuk mengkonsolidasikan kekuatan?"Rangga tersenyum tipis, merapikan lipatan jubahnya. "Tentu saja. Semua sudah kusiapkan. Malam ini, aku akan mengadakan pertemuan darurat dengan para murid senior. Kita akan membahas 'krisis' yang menimpa perguruan, kematian Guru Besar, dan pengkhianatan'Sagara."Ia sengaja menekan kata-kata itu, seolah meludahkan racun. "Narasi yang kuat lebih berbahaya daripada jurus terku

  • Bara Dendam Sagara    Bab 5

    Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status