Share

Bab 7

Penulis: lovelypurple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-27 17:23:50

Jauh di sisi lain Pulau Selatan tepatnya di sebuah gunung terpencil tampak Sagara duduk bersila di atas batu besar di tepi jurang, di mana kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.

Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang menakjubkan. Suara gemuruh ombak yang jauh di bawah sana, meski samar, selalu terasa memanggil.

Pagi itu, udara terasa dingin, namun di dalam diri Sagara, ada semacam bara yang perlahan mulai menyala. Setelah percakapannya yang intens dengan Ki Jatmika malam sebelumnya, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski amarah dan kesedihan masih bersemayam.

Pertarungan melawan diri sendiri, itu yang dikatakan gurunya. Pertarungan yang jauh lebih sulit daripada menghadapi seratus pendekar sekalipun.

Ki Jatmika muncul dari balik rumah sederhana mereka, membawa dua cawan teh herbal yang mengepul. Ia meletakkan satu cawan di samping Sagara, lalu duduk di sebelahnya, menatap lautan luas di kejauhan.

“Bagaimana tidurmu semalam, Nak?” tanya Ki Jatmika, suaranya tenang.

Sagara mengambil cawan teh, menghirup aromanya yang menenangkan. “Lebih baik, Guru. Mimpi buruk itu masih ada, tapi tidak lagi mencengkeram. Rasanya seperti peringatan, bukan lagi hukuman.”

Ki Jatmika mengangguk perlahan. “Itu pertanda baik. Pikiranmu mulai menerima, bukan lagi menolak. Dendam, ia seperti racun. Jika kau minum perlahan, ia akan membunuhmu. Tapi jika kau tahu dosisnya, ia bisa jadi penawar.”

Sagara mengerutkan kening. “Penawar? Bagaimana bisa, Guru?”

“Dendam yang terkendali adalah pendorong." Ki Jatmika menjelaskan, menunjuk ke arah lautan.

“Lihatlah ombak itu. Ia menghantam karang berkali-kali, mengikisnya, membentuknya. Tapi ia tidak melakukannya dengan amarah. Ia melakukannya dengan ketekunan, dengan kekuatan yang tak pernah melawan dirinya sendiri. Ia menyalurkan energinya, bukan membiarkannya meledak tak terkendali.”

“Aku ingin menyalurkannya, Guru. Aku ingin menggunakan kekuatan ini untuk mencari kebenaran, seperti yang Guru katakan. Tapi amarah itu terasa begitu nyata, begitu kuat. Setiap kali aku mencoba menenangkan diri, wajah Rangga muncul dengan tawa liciknya. Aku juga melihat tatapan mata Larisa yang penuh air mata dan rasanya aku ingin meledak.”

Suara Sagara bergetar, tangannya mengepal erat di sekeliling cawan. Uap teh mengepul, seolah mencerminkan gejolak di dalam hatinya.

Ki Jatmika menoleh, menatap mata Sagara yang memancarkan penderitaan. “Itu wajar, Nak. Kau seorang manusia, bukan batu. Emosi itu adalah bagian dari dirimu. Kau tidak bisa menghapusnya, tapi kau bisa mengendalikannya. Jurus Cakra Laut Selatan adalah cerminan dari hal itu.”

“Cerminan?”

“Ya. Jurus ini tidak hanya mengajarkanmu tentang kekuatan fisik, tapi juga tentang keseimbangan batin. Kekuatan tanpa hati nurani adalah kehancuran. Hati nurani tanpa kekuatan adalah kelemahan. Keduanya harus menyatu, seperti dua sisi koin yang tak terpisahkan,” papar Ki Jatmika.

Ia bangkit, berjalan ke tepi jurang, Sagara mengikutinya. Angin berembus lebih kencang di sini, menerbangkan rambut hitam Sagara yang terikat.

“Dulu, saat kau melatih pernapasan samudra." Ki Jatmika melanjutkan, "kau menyalurkan energi ke seluruh tubuh. Sekarang, kau harus belajar menyalurkan emosimu ke dalam energi itu. Biarkan amarah itu menjadi bahan bakar, bukan api yang melahap. Biarkan ia menjadi arus yang mendorongmu maju, bukan badai yang menenggelamkanmu.”

Sagara memejamkan mata, mencoba memahami. “Bagaimana aku melakukannya, Guru?”

“Duduklah bersila, seperti biasa,” perintah Ki Jatmika, “kali ini, jangan coba menyingkirkan emosi yang mengganggumu. Biarkan ia datang. Rasakan sakitnya, rasakan amarahnya. Lalu, tarik napas samudra. Biarkan udara itu masuk, menyelimuti emosi-emosi itu. Bayangkan napasmu adalah laut yang luas, dan emosi-emosimu adalah pulau-pulau kecil di dalamnya.”

Sagara mengangguk, lalu duduk bersila di tepi jurang, menghadap lautan. Angin menderu di sekelilingnya, namun ia mencoba memfokuskan diri pada napasnya. Ia menarik napas dalam, merasakan udara dingin mengisi paru-parunya.

Seperti yang Ki Jatmika instruksikan, ia tidak mencoba menekan bayangan Rangga atau wajah sedih Larisa. Ia membiarkannya datang. Rasa sakit di dadanya kembali muncul, diikuti oleh gelombang amarah yang panas. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tidak melawannya.

“Biarkan ia mengalir,” suara Ki Jatmika membimbing, lembut namun kuat. “biarkan napas samudra membawa emosi itu, membaurkannya. Jangan biarkan emosi menguasai napasmu, tapi biarkan napasmu menguasai emosi.”

Sagara terus bernapas. Ia merasakan dadanya sesak, seolah ada bongkahan es di sana yang ingin ia hancurkan. Tapi ia mengingat kata-kata gurunya. Ia membiarkan napasnya menjadi arus, mencoba menyelimuti bongkahan es itu, bukan menghancurkannya.

Perlahan, kehangatan mulai menjalar dari hara-nya, menyebar ke seluruh tubuh. Kehangatan ini bukan lagi hanya energi fisik, melainkan sesuatu yang lebih dalam.

Seolah-olah, setiap napas yang ia tarik membawa kedamaian, dan setiap napas yang ia hembuskan membawa keluar sebagian dari rasa sakitnya.

“Bagus, Nak,” Ki Jatmika berbisik, “kau mulai merasakan irama. Sekarang, ketika kau merasakan arus energi itu mengalir, bayangkan ia tidak hanya mengisi tubuhmu, tapi juga hati nuranimu. Setiap pukulan yang kau latih, setiap tendangan yang kau lepaskan, harus didasari oleh keinginan untuk keadilan, bukan pembalasan. Untuk melindungi, bukan menghancurkan.”

Sagara mengangguk, matanya masih terpejam. Ia terus bernapas, memadukan energi samudra dengan niat di hatinya. Keinginan untuk mencari kebenaran, untuk membersihkan namanya, untuk melindungi Larisa, dan untuk memulihkan kehormatan perguruan.

Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Arus energi di dalam tubuhnya tidak lagi hanya hangat. Ia terasa berdenyut, seolah-olah arus samudra yang ia bayangkan benar-benar hidup di dalam dirinya. Dan yang lebih mengejutkan, arus itu seperti menjawab perasaannya.

Setiap kali ia memikirkan tentang Rangga, arus itu bergolak, dingin dan tajam. Setiap kali ia memikirkan Larisa, arus itu menghangat, lembut dan bergelombang.

“Guru,” Sagara membuka mata, suaranya sedikit bergetar, “a—aku merasakan sesuatu yang berbeda. Arus ini, ia seperti hidup.”

Ki Jatmika tersenyum tipis, matanya memancarkan kebijaksanaan. “Itu adalah Cakra Laut Selatan yang mulai mengakui keberadaanmu, Nak. Ia adalah kekuatan alam, ia memiliki kehendaknya sendiri. Jika kau selaras dengannya, ia akan menjadi bagian dari dirimu.”

“Lalu, apa yang harus kulakukan?”

“Biarkan ia membimbingmu,” jawab Ki Jatmika, “jangan kau lawan. Biarkan ia menunjukkan apa yang ingin ia tunjukkan.”

Sagara kembali memejamkan mata, membiarkan arus itu mengalir bebas. Ia merasakan pusaran energi di hara-nya berputar semakin cepat, menariknya ke dalam kesadaran yang lebih dalam.

Suara ombak di kejauhan kini terasa begitu dekat, seolah-olah ia sedang berada di tengah-tengah lautan itu sendiri.

Tiba-tiba, kegelapan menyelimuti pandangannya, bukan kegelapan mata terpejam, melainkan kegelapan yang pekat, tak berujung.

Lalu, di tengah kegelapan itu, sebuah titik cahaya muncul, membesar, dan membentuk sebuah bayangan.

Bayangan pertama adalah sebuah aula besar yang ia kenali . Itu adalah aula utama Perguruan Banyu Langit. Namun, aula itu tampak berbeda.

"Tidak mungkin..." bisik Sagara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sagara    Bab 10

    "Tahan! Jangan biarkan air menelanmu!"Suara Ki Jatmika bagai guntur, menembus deru badai yang mengamuk. Sagara terhuyung, tubuhnya dihantam ombak raksasa yang tak henti-hentinya menerjang. Dingin dan asin memenuhi indra, mengaburkan pandangannya. Dia mengira jantungnya akan meledak, bukan karena takut, melainkan karena kelelahan yang mematikan. Malam pekat, hanya sesekali kilat menyambar, memperlihatkan siluet tebing curam di belakangnya dan sosok Ki Jatmika yang berdiri kokoh, seolah tak terpengaruh oleh amukan alam."Sudah berapa lama kau di sana?" Ki Jatmika berteriak lagi, suaranya dipaksa menembus gemuruh. "Berdiri! Hadapi dia! Laut itu bukan musuhmu! Dia adalah dirimu!"Sagara nyaris tak bisa mendengar. Kakinya terasa seperti timah, setiap gerakan adalah perjuangan. Paru-parunya terasa terbakar, memohon oksigen yang tak kunjung datang. Dia merasa tak berdaya."Aku... aku tak sanggup lagi, Guru!" Sagara berhasil membalas, suaranya parau dan lemah, tenggelam oleh desiran angin ke

  • Bara Dendam Sagara    Bab 9

    “...Jika kau melenceng dari prinsip itu, maka kekuatan ini akan berbalik melahapmu, dan bahkan jiwamu akan akan ikut tenggelam dalam arus yang kau ciptakan.”Sagara menelan ludah, peringatan Ki Jatmika menusuk tepat di jantungnya. Ia tak tahu bagaimana jiwanya bisa dimakan oleh kekuatannya sendiri, namun ia mengerti beban di balik kalimat yang terpenggal itu. Sebuah janji agung, namun juga bahaya yang teramat besar. Ia mengangguk perlahan, mata elangnya menatap lurus sang guru.Di pulau yang sama, Perguruan Banyu Langit tenggelam dalam sunyi. Namun malam itu, keheningan terasa berbeda, seolah angin membawa kabar yang belum terucapkan. Lampion-lampion yang tergantung di halaman memancarkan cahaya redup, seolah enggan mengusir kegelapan sepenuhnya. Larisa berjalan sendirian, langkah kakinya memecah kesunyian lantai batu menuju ruang arsip tua. Ada desakan aneh dalam hatinya, firasat bahwa jawaban atas keanehan yang mereka hadapi tersembunyi di antara lembaran-lembaran usang.Ia menemuk

  • Bara Dendam Sagara    Bab 8

    Dalam pandang Sagara, tampak bendera-bendera hitam bergambar naga berkepakkan gigi tajam berkibar menggantikan panji-panji biru-putih Banyu Langit. Aula besar yang dulu dipenuhi sapaan dan tawa kini diselimuti keheningan yang kaku; aroma dupa dan kebanggaan lama digantikan oleh bau logam dingin dan bisik-bisik takut. Di atas singgasana yang diukir dari tulang, Rangga duduk tegak — jubah keemasannya berkilau di bawah cahaya lentera, wajahnya memancarkan kesombongan yang dingin. Matanya yang tajam menatap lurus ke barisan murid-murid yang berlutut, menyapu mereka satu per satu seperti penasaran yang hendak menimbang nilai nyawa. Sagara berdiri di barisan, tubuhnya kaku. Gelombang dingin merayap di punggungnya sampai ke tulang leher. Gambaran itu bukan sekadar khayalan; ia merasakan setiap detilnya seperti kejadian yang mungkin terjadi — masa depan yang mengerikan. Perguruan yang dicintainya terjajah, diganti simbol-simbol baru, nama Banyu Langit dirobek dan dilukis ulang oleh ambisi Ra

  • Bara Dendam Sagara    Bab 7

    Jauh di sisi lain Pulau Selatan tepatnya di sebuah gunung terpencil tampak Sagara duduk bersila di atas batu besar di tepi jurang, di mana kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang menakjubkan. Suara gemuruh ombak yang jauh di bawah sana, meski samar, selalu terasa memanggil.Pagi itu, udara terasa dingin, namun di dalam diri Sagara, ada semacam bara yang perlahan mulai menyala. Setelah percakapannya yang intens dengan Ki Jatmika malam sebelumnya, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski amarah dan kesedihan masih bersemayam.Pertarungan melawan diri sendiri, itu yang dikatakan gurunya. Pertarungan yang jauh lebih sulit daripada menghadapi seratus pendekar sekalipun.Ki Jatmika muncul dari balik rumah sederhana mereka, membawa dua cawan teh herbal yang mengepul. Ia meletakkan satu cawan di samping Sagara, lalu duduk di sebelahnya, menatap lautan luas di kejauhan.“Bagaima

  • Bara Dendam Sagara    Bab 6

    Rangga meletakkan cawan peraknya di meja, bunyinya nyaris tak terdengar. Matanya yang sebelumnya menatap langit-langit kini fokus pada pria berjubah gelap di hadapannya."Dan sekarang," lanjut Rangga, suaranya kembali ke nada berbisik yang mengancam, "dengan duri itu tercabut, waktunya untuk menancapkan akarku dalam-dalam di perguruan. Guru Besar memang kuat, tapi pandangannya terlalu sempit. Dunia persilatan memerlukan pemimpin yang berani mengambil alih, bukan hanya menunggu takdir."Pria berjubah gelap itu mengangguk, "Hamba mengerti, Rangga. Apakah Anda sudah memiliki rencana untuk mengkonsolidasikan kekuatan?"Rangga tersenyum tipis, merapikan lipatan jubahnya. "Tentu saja. Semua sudah kusiapkan. Malam ini, aku akan mengadakan pertemuan darurat dengan para murid senior. Kita akan membahas 'krisis' yang menimpa perguruan, kematian Guru Besar, dan pengkhianatan'Sagara."Ia sengaja menekan kata-kata itu, seolah meludahkan racun. "Narasi yang kuat lebih berbahaya daripada jurus terku

  • Bara Dendam Sagara    Bab 5

    Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status