MasukJauh di sisi lain Pulau Selatan tepatnya di sebuah gunung terpencil tampak Sagara duduk bersila di atas batu besar di tepi jurang, di mana kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.
Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang menakjubkan. Suara gemuruh ombak yang jauh di bawah sana, meski samar, selalu terasa memanggil. Pagi itu, udara terasa dingin, namun di dalam diri Sagara, ada semacam bara yang perlahan mulai menyala. Setelah percakapannya yang intens dengan Ki Jatmika malam sebelumnya, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski amarah dan kesedihan masih bersemayam. Pertarungan melawan diri sendiri, itu yang dikatakan gurunya. Pertarungan yang jauh lebih sulit daripada menghadapi seratus pendekar sekalipun. Ki Jatmika muncul dari balik rumah sederhana mereka, membawa dua cawan teh herbal yang mengepul. Ia meletakkan satu cawan di samping Sagara, lalu duduk di sebelahnya, menatap lautan luas di kejauhan. “Bagaimana tidurmu semalam, Nak?” tanya Ki Jatmika, suaranya tenang. Sagara mengambil cawan teh, menghirup aromanya yang menenangkan. “Lebih baik, Guru. Mimpi buruk itu masih ada, tapi tidak lagi mencengkeram. Rasanya seperti peringatan, bukan lagi hukuman.” Ki Jatmika mengangguk perlahan. “Itu pertanda baik. Pikiranmu mulai menerima, bukan lagi menolak. Dendam, ia seperti racun. Jika kau minum perlahan, ia akan membunuhmu. Tapi jika kau tahu dosisnya, ia bisa jadi penawar.” Sagara mengerutkan kening. “Penawar? Bagaimana bisa, Guru?” “Dendam yang terkendali adalah pendorong." Ki Jatmika menjelaskan, menunjuk ke arah lautan. “Lihatlah ombak itu. Ia menghantam karang berkali-kali, mengikisnya, membentuknya. Tapi ia tidak melakukannya dengan amarah. Ia melakukannya dengan ketekunan, dengan kekuatan yang tak pernah melawan dirinya sendiri. Ia menyalurkan energinya, bukan membiarkannya meledak tak terkendali.” “Aku ingin menyalurkannya, Guru. Aku ingin menggunakan kekuatan ini untuk mencari kebenaran, seperti yang Guru katakan. Tapi amarah itu terasa begitu nyata, begitu kuat. Setiap kali aku mencoba menenangkan diri, wajah Rangga muncul dengan tawa liciknya. Aku juga melihat tatapan mata Larisa yang penuh air mata dan rasanya aku ingin meledak.” Suara Sagara bergetar, tangannya mengepal erat di sekeliling cawan. Uap teh mengepul, seolah mencerminkan gejolak di dalam hatinya. Ki Jatmika menoleh, menatap mata Sagara yang memancarkan penderitaan. “Itu wajar, Nak. Kau seorang manusia, bukan batu. Emosi itu adalah bagian dari dirimu. Kau tidak bisa menghapusnya, tapi kau bisa mengendalikannya. Jurus Cakra Laut Selatan adalah cerminan dari hal itu.” “Cerminan?” “Ya. Jurus ini tidak hanya mengajarkanmu tentang kekuatan fisik, tapi juga tentang keseimbangan batin. Kekuatan tanpa hati nurani adalah kehancuran. Hati nurani tanpa kekuatan adalah kelemahan. Keduanya harus menyatu, seperti dua sisi koin yang tak terpisahkan,” papar Ki Jatmika. Ia bangkit, berjalan ke tepi jurang, Sagara mengikutinya. Angin berembus lebih kencang di sini, menerbangkan rambut hitam Sagara yang terikat. “Dulu, saat kau melatih pernapasan samudra." Ki Jatmika melanjutkan, "kau menyalurkan energi ke seluruh tubuh. Sekarang, kau harus belajar menyalurkan emosimu ke dalam energi itu. Biarkan amarah itu menjadi bahan bakar, bukan api yang melahap. Biarkan ia menjadi arus yang mendorongmu maju, bukan badai yang menenggelamkanmu.” Sagara memejamkan mata, mencoba memahami. “Bagaimana aku melakukannya, Guru?” “Duduklah bersila, seperti biasa,” perintah Ki Jatmika, “kali ini, jangan coba menyingkirkan emosi yang mengganggumu. Biarkan ia datang. Rasakan sakitnya, rasakan amarahnya. Lalu, tarik napas samudra. Biarkan udara itu masuk, menyelimuti emosi-emosi itu. Bayangkan napasmu adalah laut yang luas, dan emosi-emosimu adalah pulau-pulau kecil di dalamnya.” Sagara mengangguk, lalu duduk bersila di tepi jurang, menghadap lautan. Angin menderu di sekelilingnya, namun ia mencoba memfokuskan diri pada napasnya. Ia menarik napas dalam, merasakan udara dingin mengisi paru-parunya. Seperti yang Ki Jatmika instruksikan, ia tidak mencoba menekan bayangan Rangga atau wajah sedih Larisa. Ia membiarkannya datang. Rasa sakit di dadanya kembali muncul, diikuti oleh gelombang amarah yang panas. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tidak melawannya. “Biarkan ia mengalir,” suara Ki Jatmika membimbing, lembut namun kuat. “biarkan napas samudra membawa emosi itu, membaurkannya. Jangan biarkan emosi menguasai napasmu, tapi biarkan napasmu menguasai emosi.” Sagara terus bernapas. Ia merasakan dadanya sesak, seolah ada bongkahan es di sana yang ingin ia hancurkan. Tapi ia mengingat kata-kata gurunya. Ia membiarkan napasnya menjadi arus, mencoba menyelimuti bongkahan es itu, bukan menghancurkannya. Perlahan, kehangatan mulai menjalar dari hara-nya, menyebar ke seluruh tubuh. Kehangatan ini bukan lagi hanya energi fisik, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Seolah-olah, setiap napas yang ia tarik membawa kedamaian, dan setiap napas yang ia hembuskan membawa keluar sebagian dari rasa sakitnya. “Bagus, Nak,” Ki Jatmika berbisik, “kau mulai merasakan irama. Sekarang, ketika kau merasakan arus energi itu mengalir, bayangkan ia tidak hanya mengisi tubuhmu, tapi juga hati nuranimu. Setiap pukulan yang kau latih, setiap tendangan yang kau lepaskan, harus didasari oleh keinginan untuk keadilan, bukan pembalasan. Untuk melindungi, bukan menghancurkan.” Sagara mengangguk, matanya masih terpejam. Ia terus bernapas, memadukan energi samudra dengan niat di hatinya. Keinginan untuk mencari kebenaran, untuk membersihkan namanya, untuk melindungi Larisa, dan untuk memulihkan kehormatan perguruan. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Arus energi di dalam tubuhnya tidak lagi hanya hangat. Ia terasa berdenyut, seolah-olah arus samudra yang ia bayangkan benar-benar hidup di dalam dirinya. Dan yang lebih mengejutkan, arus itu seperti menjawab perasaannya. Setiap kali ia memikirkan tentang Rangga, arus itu bergolak, dingin dan tajam. Setiap kali ia memikirkan Larisa, arus itu menghangat, lembut dan bergelombang. “Guru,” Sagara membuka mata, suaranya sedikit bergetar, “a—aku merasakan sesuatu yang berbeda. Arus ini, ia seperti hidup.” Ki Jatmika tersenyum tipis, matanya memancarkan kebijaksanaan. “Itu adalah Cakra Laut Selatan yang mulai mengakui keberadaanmu, Nak. Ia adalah kekuatan alam, ia memiliki kehendaknya sendiri. Jika kau selaras dengannya, ia akan menjadi bagian dari dirimu.” “Lalu, apa yang harus kulakukan?” “Biarkan ia membimbingmu,” jawab Ki Jatmika, “jangan kau lawan. Biarkan ia menunjukkan apa yang ingin ia tunjukkan.” Sagara kembali memejamkan mata, membiarkan arus itu mengalir bebas. Ia merasakan pusaran energi di hara-nya berputar semakin cepat, menariknya ke dalam kesadaran yang lebih dalam. Suara ombak di kejauhan kini terasa begitu dekat, seolah-olah ia sedang berada di tengah-tengah lautan itu sendiri. Tiba-tiba, kegelapan menyelimuti pandangannya, bukan kegelapan mata terpejam, melainkan kegelapan yang pekat, tak berujung. Lalu, di tengah kegelapan itu, sebuah titik cahaya muncul, membesar, dan membentuk sebuah bayangan. Bayangan pertama adalah sebuah aula besar yang ia kenali . Itu adalah aula utama Perguruan Banyu Langit. Namun, aula itu tampak berbeda. "Tidak mungkin..." bisik Sagara.“Mati kau, pengkhianat!” jerit Danu, menerjang maju dengan pedang teracung. Serangannya membabi buta, didorong oleh teror.Sagara tidak menghindar. Ia tetap berdiri di tempatnya. Saat pedang Danu hanya berjarak satu jengkal dari dadanya, ia menggerakkan tangan kirinya. Ia tidak menangkis bilah pedang itu. Ia meraih pergelangan tangan Danu.Lagi-lagi, bukan dengan cengkeraman yang mematahkan tulang, melainkan dengan sentuhan yang seolah menyerap.“Ikat,” bisiknya sekali lagi.Danu merasakan hal yang sama seperti yang Bima rasakan. Energi dingin merambat dari pergelangan tangannya, melumpuhkan lengannya, lalu bahunya, hingga seluruh sisi tubuhnya terasa kaku seperti es. Pedangnya jatuh ke tanah dengan bunyi denting yang nyaring. Momentum serangannya telah dicuri, diserap, dan dinetralkan dalam sekejap mata.“Bagaimana… bagaimana mungkin?” racaunya, separuh tubuhnya kini lumpuh.Sagara menatap mata Danu yang dipenuhi teror. “Aku tidak ingin melukaimu.”“Jangan berbohong!” pekik Danu, men
Dua pasang mata elang api yang terukir di pelindung dada mereka berkilat-kilat disiram cahaya api unggun. Mereka adalah anjing penjaga Rangga, tembok pertama antara Sagara dan kebebasannya, antara dirinya dan jalan menuju Larisa.Sagara menahan napas, menekan tubuhnya lebih dalam ke rumpun bambu yang dingin dan basah. Embun pagi menetes dari daun-daun di atasnya, terasa seperti tusukan es di tengkuknya, namun ia tidak bergeming. Dari celah sempit di antara batang-batang bambu yang kokoh, ia mempelajari setiap gerakan mereka. Yang satu, bertubuh lebih kurus dan tampak gelisah, terus-menerus melirik ke dalam kegelapan hutan. Yang lain, lebih kekar dan percaya diri, menyandarkan tombaknya ke sebatang pohon dan menghangatkan tangan di atas api.“Hentikan kegelisahanmu itu, Danu,” kata si penjaga kekar, suaranya serak dan penuh kejengkelan. “Kau membuatku ikut tegang.”Penjaga yang dipanggil Danu itu tersentak, bahunya menegang. “Aku tidak bisa, Bima. Tempat ini memberikan firasat buruk ke
"Kau bukan lagi Sagara si Penguasa Jurus Harimau Merah. Kau adalah pewaris Cakra Laut Selatan," tutur Ki Jatmika menasehati Sagara.Dengan diberikannya liontin medali Cakra Selatan, hal itu berarti menandakan bahwa sudah saatnya bagi Sagara untuk berkelana dan menuntaskan urusannya yang belum tuntas."Sagara, kini aku izinkan kau untuk terjun ke dunia persilatan sesungguhnya. Namun, pembelajaranmu belum tuntas sepenuhnya," lontar Ki Jatmika."Liontin yang aku berikan padamu itu bukan sekadar liontin biasa. Ia memiliki roh. Roh yang membimbing pemiliknya untuk menguasai Jurus Cakra Laut Selatan secara sempurna," paparnya lebih lanjut."Roh... guru?"Ya, sekarang pegang liontin itu,” perintah Ki Jatmika."Baik, Ki. Sudah.""Dengarkan baik-baik. Sekarang kau usap permukaannya sebanyak tiga kali, lalu ucapkan mantranya."“Mantra apa, Guru?” tanya Sagara, jemarinya yang ragu melayang di atas permukaan dingin liontin perunggu itu.Ki Jatmika tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipi
...air yang meresap ke dalam bumi yang haus.Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ki Jatmika menatap Sagara dengan kebanggaan yang nyaris tak terlihat.“Kau berhasil,” bisik Ki Jatmika.Sagara membuka matanya, terkejut. Ia menarik pusarannya, membiarkan tangan Ki Jatmika bebas. Pemuda itu tidak merasa lelah, tidak merasa nyeri, hanya ketenangan yang luar biasa.“Aku… aku tidak tahu bagaimana,” aku Sagara, napasnya masih teratur, “aku hanya membiarkannya mengalir.”“Justru itu kuncinya,” balas Ki Jatmika, mundur selangkah. “Kau berhenti melawan diri sendiri. Kau berhenti melawan bayangan Rangga. Kau menerima arus itu sebagai bagian darimu.”Sagara mengangguk. Keseimbangan yang ia rasakan berbeda dari latihan fisik mana pun. Ini adalah keseimbangan jiwa.“Tapi ini baru permulaan, Nak,” lanjut Ki Jatmika, matanya kembali tajam. “Mengekang amarah itu mudah dalam kondisi santai. Sekarang, aku ingin kau menghadapi arus yang tidak bisa kau kendalikan. Aku ingin kau menggunakan semua yang k
Sosok Ki Jatmika hilang dari pandangan. Sagara bahkan belum sempat berkedip ketika ia merasakan hawa panas di belakang tengkuknya. Instingnya berteriak bahaya.WUSH!Telapak tangan Ki Jatmika meluncur dari belakang, membidik titik vital di antara tulang belikat Sagara. Serangan itu cepat, presisi, dan penuh tenaga dalaman.Sagara menarik napas cepat. Kedua tangannya bergerak dalam gerakan melingkar ganda. Yang mana satu tangan menarik serangan Ki Jatmika ke samping, tangan lainnya membentuk pusaran untuk menetralisir energinya.WUSH!Telapak Ki Jatmika meleset beberapa senti dari dada Sagara. Energinya diserap oleh pusaran yang dibuat Sagara, lalu menghilang seperti ombak yang surut.Ki Jatmika tersenyum tipis. "Cukup bagus, Nak. Tapi itu belum cukup."Serangan berikutnya datang bertubi-tubi. Pukulan dari atas. Tendangan dari samping. Sapuan dari bawah.Ki Jatmika bergerak seperti badai menyerang tanpa jeda, tanpa ampun. Setiap gerakan penuh kekuatan, tapi juga penuh kontrol.Sagara m
Ki Jatmika melangkahkan kakinya. Ia mendekat ke arah sang murid dan menepuk pundaknya."Kau harus ingat Sagara, kalau semua yang kau lihat dan rasakan mempunyai arus. Dan emosi adalah salah satu arus terkuat yang dipunyai oleh manusia."Pria itu berkata lebih lanjut. "Ini sama halnya seperti saat Rangga melontarkan tuduhan kepadamu. Pada sejatinya, ia tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata tajam. Akan tetapi ia juga melepaskan amarah, kesombongan, dan rasa takutnya atas kehilangan kekuasaan""Tapi pada intinya, semua itu tak lain adalah tentang momentum, Nak. Momentum yang bisa kamu pilih untuk kau rangkul atau kau biarkan menghancurkanmu."Sagara mengerutkan kening, mencoba mencerna semua perkataan gurunya.Secara filosofis ia mengerti, tetapi secara praktis ia belum terlalu paham."Tapi guru, Rangga adalah pendekar yang hebat. Kekuatan emosinya juga pasti sekuat badai.""Maka dari itu untuk mengalahkannya, kau harus menjadi alirannya. Jangan menjadi batu yang menghentikan badai,







