Share

Bab 8

Author: lovelypurple
last update Last Updated: 2025-09-27 23:54:53

Dalam pandang Sagara, tampak bendera-bendera hitam bergambar naga berkepakkan gigi tajam berkibar menggantikan panji-panji biru-putih Banyu Langit. Aula besar yang dulu dipenuhi sapaan dan tawa kini diselimuti keheningan yang kaku; aroma dupa dan kebanggaan lama digantikan oleh bau logam dingin dan bisik-bisik takut. Di atas singgasana yang diukir dari tulang, Rangga duduk tegak — jubah keemasannya berkilau di bawah cahaya lentera, wajahnya memancarkan kesombongan yang dingin. Matanya yang tajam menatap lurus ke barisan murid-murid yang berlutut, menyapu mereka satu per satu seperti penasaran yang hendak menimbang nilai nyawa.

Sagara berdiri di barisan, tubuhnya kaku. Gelombang dingin merayap di punggungnya sampai ke tulang leher. Gambaran itu bukan sekadar khayalan; ia merasakan setiap detilnya seperti kejadian yang mungkin terjadi — masa depan yang mengerikan. Perguruan yang dicintainya terjajah, diganti simbol-simbol baru, nama Banyu Langit dirobek dan dilukis ulang oleh ambisi Rangga.

Bayangan itu bergeser tanpa peringatan. Di tengah hiruk-pikuk imaji, Sagara melihat Larisa. Gadis itu terikat pada sebuah tiang di lapangan terbuka; rambutnya kusut, wajahnya pucat seperti kain yang dicuci berulang. Di sekelilingnya berdiri para Penjaga Kehormatan baru — seragam hitam, lencana naga terbentang di dada masing-masing. Mereka berdiri rapi, seperti patung yang siap menurunkan hukuman. Rangga berdiri di hadapan Larisa, senyum licik tertancap di bibirnya, seolah sedang menikmati pementasan yang telah direncanakan rapi.

“Kau terlalu banyak tahu, Larisa,” suara Rangga bergema dalam bayangan, datar dan dingin. “Itu kelemahanmu. Kebenaran yang kau cari... akan mati bersamamu.”

Larisa mengangkat kepala meski matanya berlinang air. Dari wajahnya terpancar keteguhan yang tak biasa untuk sosok yang tampak lemah itu. “Kau tak akan pernah menang, Rangga. Kebenaran akan menemukan jalannya, kalau pun harus merangkak di bawah batu sekalipun.”

Detak jantung Sagara berlari kencang sampai dadanya terasa meledak. Amarah menyala di dalam diri, seperti bara yang siap membakar segala yang menghalangi. Ia ingin berteriak, menerjang bayangan, merobek tirai yang menutupi kebenaran itu. Namun ingatannya kembali kepada kata-kata Ki Jatmika: jangan melawan arus; biarkan ia membimbingmu. Kalimat itu menahan lampaunya, memaksa ia menelan ledakan kemarahan.

Ia menarik napas panjang, mencoba menata amarah menjadi sesuatu yang berguna. Arus samudra di dalam dirinya — energi yang selama ini ia pelajari — bergelora. Tapi kini ia tak lagi liar; amarah itu dimurnikan menjadi titik fokus, menjadi energi yang terukur dan berarah.

Bayangan bergeser lagi. Kali ini yang muncul adalah Sagara sendiri, berdiri di puncak gunung terpencil. Jubah hitam sederhana menutup tubuhnya, namun ada aura yang tak bisa disembunyikan: tombak legendaris tergenggam erat di tangannya, rambutnya terurai seperti gulungan ombak yang nyaris lepas. Pandangannya tajam, penuh tekad. Di bawah langit yang gelap diselingi kilatan petir, lautan pendekar bertempur — ribuan tubuh, suara logam bertumbukan, dan aroma debu serta darah yang melekat.

Sagara melihat dirinya bergerak di medan perang bukan dengan kekerasan yang membara liar, tapi dengan ketenangan seorang penguasa laut. Setiap ayunan tombaknya menyerupai gelombang yang memukul; setiap tendangan bagai badai yang mengikis. Musuh-musuh berjatuhan satu per satu, bukan karena kebencian, melainkan karena tugas yang harus diselesaikan. Dalam setiap hantaman, ia tidak merasakan kepuasan atas kehancuran, melainkan kepastian yang teduh: ini untuk keadilan, ini untuk janji yang harus ditepati.

Bayangan itu menukar pemandangan. Sebuah gua tersembunyi terbuka lewat imaji; di dalamnya sebuah peti tua teronggok. Peti itu mengeluarkan cahaya biru samar, dan dari balik lipatan debu muncul gulungan kuno — peta berisi simbol-simbol yang asing namun memanggil. Peta itu seolah berbisik: inilah jalan menuju kekuatan yang jauh melampaui Cakra Laut Selatan. Sebuah energi yang mampu mengubah nasib segenap Pulau Selatan.

Energi di tubuh Sagara bergejolak hebat. Bayangan-bayangan memutarnya secepat layar yang diputar kembali; semuanya menjadi kabur seperti dicabut dari panggung mistik. Kepala Sagara berputar, perutnya mual. Ia membuka mata dengan nafas tersengal; kabut pagi di hadapannya terasa nyata, namun sisa-sisa penglihatan tadi masih menempel — menakutkan sekaligus memberi secercah harapan.

Ki Jatmika menatap Sagara dengan seksama. “Kau melihatnya, Nak?” tanyanya lembut, tapi ada kepedulian yang dalam di matanya.

Sagara mengangguk, napasnya belum stabil. “Aku melihat kehancuran... Rangga. Larisa... ia dalam bahaya. Dan aku juga melihat diriku bertarung. Ada pula sebuah peta, Guru. Peta menuju sesuatu yang kuno dan kuat.”

Ki Jatmika menarik napas panjang dan memandang lautan di kejauhan, matanya menajam. “Bayangan yang kau lihat adalah kehendak Cakra Laut Selatan. Ia peringatan dan petunjuk sekaligus. Larisa benar dalam bahaya. Aku telah merasakan kegelapan merayap di tubuh Banyu Langit. Peta itu... hanya akan muncul kepada mereka yang sungguh-sungguh selaras dengan kekuatan samudra.”

Sagara menatap gurunya penuh tanya. “Apa yang harus kulakukan, Guru? Haruskah aku kembali ke Banyu Langit dan menyelamatkannya?”

Ki Jatmika menoleh, menatapnya lama. “Pilihan ada di tanganmu. Tapi jangan bertindak gegabah. Kekuatanmu belum utuh. Kau harus menguasai setiap aspek Cakra Laut Selatan: bukan hanya jurus dan teknik, tetapi juga keseimbangan hati dan niat. Jika belum, kau bisa menjadi korban berikutnya.”

Tekad Sagara mengeras seperti baja. Wajah Larisa melintas di benaknya; bayangan Rangga menempel seperti noda yang harus dihapus. Waktu terasa sempit, namun ia tahu jalan yang benar bukanlah jalan tergesa. “Aku harus lebih cepat, Guru. Ku harus belajar semuanya—demi Larisa, demi Banyu Langit.”

Ki Jatmika mengangguk. “Mulai hari ini, kita memasuki tahap baru. Kau akan belajar jurus dasar: Langkah Arus Samudra. Jurus ini mengajarkan bagaimana bergerak seperti gelombang — tidak melawan aliran udara, tanah, atau dirimu sendiri. Jurus ini untuk menyelamatkan, bukan merusak. Jadilah seperti air: mampu menembus rintangan terkeras tanpa kehilangan bentuk aslimu.”

Sagara berdiri, tubuhnya terasa ringan seolah energi samudra mengalirkan kekuatan baru. Ia merasakan koneksi yang lebih dalam dengan alam — ombak yang berdebur, angin yang menghembuskan ritme. “Aku siap, Guru,” jawabnya penuh keyakinan. Matanya menyala, tekad membakar segala sisa ragu.

Ki Jatmika tersenyum tipis lalu mengangkat tangan. “Langkah Arus Samudra dimulai dari posisi kuda-kuda yang kokoh namun luwes. Bayangkan batu karang yang tegar namun mampu bergeser mengikuti arus. Tarik napas samudra, salurkan energi ke kakimu, biarkan langkahmu mengalir seperti air. Tanpa ketegangan, tanpa perlawanan.”

Sagara meniru posisi yang diperagakan gurunya. Napas dikendalikan, keringat mulai menetes di dahi. Awalnya gerakannya kaku, tetapi perlahan ia menemukan irama. Ia tidak lagi sekadar meniru; ia menjadi gerak itu sendiri, bagian dari aliran yang lebih besar. Beberapa jam berlalu dalam latihan yang tekun — keringat, kelelahaan, namun juga euforia setiap gerakan yang berhasil disinkronkan dengan napas dan energi.

Ketika matahari mulai condong ke barat dan langit memerah, Ki Jatmika menghentikan latihan. “Cukup hari ini, Nak. Kau telah melangkah jauh.”

Sagara tersenyum lelah, tapi di bibirnya ada senyum tipis kemenangan. Ia merasakan kekuatan baru dan keyakinan yang membara.

Bayangan tadi bukan lagi beban menakutkan, melainkan tantangan yang harus dipenuhi. Ia menatap cakrawala, memikirkan janji-janji yang menunggu untuk ditepati, dan langkah-langkah yang harus ditempuh demi menyelamatkan apa yang ia cintai.

" Guru,” Sagara bertanya, “bisakah aku memadukan jurus ini dengan tombakku?”

Ki Jatmika mengangguk. “Tentu saja. Tapi untuk itu, kau harus menguasai langkah ini dengan sempurna terlebih dahulu. Besok, kita akan mulai dengan Tapak Gelombang, jurus berikutnya yang akan mengajarkanmu bagaimana menangkis serangan dan mendorong lawan dengan kekuatan ombak. Lalu setelah itu, Pukulan Ombak Bergulung. Namun, sebelum itu, ada satu hal lagi yang harus kau pahami tentang Cakra Laut Selatan.”

Ki Jatmika berjalan mendekat, menepuk bahu Sagara. “Kekuatan ini bukan untuk bertarung dengan sesama pendekar demi kehormatan pribadi, Nak. Ia adalah kekuatan yang diberikan untuk melindungi keseimbangan alam dan keadilan. Jika kau melenceng dari prinsip itu, maka kekuatan ini akan berbalik melahapmu, dan bahkan jiwamu akan—"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sagara    Bab 10

    "Tahan! Jangan biarkan air menelanmu!"Suara Ki Jatmika bagai guntur, menembus deru badai yang mengamuk. Sagara terhuyung, tubuhnya dihantam ombak raksasa yang tak henti-hentinya menerjang. Dingin dan asin memenuhi indra, mengaburkan pandangannya. Dia mengira jantungnya akan meledak, bukan karena takut, melainkan karena kelelahan yang mematikan. Malam pekat, hanya sesekali kilat menyambar, memperlihatkan siluet tebing curam di belakangnya dan sosok Ki Jatmika yang berdiri kokoh, seolah tak terpengaruh oleh amukan alam."Sudah berapa lama kau di sana?" Ki Jatmika berteriak lagi, suaranya dipaksa menembus gemuruh. "Berdiri! Hadapi dia! Laut itu bukan musuhmu! Dia adalah dirimu!"Sagara nyaris tak bisa mendengar. Kakinya terasa seperti timah, setiap gerakan adalah perjuangan. Paru-parunya terasa terbakar, memohon oksigen yang tak kunjung datang. Dia merasa tak berdaya."Aku... aku tak sanggup lagi, Guru!" Sagara berhasil membalas, suaranya parau dan lemah, tenggelam oleh desiran angin ke

  • Bara Dendam Sagara    Bab 9

    “...Jika kau melenceng dari prinsip itu, maka kekuatan ini akan berbalik melahapmu, dan bahkan jiwamu akan akan ikut tenggelam dalam arus yang kau ciptakan.”Sagara menelan ludah, peringatan Ki Jatmika menusuk tepat di jantungnya. Ia tak tahu bagaimana jiwanya bisa dimakan oleh kekuatannya sendiri, namun ia mengerti beban di balik kalimat yang terpenggal itu. Sebuah janji agung, namun juga bahaya yang teramat besar. Ia mengangguk perlahan, mata elangnya menatap lurus sang guru.Di pulau yang sama, Perguruan Banyu Langit tenggelam dalam sunyi. Namun malam itu, keheningan terasa berbeda, seolah angin membawa kabar yang belum terucapkan. Lampion-lampion yang tergantung di halaman memancarkan cahaya redup, seolah enggan mengusir kegelapan sepenuhnya. Larisa berjalan sendirian, langkah kakinya memecah kesunyian lantai batu menuju ruang arsip tua. Ada desakan aneh dalam hatinya, firasat bahwa jawaban atas keanehan yang mereka hadapi tersembunyi di antara lembaran-lembaran usang.Ia menemuk

  • Bara Dendam Sagara    Bab 8

    Dalam pandang Sagara, tampak bendera-bendera hitam bergambar naga berkepakkan gigi tajam berkibar menggantikan panji-panji biru-putih Banyu Langit. Aula besar yang dulu dipenuhi sapaan dan tawa kini diselimuti keheningan yang kaku; aroma dupa dan kebanggaan lama digantikan oleh bau logam dingin dan bisik-bisik takut. Di atas singgasana yang diukir dari tulang, Rangga duduk tegak — jubah keemasannya berkilau di bawah cahaya lentera, wajahnya memancarkan kesombongan yang dingin. Matanya yang tajam menatap lurus ke barisan murid-murid yang berlutut, menyapu mereka satu per satu seperti penasaran yang hendak menimbang nilai nyawa. Sagara berdiri di barisan, tubuhnya kaku. Gelombang dingin merayap di punggungnya sampai ke tulang leher. Gambaran itu bukan sekadar khayalan; ia merasakan setiap detilnya seperti kejadian yang mungkin terjadi — masa depan yang mengerikan. Perguruan yang dicintainya terjajah, diganti simbol-simbol baru, nama Banyu Langit dirobek dan dilukis ulang oleh ambisi Ra

  • Bara Dendam Sagara    Bab 7

    Jauh di sisi lain Pulau Selatan tepatnya di sebuah gunung terpencil tampak Sagara duduk bersila di atas batu besar di tepi jurang, di mana kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan.Matahari baru saja mengintip di ufuk timur, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang menakjubkan. Suara gemuruh ombak yang jauh di bawah sana, meski samar, selalu terasa memanggil.Pagi itu, udara terasa dingin, namun di dalam diri Sagara, ada semacam bara yang perlahan mulai menyala. Setelah percakapannya yang intens dengan Ki Jatmika malam sebelumnya, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat, meski amarah dan kesedihan masih bersemayam.Pertarungan melawan diri sendiri, itu yang dikatakan gurunya. Pertarungan yang jauh lebih sulit daripada menghadapi seratus pendekar sekalipun.Ki Jatmika muncul dari balik rumah sederhana mereka, membawa dua cawan teh herbal yang mengepul. Ia meletakkan satu cawan di samping Sagara, lalu duduk di sebelahnya, menatap lautan luas di kejauhan.“Bagaima

  • Bara Dendam Sagara    Bab 6

    Rangga meletakkan cawan peraknya di meja, bunyinya nyaris tak terdengar. Matanya yang sebelumnya menatap langit-langit kini fokus pada pria berjubah gelap di hadapannya."Dan sekarang," lanjut Rangga, suaranya kembali ke nada berbisik yang mengancam, "dengan duri itu tercabut, waktunya untuk menancapkan akarku dalam-dalam di perguruan. Guru Besar memang kuat, tapi pandangannya terlalu sempit. Dunia persilatan memerlukan pemimpin yang berani mengambil alih, bukan hanya menunggu takdir."Pria berjubah gelap itu mengangguk, "Hamba mengerti, Rangga. Apakah Anda sudah memiliki rencana untuk mengkonsolidasikan kekuatan?"Rangga tersenyum tipis, merapikan lipatan jubahnya. "Tentu saja. Semua sudah kusiapkan. Malam ini, aku akan mengadakan pertemuan darurat dengan para murid senior. Kita akan membahas 'krisis' yang menimpa perguruan, kematian Guru Besar, dan pengkhianatan'Sagara."Ia sengaja menekan kata-kata itu, seolah meludahkan racun. "Narasi yang kuat lebih berbahaya daripada jurus terku

  • Bara Dendam Sagara    Bab 5

    Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status