Home / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 112 Bayangan Pengging

Share

Bab 112 Bayangan Pengging

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-11-15 14:33:50

Aura kekuasaan di istana Medang, yang dibangun dengan darah dan ambisi Maharaja Samaratungga, kini terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Langit-langit ukiran kayu jati di aula perundingan utama, yang dahulu gemerlap dihiasi ornamen perayaan kejayaan, kini justru memantulkan bayangan kekhawatiran yang tebal, seolah membayangi setiap pikiran para petinggi kerajaan. Maharaja Samaratungga, Sang Cakrawartin yang berambisi mengukir Medang sebagai Cakra Mandala yang tak tertandingi di seluruh nusantara, duduk di singgasana batu berukir megah, raut wajahnya mengeras oleh tekanan dilema ganda. Obsesinya kini dihadapkan pada dua masalah krusial: api pemberontakan Wangsa Sanjaya Walaing yang terus berkobar di pedalaman, serta gelombang protes diplomatik yang mendesak dari kerajaan Pengging, diiringi tuduhan pelanggaran kedaulatan yang tak dapat diabaikan.

Di hadapan singgasana, dengan sikap hormat yang mencerminkan loyalitas tertinggi, berlututlah empat penasihat terdekatnya yang paling dipercaya
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 186 : Dialog di Pelataran Suci

    Sinar mentari sore yang keemasan merangkul gugusan relief batu andesit, baru saja selesai diukir oleh tangan-tangan mahir para seniman. Kilau lembut itu seolah memberikan nyawa pada setiap detail pahatan, pada setiap fragmen kisah yang terpahat abadi pada struktur agung Bhumi Sambhara Budura. Angin semilir perlahan mengayunkan dedaunan pohon Nagasari di sekitar pelataran, membawa harum kemboja yang semerbak dan bisikan doa-doa dari kejauhan.Di sebuah sudut yang lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk pekerja dan alunan kidung puji-pujian, Mpu Panukuh dan Dyah Ayu Pramodhawardhani berdiri berdampingan. Sebuah gulungan rontal, berisi sketsa detail interior, terentang di antara mereka, dipegang teguh oleh jemari halus sang putri dan tangan kekar sang Mpu."Gusti Putri," ujar Mpu Panukuh dengan suara yang rendah namun memiliki keteguhan, memecah keheningan yang syahdu, "saya membayangkan bagian lorong ini, khususnya yang mengarah ke mandala arupadhatu, akan mengisahkan Jataka Lalitavistara,

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 185 Sang Silpin Agung dan Janji Damai

    Suasana di balairung istana Medang pagi itu terasa begitu khidmat dan cerah, memantulkan sinar matahari pagi yang menerobos dari celah-celah pilar kayu ukiran, sangat kontras dengan mendung yang sempat menggelayuti wangsa Syailendra beberapa hari sebelumnya.Di hadapan Paduka Maharaja Samarattungga dan para pembesar kerajaan yang mengenakan busana kebesaran mereka, Mpu Panukuh bersimpuh dengan tenang di atas matras anyaman pandan, menundukkan kepalanya dalam-dalam, didampingi oleh gurunya, Wiku Sasodara, yang tampak bangga namun tetap kalem.Kabar mengenai selesainya struktur utama dan ukiran ajaib di situs suci yang kelak akan dikenal sebagai Sambhara Budura tersebut telah sampai lebih dulu melalui para kurir berkuda, membawa kelegaan luar biasa bagi sang Maharaja, mengakhiri penantian panjang seluruh Medang atas mahakarya agung tersebut.“Bangunlah, Panukuh,” ujar Paduka Maharaja Samarattungga dengan suara yang penuh kewibawaan namun tersirat kehangatan dan rasa syukur yang mendalam

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 184 Penolakan Rukma

    Dengan gerakan cepat dan tak terduga, Balaputeradewa menyambar lengan Gagak Rukma. Pegangannya erat, menjerat kain seragam gelap prajurit itu. Seluruh kekuatannya, semua desakan dari jiwa yang teraniaya, kini ia tumpahkan ke pegangan itu. Pangeran itu tampak hancur, sebuah pemandangan yang langka bagi sosok seanggun dan sesombong dirinya. Wajahnya yang biasa tegar kini penuh kerutan duka, dan suaranya parau, hampir tidak dapat dikenali lagi, seolah suaranya sendiri telah mengkhianatinya."Rukma... tunggu," bisik Balaputeradewa dengan nada memelas, suatu permohonan yang murni dari lubuk hati yang telah tercabik-cabik. Ia menahan lengan Rukma dengan sekuat tenaga, tidak ingin kehilangan satu-satunya kontak yang ia rasakan bisa memungkinkannya menggapai sisa-sisa dunianya yang tercerai-berai. Tatapannya menusuk ke balik celah sempit di topeng tembaga Sanditaraparan yang menutupi wajah Gagak Rukma. "Sampaikan pada Kakang Maharaja," ia mulai, suaranya sedikit lebih jelas kini, "ak

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 183: Sang Pangeran dalam Sangkar Emas

    Belum kering keringat dingin yang mengucur dari sekujur tubuh, atau air mata penyesalan dan amarah yang samar membekas di sudut-sudut mata, saat pendapa kediaman Mahamentri I Halu kembali diselimuti oleh suasana yang mencekam. Aroma cendana yang seharusnya menenangkan kini terasa pengap, bercampur dengan bau debu dan ketegangan yang masih melayang di udara. Pangeran Balaputeradewa, yang baru saja selesai menuntaskan percakapan penting yang mengguncang jiwanya—serta sebagian kecil hatinya yang tersisa—berdiri terpaku di tengah ruangan, tatapannya hampa, tertuju pada pilar-pilar kokoh yang seolah mencibir kerapuhan takdirnya. Beberapa pengawal pribadinya masih berpatroli di sekeliling kediaman, langkah kaki mereka berat, namun tanpa kuasa untuk mengubah arah angin yang kini bertiup kencang ke arah kekalahannya.Bayangan kelabu senja mulai menyelimuti pelataran, menyerap sisa-sisa cahaya mentari yang enggan pergi, menciptakan ilusi dan bayangan aneh di dinding. Namun

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 182: Retaknya Sang Mahamentri

    Siang itu, matahari menggantung tepat di atas cakrawala Medang, memancarkan panas yang menyengat kulit. Lembah dan perbukitan diselimuti keheningan yang tebal, seolah alam pun turut menahan napas dalam suasana mencekam. Namun, di dalam pendapa kediaman Mahamentri I Halu, hawa yang terasa justru jauh lebih dingin dari es, merayapi setiap sudut dan menusuk hingga ke relung jiwa. Permadani indah yang terhampar dan ukiran-ukiran megah di tiang kayu tidak mampu menghalau sensasi dingin yang ganjil itu.Pangeran Balaputeradewa, putra mahkota Kerajaan Sriwijaya dan menantu agung di tanah Medang ini, terpaku menatap istrinya, Mayang Salewang, yang sedang merapikan beberapa kain sutra halus dan perbekalan secukupnya ke dalam buntalan. Gerakannya tenang, efisien, nyaris tanpa suara. Wajah wanita itu datar, tanpa ekspresi berlebihan, namun matanya yang menatap jauh ke arah jendela pendapa memancarkan kekecewaan yang demikian mendalam, seolah ribuan impian telah pecah berkeping-keping di dasar bo

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 181: Ancaman Sang Begawan

    Suasana di bangsal pribadi Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa mendadak diselimuti aura mencekam, tatkala daun pintu berukiran naga emas itu tergeser paksa dengan hempasan keras. Tanpa ada pengumuman terlebih dahulu dari para pengawal yang berjaga, Wiku Sasodara melangkah masuk dengan jubah saffron yang masih memikul jejak debu, saksi bisu dari pertempuran sengit di wilayah Bhumi Sambhara. Setiap langkahnya dipenuhi kewibawaan yang berat, seolah menyisakan getaran kemarahan di udara.Di belakang Sang Wiku, dua orang pengawal yang memiliki postur kekar menyeret seonggok tubuh yang lunglai, bersimbah darah mengotori kain brokat mewah bangsal itu. Dengan satu sentakan kuat yang nyaris brutal, Sasodara melemparkan tubuh tak berdaya itu ke lantai pualam yang dingin, tepat di hadapan kaki Balaputeradewa. Suara benturan yang diikuti oleh rintihan lirih mengoyak ketenangan. Itu adalah Sriti, Pemimpin Sanditaraparan wanita, yang kini terkulai lemah, napasnya tersengal akibat hantaman Sin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status