MasukDarah merah pekat menetes perlahan ke dalam air Kedung Pedhut yang keruh, menciptakan riak-riak kecil yang menyebar seperti duka. Di tepi kedung, di bawah teduhnya pepohonan rindang, Wulung berlutut dalam keterkejutan total. Sebuah pengkhianatan yang pahit kini termanifestasi sebagai tindakan penyelamatan diri, yang ia terima dari wanita yang sempat ia curigai, namun kini berlumuran darah. Ia buru-buru menopang tubuh gadis yang telah mengkhianatinya, namun juga menyelamatkan nyawanya dari upaya serangan musuh.
"Wulan! Mengapa kau lakukan ini?" bisik Wulung, suaranya sarat dengan pertanyaan, kekecewaan, dan kecemasan yang mendalam. Jari-jemarinya gemetar saat menyentuh bahu Wulan yang terkulai.
Wulan mencoba tersenyum, tetapi hanya rintihan kesakitan yang keluar dari bibirnya. Racun dari cundrik yang menancap di pundaknya sudah mulai menjalar, membuat wajahnya memucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Tatapan matanya mulai meredup, namun ia berusaha keras untuk
Awan kelabu yang menggelayuti sanubari Dyah Ayu Manohara kini terpecah, bukan oleh mentari, melainkan oleh badai pengkhianatan yang bergelora. Aula utama Walaing, yang selama ini menjadi saksi bisu kebesaran dan kestabilan wangsa Sanjaya, kini mencekam dalam keheningan yang menyesakkan, dipenuhi aura amarah yang tersembunyi. Pengakuan jujur namun mengejutkan dari Mpu Panukuh telah menghadirkan nama Tantripala sebagai duri yang nyata dalam jalinan rumah tangga mereka.Dyah Ayu Manohara menatap suaminya, Mpu Kumbhayoni, dengan sorot mata yang hancur luluh, seolah tak mampu mengenali pria di hadapannya. Setiap helaan napas terasa berat, mengandung kecewa yang mendalam."Jadi benar, Kangmas?" suara Manohara, meski berusaha dikuatkan, tetap bergetar penuh nestapa. Ia berdiri tegak, memaksakan diri menghadapi kenyataan pahit itu. "Wanita bernama Tantripala itu… putri pertapa yang Kangmas nikahi tanpa sepengetahuanku?"Mpu Kumbhayoni menghela napas panjang, berat, seolah baru saja dipaksa me
Angin sejuk senja mulai merambati pelataran Candi Watangan, namun di dalam aula utama kedaton, suhu terasa membara. Kemegahan ukiran dinding dan pilar-pilar batu yang menjulang tinggi, saksi bisu kemuliaan wangsa Sanjaya, kini terselimuti ketegangan yang menyesakkan. Di tengah singgasana ukiran naga, Mpu Kumbhayoni berdiri tegak, memancarkan amarah yang tiada tara. Wajahnya merah padam, otot rahangnya menonjol, dan tangannya mencengkeram erat hulu keris di pinggangnya, jemarinya memutih saking kuatnya genggaman, seolah ingin melampiaskan murkanya pada benda pusaka tersebut.Kabar yang baru saja sampai ke telinganya, dibawakan oleh utusan yang kini masih bersimpuh gemetar di ambang pintu, bagaikan racun yang membakar relung hatinya. Putra tertuanya, Pangeran Talang Wisang, yang dipersiapkan untuk memegang estafet kepemimpinan wangsa Sanjaya, kini telah menanggalkan keduniawian, memilih jalan sunyi seorang bhikkhu. Seolah belum cukup pilu, kabar lain yang tak kalah menusuk jiwa memberit
Sinar mentari sore yang keemasan merangkul gugusan relief batu andesit, baru saja selesai diukir oleh tangan-tangan mahir para seniman. Kilau lembut itu seolah memberikan nyawa pada setiap detail pahatan, pada setiap fragmen kisah yang terpahat abadi pada struktur agung Bhumi Sambhara Budura. Angin semilir perlahan mengayunkan dedaunan pohon Nagasari di sekitar pelataran, membawa harum kemboja yang semerbak dan bisikan doa-doa dari kejauhan.Di sebuah sudut yang lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk pekerja dan alunan kidung puji-pujian, Mpu Panukuh dan Dyah Ayu Pramodhawardhani berdiri berdampingan. Sebuah gulungan rontal, berisi sketsa detail interior, terentang di antara mereka, dipegang teguh oleh jemari halus sang putri dan tangan kekar sang Mpu."Gusti Putri," ujar Mpu Panukuh dengan suara yang rendah namun memiliki keteguhan, memecah keheningan yang syahdu, "saya membayangkan bagian lorong ini, khususnya yang mengarah ke mandala arupadhatu, akan mengisahkan Jataka Lalitavistara,
Suasana di balairung istana Medang pagi itu terasa begitu khidmat dan cerah, memantulkan sinar matahari pagi yang menerobos dari celah-celah pilar kayu ukiran, sangat kontras dengan mendung yang sempat menggelayuti wangsa Syailendra beberapa hari sebelumnya.Di hadapan Paduka Maharaja Samarattungga dan para pembesar kerajaan yang mengenakan busana kebesaran mereka, Mpu Panukuh bersimpuh dengan tenang di atas matras anyaman pandan, menundukkan kepalanya dalam-dalam, didampingi oleh gurunya, Wiku Sasodara, yang tampak bangga namun tetap kalem.Kabar mengenai selesainya struktur utama dan ukiran ajaib di situs suci yang kelak akan dikenal sebagai Sambhara Budura tersebut telah sampai lebih dulu melalui para kurir berkuda, membawa kelegaan luar biasa bagi sang Maharaja, mengakhiri penantian panjang seluruh Medang atas mahakarya agung tersebut.“Bangunlah, Panukuh,” ujar Paduka Maharaja Samarattungga dengan suara yang penuh kewibawaan namun tersirat kehangatan dan rasa syukur yang mendalam
Dengan gerakan cepat dan tak terduga, Balaputeradewa menyambar lengan Gagak Rukma. Pegangannya erat, menjerat kain seragam gelap prajurit itu. Seluruh kekuatannya, semua desakan dari jiwa yang teraniaya, kini ia tumpahkan ke pegangan itu. Pangeran itu tampak hancur, sebuah pemandangan yang langka bagi sosok seanggun dan sesombong dirinya. Wajahnya yang biasa tegar kini penuh kerutan duka, dan suaranya parau, hampir tidak dapat dikenali lagi, seolah suaranya sendiri telah mengkhianatinya."Rukma... tunggu," bisik Balaputeradewa dengan nada memelas, suatu permohonan yang murni dari lubuk hati yang telah tercabik-cabik. Ia menahan lengan Rukma dengan sekuat tenaga, tidak ingin kehilangan satu-satunya kontak yang ia rasakan bisa memungkinkannya menggapai sisa-sisa dunianya yang tercerai-berai. Tatapannya menusuk ke balik celah sempit di topeng tembaga Sanditaraparan yang menutupi wajah Gagak Rukma. "Sampaikan pada Kakang Maharaja," ia mulai, suaranya sedikit lebih jelas kini, "ak
Belum kering keringat dingin yang mengucur dari sekujur tubuh, atau air mata penyesalan dan amarah yang samar membekas di sudut-sudut mata, saat pendapa kediaman Mahamentri I Halu kembali diselimuti oleh suasana yang mencekam. Aroma cendana yang seharusnya menenangkan kini terasa pengap, bercampur dengan bau debu dan ketegangan yang masih melayang di udara. Pangeran Balaputeradewa, yang baru saja selesai menuntaskan percakapan penting yang mengguncang jiwanya—serta sebagian kecil hatinya yang tersisa—berdiri terpaku di tengah ruangan, tatapannya hampa, tertuju pada pilar-pilar kokoh yang seolah mencibir kerapuhan takdirnya. Beberapa pengawal pribadinya masih berpatroli di sekeliling kediaman, langkah kaki mereka berat, namun tanpa kuasa untuk mengubah arah angin yang kini bertiup kencang ke arah kekalahannya.Bayangan kelabu senja mulai menyelimuti pelataran, menyerap sisa-sisa cahaya mentari yang enggan pergi, menciptakan ilusi dan bayangan aneh di dinding. Namun







