MasukBelum kering keringat dingin yang mengucur dari sekujur tubuh, atau air mata penyesalan dan amarah yang samar membekas di sudut-sudut mata, saat pendapa kediaman Mahamentri I Halu kembali diselimuti oleh suasana yang mencekam. Aroma cendana yang seharusnya menenangkan kini terasa pengap, bercampur dengan bau debu dan ketegangan yang masih melayang di udara. Pangeran Balaputeradewa, yang baru saja selesai menuntaskan percakapan penting yang mengguncang jiwanya—serta sebagian kecil hatinya yang tersisa—berdiri terpaku di tengah ruangan, tatapannya hampa, tertuju pada pilar-pilar kokoh yang seolah mencibir kerapuhan takdirnya. Beberapa pengawal pribadinya masih berpatroli di sekeliling kediaman, langkah kaki mereka berat, namun tanpa kuasa untuk mengubah arah angin yang kini bertiup kencang ke arah kekalahannya.Bayangan kelabu senja mulai menyelimuti pelataran, menyerap sisa-sisa cahaya mentari yang enggan pergi, menciptakan ilusi dan bayangan aneh di dinding. Namun
Siang itu, matahari menggantung tepat di atas cakrawala Medang, memancarkan panas yang menyengat kulit. Lembah dan perbukitan diselimuti keheningan yang tebal, seolah alam pun turut menahan napas dalam suasana mencekam. Namun, di dalam pendapa kediaman Mahamentri I Halu, hawa yang terasa justru jauh lebih dingin dari es, merayapi setiap sudut dan menusuk hingga ke relung jiwa. Permadani indah yang terhampar dan ukiran-ukiran megah di tiang kayu tidak mampu menghalau sensasi dingin yang ganjil itu.Pangeran Balaputeradewa, putra mahkota Kerajaan Sriwijaya dan menantu agung di tanah Medang ini, terpaku menatap istrinya, Mayang Salewang, yang sedang merapikan beberapa kain sutra halus dan perbekalan secukupnya ke dalam buntalan. Gerakannya tenang, efisien, nyaris tanpa suara. Wajah wanita itu datar, tanpa ekspresi berlebihan, namun matanya yang menatap jauh ke arah jendela pendapa memancarkan kekecewaan yang demikian mendalam, seolah ribuan impian telah pecah berkeping-keping di dasar bo
Suasana di bangsal pribadi Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa mendadak diselimuti aura mencekam, tatkala daun pintu berukiran naga emas itu tergeser paksa dengan hempasan keras. Tanpa ada pengumuman terlebih dahulu dari para pengawal yang berjaga, Wiku Sasodara melangkah masuk dengan jubah saffron yang masih memikul jejak debu, saksi bisu dari pertempuran sengit di wilayah Bhumi Sambhara. Setiap langkahnya dipenuhi kewibawaan yang berat, seolah menyisakan getaran kemarahan di udara.Di belakang Sang Wiku, dua orang pengawal yang memiliki postur kekar menyeret seonggok tubuh yang lunglai, bersimbah darah mengotori kain brokat mewah bangsal itu. Dengan satu sentakan kuat yang nyaris brutal, Sasodara melemparkan tubuh tak berdaya itu ke lantai pualam yang dingin, tepat di hadapan kaki Balaputeradewa. Suara benturan yang diikuti oleh rintihan lirih mengoyak ketenangan. Itu adalah Sriti, Pemimpin Sanditaraparan wanita, yang kini terkulai lemah, napasnya tersengal akibat hantaman Sin
II. Duel Para Panglima dan Astra Kenanga di Hutan TambanganSementara di kaki bukit Sambhara drama penentuan takdir bergejolak, jauh di dalam rimba keramat Hutan Tambangan, dentuman tenaga dalam bergaung hebat, meruntuhkan keheningan yang mistis. Jentra Kenanga, Panglima Bala Bhumi yang dihormati, dan Kunara Sancaka, Panglima Bala Samudra yang berkhianat, terlibat dalam pertarungan yang intens dan setara. Mereka berdua, bagaikan cermin satu sama lain, memamerkan keahlian bertarung yang tiada tanding, sebuah hasil didikan militer kerajaan Medang yang sama. Sejak kecil, mereka berlatih di bawah bimbingan guru yang sama, menguasai ilmu yang sama, namun kini berdiri sebagai musuh bebuyutan.Setiap serangan telapak tangan mereka menghantarkan gelombang energi. Baruna Warih dan Tapak Segara, dua ajian inti militer kerajaan yang mereka kuasai dengan sempurna, saling beradu dengan kecepatan yang menakjubkan, menciptakan pusaran energi di antara mereka. Benturan tenaga dalam itu menggerus bumi
Pada sebuah pagi yang kelabu, tatkala sang surya enggan memancarkan cahayanya secara penuh, takdir Medang terayun pada seutas benang tipis yang hampir putus. Di dua medan pertempuran yang terpisah oleh hamparan bukit dan rimba, badai dahsyat bergolak, siap mengubah peta kekuasaan. Di kaki Bhumi Sambhara, fondasi agung sebuah monumen spiritual yang kelak akan megah bernama Borobudur, pertarungan antara elemen angin dan air pekat mengukir takdir. Serentak, di kepekatan Hutan Tambangan, dua sosok panglima besar mengadu keampuhan ilmu kanuragan yang selama ini tersimpan rapat sebagai rahasia militer kerajaan. Setiap tarikan napas dan hentakan langkah dalam pertarungan-pertarungan ini, disadari atau tidak, akan menentukan wajah masa depan negeri yang dicintai.I. Amuk Sriti dan Keteguhan Rahastya di Bhumi SambharaPelataran candi yang masih dalam tahap pembangunan, berdebu dengan sisa-sisa pekerjaan tukang batu, seketika menjadi arena pertarungan yang sengit. Sriti, pemimpin Sanditaraparan
Kabut tipis menyelimuti Hutan Tambangan yang agung, memeluk rapat batang-batang pepohonan raksasa dan menyisir lembah-lembah sunyi di lereng suci Gunung Kawi. Atmosfer pagi yang sejuk nan damai membungkus area itu, menjanjikan ketenangan spiritual bagi siapa pun yang melintasi jalurnya. Di bawah pengawalan ketat, langkah-langkah halus namun penuh tekad terdengar, menembus kerapatan semak belukar dan dedaunan yang basah. Dyah Pramodhawardhani, Putri Mahkota Medang yang jelita, maju dengan penuh kehati-hatian, busana kebesarannya tak mengurangi kelincahannya melangkahi akar-akar kuno yang melintang. Misinya pada hari ini adalah sebuah perjalanan yang melampaui kepentingan duniawi, melainkan sebuah ritual spiritual dan simbolis yang dalam. Ia harus menemukan biji benih dari pohon Mahkota Dewa yang langka, serta bibit-bibit istimewa dari pohon Sri Gading, Dewandaru, dan Dewaretna—tanaman-tanaman suci yang menyimpan daya luhur dan diberkahi oleh para dewata."Kita tidak boleh hanya asal me







