MasukUdara dingin pegunungan Sadara menyergap rombongan yang baru tiba dari hiruk pikuk kota Medang. Kudah-kuda yang mereka tunggangi terengah, kepulan embun keluar dari lubang hidung mereka yang lelah. Meski telah menjelang tengah malam, Vihara Sadara tidak sepenuhnya sepi. Beberapa pelita temaram menghiasi pelataran batu, melukiskan siluet pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin malam.Di balik gerbang kayu ukiran sederhana, tiga sosok tegap berdiri menyambut. Mereka adalah Jentra Kenanga sang panglima elite yang tersembunyi identitas aslinya, ditemani istrinya yang tak kalah tangguh, Candrakanthi, serta sang penasihat paling jenaka di seluruh Medang, Gagak Rukma. Langkah mereka berbalut rasa lelah namun penuh determinasi, menyusuri bebatuan licin yang mengarah ke bangunan utama vihara.Namun, di antara bayangan temaram, ada yang tidak biasa. Rahastya, sang biksu yang terkenal dengan kekhusyukannya, berdiri tegak menyambut, namun bukan dalam jubah keagamaannya. Matanya membelalak k
Halaman belakang istana Mataram Kuno diselimuti rembulan, membiaskan siluet pohon kemboja yang menjulang ke angkasa. Udara malam yang semestinya membawa ketenangan, kini terasa menghimpit, penuh ketegangan yang pekat. Kemarahan yang meluap dari sosok tegap itu bukanlah sekadar amarah seorang prajurit yang tunduk pada titah, melainkan gemuruh batin seorang pria yang merasa seluruh pengorbanan masa lalunya telah diinjak-injak dengan congkak. Tumenggung Gagak Rukma, komandan terpercaya, mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih pasi, menunjukkan betapa hebatnya badai yang bergejolak dalam sanubarinya. Matanya yang tajam berkilat-kilat, menyimpan kobaran amarah yang tertahan, nyaris membakar kegelapan di sekelilingnya.Bagi Gagak Rukma, rencana Pangeran Balaputeradewa untuk menikahi Dyah Pramodawadhani bukan sekadar manuver politik demi stabilitas kekuasaan Mataram, melainkan sebuah pengkhianatan keji yang menusuk ulu hatinya. Itu adalah sebuah penghinaan terhadap Mayang Salew
Di sebuah bilik di kedalaman kompleks istana, tersembunyi dari hiruk-pikuk persiapan Sayembara, Pangeran Balaputeradewa duduk berhadapan dengan Panglima Besar Kunara Sancaka. Ruangan itu diselubungi tirai tebal dan dinding berukir relief candi kuno, menciptakan suasana formal yang hening, nyaris menakutkan. Aroma dupa hio tipis menguar, berpadu dengan ketegangan yang menyelimuti dua sosok penting Wangsa Syailendra ini. Pangeran Balaputeradewa duduk tegak di singgasana mini, tatapannya setajam elang, memantulkan ambisi yang membara. Di hadapannya, Sancaka berdiri, punggungnya lurus namun kepalanya sedikit menunduk hormat, sorot matanya mengantisipasi perintah sang Pangeran.“Sancaka,” bisik Balaputeradewa, suaranya pelan namun mengandung intonasi perintah mutlak, nyaris menusuk dalam keheningan yang menyesakkan. “Kita telah mencermati jalannya Sayembara ini. Telah terlalu lama aku menunggu kesempatan. Segala cara halus telah kuupayakan, namun Dyah Pramodawadhani seolah selalu luput dar
Cengkeraman tak terlihat namun terasa dari Panglima Besar Kunara Sancaka membalut ruang singgasana. Pangeran Balaputeradewa, duduk di kursi kehormatan yang sejatinya melambangkan otoritasnya, justru merasa dikepung oleh ambisi militer Sancaka yang menyala-nyala. Desakan sang panglima agar segera melancarkan serangan terhadap kelompok Walaing di Gunung Sadara bukanlah sekadar laporan taktis; itu adalah sebuah ultimatum, ancaman terselubung bahwa kekuatan militer yang kini melayani Balaputeradewa dapat sewaktu-waktu berbalik, menjadi alat di tangan individu dengan hasrat kekuasaan yang tak kalah besar darinya.Namun, bahaya tak hanya datang dari gema genderang perang di perbatasan; intrik istana, di mana kepercayaan adalah komoditas langka, jauh lebih mematikan. Balaputeradewa sadar, ancaman terbesar kadang-kadang datang dari ambisi para pembantu terdekatnya, termasuk Sancaka sendiri, yang kini menuntut aksi militer dengan pandangan tajam penuh kesatria namun juga sarat nuansa keangkuha
Tahun-tahun telah berlayar seperti perahu-perahu layar dagang di Laut Jawa, membawa serta perubahan dan pertumbuhannya sendiri.Meskipun demikian, kekuasaan Pangeran Balaputeradewa di bhumi Medang tidaklah seaman atau sekokoh citra seorang mahamentri agung. Kendati sang Mahamentri mendapatkan dukungan penuh dari kakak iparnya yang mulia, Maharaja Samarattungga, dan dilayani dengan kesetiaan oleh permaisurinya, Mayang Salewang, dasar-dasar stabilitas kekuasaannya senantiasa bergoyang di tengah ombak intrik dan ambisi yang tiada henti. Aula Paringgitan di kompleks kedaton seringkali menjadi saksi bisu atas kegalauan hati sang pangeran.Pada suatu pagi yang basah oleh embun, namun panas oleh urusan negara, Pangeran Balaputeradewa duduk di singgasana agungnya, diapit oleh patung-patung dewa pelindung yang terukir dengan megah. Sorot matanya menunjukkan beban berat pikiran, melayang jauh dari gemerlap ukiran emas di sekitarnya. Di hadapannya, terhampar dua permasalahan mendesak yang seolah
Mpu Panukuh, setelah melalui serangkaian pertimbangan mendalam dan mengambil keputusan signifikan mengenai penyelenggaraan Sayembara untuk Bhumi Sambhara Budura dan ketentuan pernikahannya, kini melanjutkan perjalanannya ke arah selatan. Beliau ditemani oleh dua pengawal setianya yang tangguh, Wulung dan Mahesa Seta, yang tak pernah lelah mendampingi langkahnya.Tujuan mereka jelas: mendekati lokasi yang dipercayai sebagai persemayaman agung Bhumi Sambbara Budura, sebuah cita-cita luhur yang kini menjadi titik tumpu setiap tekad dan pengorbanannya. Senja mulai berlabuh tatkala mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah pesanggrahan sederhana, yang terletak di pinggiran tenang, tak jauh dari salah satu anak Sungai Watangan yang mengalir perlahan. Udara petang merangkul pepohonan, menghadirkan kedamaian semu di tengah gejolak hati dan pikiran yang berkecamuk dalam dada sang pangeran.Sore itu, saat hidangan sederhana namun mengenyangkan tersaji di hadapan mereka, Mpu Panukuh secara t







