Home / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 5 : Pelarian Yang terkepung

Share

Bab 5 : Pelarian Yang terkepung

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-15 19:11:13

Pertempuran dahsyat antara Medang dan Walaing telah meluluhlantakkan istana, mengubahnya menjadi medan kematian yang dipenuhi jeritan dan auman prajurit. Di tengah kekacauan ini, sekelompok kecil pelarian dari Kerajaan Walaing berjuang keras untuk keluar. Rombongan ini dipimpin oleh Gusti Ayu Mayang Salewang yang perkasa, Mpu Kumbhayoni yang terluka parah, serta Pangeran Talang Wisang, pewaris takhta yang keselamatannya vital bagi kelangsungan kerajaan Walaing. Mereka, bersama pengikut setia seperti Megarana, Wiyuhmega, dan Laturana, bergerak tertatih-tatih di antara puing dan genangan darah, digerakkan oleh asa untuk lolos dari bahaya yang mengancam dan menyelamatkan masa depan Walaing yang kini di ambang kehancuran total.

Sementara itu, di medan laga utama, gemuruh pertempuran tak kalah mengerikan. Mpu Rahagi dan Mpu Regdaya, Rakai Walaing Sepuh yang melegenda, masih bertarung sengit melawan para panglima Medang. Mpu Rahagi, dengan jurus lincahnya, berhadapan langsung dengan Cangak Sabrang dan Dandang Wilis, yang melancarkan serangan bergelombang tanpa henti. Tak jauh dari sana, Mpu Regdaya dengan konsentrasi penuh melawan Kunara Sancaka, seorang kesatria Medang yang dipersenjatai pusaka sakti Guntur Sangara. Senjata itu tak hanya melancarkan serangan dahsyat berupa halilintar air dan api, tetapi juga setiap lecutannya menimbulkan gema yang meruntuhkan semangat lawan, menciptakan pusaran energi yang nyaris tak terbayangkan.

Di tengah situasi yang kacau-balau, terlihat sosok Rukma, salah satu punggawa utama Medang, telah berhasil meringkus Sri Gunting, punggawa Walaing. Dengan cekatan ia melancarkan jurus pamungkasnya, "Ilat Banyu," yang membekukan pergerakan Sri Gunting tanpa merenggut nyawanya, menuruti perintah Baginda Raja Medang agar musuh tertangkap hidup-hidup.

"Kemana yang lainnya?" Jentra, rekan sesama punggawa Medang, menghampiri Rukma dengan raut gusar.

Rukma menunjuk ke arah celah tersembunyi dekat reruntuhan gapura utama. "Kurasa mereka mencoba melarikan diri melalui gua bawah tanah istana, Kakang Jentra. Celah itu mungkin sudah dirancang khusus sebagai jalur pelarian terakhir yang dirahasiakan," jelasnya.

"Gua bawah tanah?" Jentra mengulang, menyadari implikasi penting dari penemuan ini. "Apakah itu menuju gerbang rahasia, gerbang pelarian mereka?"

"Benar sekali, Kakang. Itu jalur pelarian ke wilayah lainnya, jauh dari jangkauan kita," sahut Rukma. "Jika mereka mencapai sana, semua upaya kita akan sia-sia. Kita harus segera mencegah mereka meloloskan diri. Pangeran Talang Wisang pasti ada di antara mereka. Keberadaannya sangat krusial bagi kelangsungan Walaing dan penundukannya."

"Begitu," Jentra menyeringai. "Aku akan mengejar Pangeran muda Walaing itu sendiri. Ini adalah kesempatan emas!"

Namun, Rukma menggeleng pelan. "Biar aku saja, Kakang. Ada alasan khusus mengapa saya ingin menghadap mereka sendiri." Ia memegang gagang pedangnya, sorot matanya tajam. "Pangeran Talang Wisang adalah mangsa utama Baginda Raja. Beliau menginginkannya hidup-hidup, namun ada nuansa tertentu dalam penangkapannya yang hanya bisa kuselesaikan secara pribadi. Biarkan hamba yang menuntaskannya, Kakang, sesuai dengan titah Baginda."

Jentra mengamati Rukma sejenak, wajahnya menunjukkan perenungan. Ia akhirnya mengangguk, menyadari ada rencana tersembunyi. "Baiklah jika demikian. Hati-hati, Rukma. Putri Walaing itu, Gusti Ayu Mayang Salewang, bukan gadis sembarangan sama sekali. Kekuatannya konon sebanding, bahkan melampaui seorang Mpu."

"Saya menyadari itu sepenuhnya, Kakang," jawab Rukma penuh keyakinan. Dengan langkah sigap, ia segera bergegas, memimpin lima belas orang bawahannya menyusul. Mereka bergerak cepat dan tanpa suara. Tak berapa lama, dari kejauhan, Rukma melihat rombongan kecil yang hendak melarikan diri tersebut, bergerak tertatih-tatih di koridor belakang istana yang gelap, tak jauh dari mulut gua bawah tanah yang menjadi tujuan terakhir mereka. Sebuah seringai dingin terukir di wajah Rukma, yakin targetnya tak akan luput.

"Berhenti!" Teriak Rukma, suaranya menggelegar memenuhi lorong, seraya memposisikan diri menghadang jalan rombongan kecil itu. Ia berdiri tegak dan perkasa, memblokir akses ke gua yang gelap, menutup rapat harapan pelarian mereka.

Melihat Rukma, Mayang Salewang meledak dalam kemarahan. "Ahh, lagi-lagi kau! Tak punya martabatkah kau menyerang punggawa yang sudah pincang?" Mayang memandang Mpu Kumbhayoni, sorot matanya menyiratkan kepedihan atas keadaan gurunya yang terluka parah.

Rukma tersenyum simpul, menikmati kejengkelan di wajah sang putri. Ia melangkah maju perlahan. "Ahhh, rupanya Gusti Ayu pun sangat licin. Hamba selalu takjub akan kelihaian Tuan Putri meloloskan diri. Namun, saya pastikan pelarian ini akan segera berakhir di sini. Adalah suatu kehormatan bagi hamba untuk kembali berkesempatan memboyong Tuan Putri yang mulia ini ke hadapan Baginda Raja kami. Beliau tak sabar menanti persembahan semulia Tuan Putri." Kata-kata Rukma mengandung ejekan dan ancaman tersembunyi.

"Omong kosongmu terlalu busuk untuk didengar, Panglima!" cetus Mayang dengan murka, dadanya bergemuruh menahan amarah. Ia tahu betul apa yang dimaksud "persembahan" itu – takdir yang lebih buruk dari kematian. "Kangmas Kumbhayoni," seru Mayang, nadanya penuh tekad dan perintah yang tak terbantahkan. "Pergilah dulu! Bawa Talang Wisang menjauh dari sini, cepatlah! Jangan sia-siakan kesempatan emas ini, ini semua demi kelangsungan Walaing!" Matanya menatap Mpu Kumbhayoni dengan sorot yang dalam, seolah mengatakan, 'Kita harus menjaga tunas penerus tahta! Keselamatan pangeran adalah segalanya!' "Aku akan menahan mereka di sini! Aku akan menjadi perisai terakhir kalian, hidup atau mati!" Tanpa menunggu balasan, ia melangkah maju.

Mpu Kumbhayoni, walau dengan hati berkeberatan dan penuh sesal, akhirnya mengangguk mengiyakan. Ia mengerti sepenuhnya strategi pengorbanan Mayang demi keselamatan Talang Wisang dan masa depan Walaing. Bersama Megarana dan Wiyuhmega, ia bergegas lari membawa Pangeran Talang Wisang memasuki kegelapan gua bawah tanah, menjauh secepatnya dari pertempuran yang akan datang. Sementara itu, Laturana dengan gesit memutar balikkan badannya, mengambil posisi strategis di belakang Mayang. Dengan gagah berani ia menghadang kelima belas anak buah Rukma, menciptakan penghalang hidup agar mereka tidak dapat mengejar tuannya yang baru saja kabur, siap mempertaruhkan nyawanya sendiri demi memberi waktu berharga bagi Talang Wisang.

Mayang Salewang kembali berhadapan satu lawan satu dengan Rukma, matanya masih memancarkan api perlawanan yang tak padam. Namun, kali ini jurus "Ilat Banyu" milik Rukma bergerak jauh lebih cepat, lebih dingin, dan mematikan. Seperti lidah air raksasa yang hidup, haus, dan tak terhentikan, jurus tersebut dengan segera membungkus, menggulung, dan membekukan tubuh sang putri perkasa itu. Usaha Mayang Salewang untuk melepaskan serangan Tapak Geninya, untuk sekadar memantik bara perlawanan terakhirnya, gagal total.  Dalam sekejap, sang putri gagah berani terperangkap dalam pelukan dingin yang mencengkeram erat. Ia membeku, tak berdaya di hadapan Rukma. Langkah-langkah kaki Talang Wisang dan Mpu Kumbhayoni semakin jauh terdengar, berangsur menghilang di kedalaman gua, disusul oleh ratapan kesedihan Laturana yang menyaksikan takdir pahit Mayang Salewang. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status