Home / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 6: Jurang Tanpa Kembali dan Tangan Takdir

Share

Bab 6: Jurang Tanpa Kembali dan Tangan Takdir

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-15 20:01:44

I

Hentakan mendadak konvoi mengagetkan semua orang. Tebing Banyu Nibo, namanya saja sudah horor, dengan cerukan menganga bak rahang monster purba yang siap menelan apa saja. Di sinilah, sesosok bayangan putih melayang, menjemput takdir yang dipilihnya sendiri. Jemari Rukma hanya berhasil menangkap kehampaan saat Mayang Salewang melepaskan diri, terjun bebas menuju kehampaan di bawah sana. Raungan pilu menembus kabut lembah, merobek hati Sri Gunting yang masih dalam cengkeraman ketat prajurit Medang. Ia terbelalak melihat kakaknya yang hilang ditelan jurang. Dalam detik-detik mengerikan itu, dorongan naluri bunuh diri itu begitu kuat. Hampir saja Sri Gunting turut mengikuti jejak Mayang jika bukan karena lengan kekar Jentra menahan pergerakannya, melarangnya melompat dari kematian satu ke kematian lainnya.

"Lepaskan aku! Aku harus ikut Kak Mayang!" jerit Sri Gunting, meronta tak berdaya dalam pelukan Jentra yang seperti taring macan. Matanya kosong, tubuhnya lemas. Ia tidak bisa membayangkan dunia tanpa Mayang, kakaknya yang selalu melindunginya, kakaknya yang kini menjadi korban terakhir dari pilihan tragis.

Jentra hampir mengutuk di dalam hati. Sial! Satu putri bunuh diri sudah cukup untuk membuat reputasi pasukannya compang-camping, ini adiknya hampir menyusul. Apa kata maharaja nanti kalau ia pulang membawa laporan bahwa dua putri sekaligus main lompat tebing? Konon itu tradisi keluarga bangsawan Walaing untuk tetap tegak. Bahkan untuk melawan musuhpun dengan sikap terhormat dan harga diri.

Tapi ia juga tidak bisa membiarkan adegan tragis ini terulang. Tugas utamanya sekarang adalah menyelamatkan gadis yang di tangannya ini, entah bagaimana caranya. 

"Tenanglah, Putri!" suara Jentra mendadak berubah sedikit lebih lembut, bercampur kepastian yang jarang ia tunjukkan. Ia menggenggam erat lengan Sri Gunting. "Kau tidak akan mengikuti takdir tragis itu. Percayakan ini padaku. Aku yang akan menjamin kau tidak akan diserahkan pada orang sembarangan. Itu janjiku sebagai seorang panglima."

Tepat pada saat-saat menegangkan itu, sebuah suara cempreng menyentak suasana sunyi. Sesosok lelaki gundul muncul dari balik barisan. Ia melingkarkan lengan panjangnya di leher seorang lurah prajurit yang tegang, tampak santai seolah baru pulang dari piknik, bukan dari medan perang yang berdarah-darah. Sebuah batang ilalang bergoyang di antara bibirnya yang menyeringai licik. Dia adalah Wiku Amasu, panglima senior lain dari pihak penyerbu, terkenal dengan mulut manis namun usilnya sering kelewat batas.

"Aahhh, sayang sekali Rukma," Wiku Amasu memulai, tanpa basa-basi tragedi Mayang, "Yang itu cantik sekali, sungguh pemandangan langka. Andai aku yang lebih cekatan, mungkin tidak perlu menyusahkan diri mencari yang lain."

Rukma hanya mendengus. Wajahnya yang sebelumnya penuh ketegangan, kini ditekuk malas. Ia terlalu lelah untuk berdebat dengan Wiku Amasu yang selalu melihat semua wanita sebagai "harta karun" yang perlu ditaklukkan.

"Mungkin itu bagian takdirku!" Tukas Rukma sinis.

"Boleh juga kalau adiknya yang manis ini. Ya, untuk kau boleh juga Rukma!" Wiku melanjutkan, tanpa kehilangan senyum ilalangnya. Pandangannya beralih pada Sri Gunting yang masih tergugu dalam pelukan Jentra, seolah menimbang-nimbang kualitas 'barang dagangan'. "Dia sangat manis, sayang kalau jatuh ke tangan yang tak layak, kan? Yang tua memilih mati karena keangkuhan tapi yang ini tidak!"

Jentra hampir mendengus keras. Ini Wiku Amasu, memang dia terkenal kurang ajar di depan Panglima lainnya tapi juga tak takut kepada siapapun bahkan Sang Maharaja. Bahkan kepada Sri Kunara Sancaka sendiri. Omongan seperti sampah adalah biasa baginya, tak mengenal tempat. Terkesan sangat ramah kepada siapa saja, selalu berucap manis, bahkan memberi dukungan tapi tak dapat dipungkiri kadang membuat siapapun geli dan ngeri sekaligus.

"Aku akan ikut memohonkan pada maharaja kalau kau mau, Rukma," sambung sang Wiku, mengedipkan mata licik pada Sri Gunting seolah putri itu hanyalah seekor kelinci yang siap ditawarkan di pasar. Mata sang Wiku yang kerlingkan ke arah Sri Gunting menunjukkan ia seakan-akan merendahkan derajat putri Walaing ini. 

Pernyataan Wiku Amasu itu seperti percikan api pada jerami kering yang disiram bensin. Mata Sri Gunting yang tadinya memancarkan kesedihan, kini menyala api amarah. Ia bukan barang, bukan pula hadiah bagi prajurit berwajah keruh yang kini tersipu-sipu mendengar ucapan Wiku Amasu.

"Tidak sudi!" ucap Sri Gunting tegas, melesakkan kata-kata itu dengan kekuatan yang mengejutkan dari seorang gadis yang baru saja kehilangan kakaknya. Matanya menusuk dingin ke arah Wiku Amasu, yang sedetik kemudian pura-pura menggaruk kepala sambil bersiul tak bersalah. Sejenak, ia seperti lupa apa yang diucapkannya sendiri. Sementara itu, sosok Sarpa, sang prajurit berwajah buruk rupa yang sejak tadi menatap penuh nafsu, mengulum senyum licik. Ini semua mengesankan semua perkataan sang Wiku bisa dia percaya, untuk mendapatkan putri manis di samping panglima gagah itu.

Jentra melotot ke arah Sarpa yang segera mengalihkan pandangannya, kemudian mendesis pelan pada Wiku Amasu. "Baik, hentikan omong kosong ini! Kita ada tugas yang lebih penting. Putri ini harus selamat sampai istana." Jentra mengernyit, merasa kepala mulai berasap menghadapi keruwetan birokrasi dan moralitas bawah tanah anak buahnya sendiri. Apalagi ia juga ikut terbawa pada situasi dilematis yang memalukannya sebagai seorang pemimpin. Dia terikat dengan Kunara Sancaka, walaupun tidak memiliki kedekatan hati. Kunara Sancaka merupakan saingannya, dan Panglima Kunara itu membenci bangsawan Sanjaya dan juga tidak mengenal ampun. Inilah kenapa hati nuraninya kadang terluka melihat Kunara Sancaka bertindak brutal di medan perang yang membakar jiwanya sebagai seorang pemimpin perang yang sangat menjunjung tinggi moral, walaupun dalam misi khusus penaklukkan. Ia harus membawa para tawanan yang ditawan Kunara Sancaka untuk dihadapkan kepada Maharaja, yang akan ditawan sesuai aturan takhta kerajaannya, dengan tata krama istana dan aturan kerajaannya. Ini semua adalah misi penaklukan tetapi Jentra sadar bahwa ada intrik licik Kunara Sancaka bermain dalam semua skenario ini. Ia pun sadar Kunara Sancaka adalah seorang pribadi yang haus darah dan berdarah dingin tanpa melihat hati, semua harus dikorbankan demi kekuasaan. Tidak seperti Jentra yang masih memiliki belas kasihan.

Konvoi yang tadinya hening karena kaget kini bergerak lagi, namun suasana di dalamnya jauh lebih berat. Sri Gunting, walau tertahan, kini digiring maju, bahu putri yang bergetar menandakan pertarungan di dalam dirinya belum berakhir. Jentra melirik gadis di sampingnya. "Aku bersumpah, Putri. Aku tidak akan membiarkanmu diserahkan pada tangan-tangan serakah," bisiknya, meyakinkan lebih pada dirinya sendiri daripada pada gadis itu. Perjalanan yang berat, ke sebuah masa depan yang sama sekali tak menentu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status