Share

Titik Kelam Walaing

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 15:43:11

Kegelapan yang pekat menyelimuti Kumbhayoni, namun kesadarannya seakan menolak untuk mati. Samar-samar ia merasakan tubuhnya diseret, suara-suara panik membisik di sekelilingnya, diiringi teriakan dan dentuman yang semakin mendekat. Aroma darah dan asap menusuk hidungnya, rasa perih di lengan dan kepalanya berdenyut tak henti.

"Cepat! Sembunyikan Gusti Kumbhayoni! Jangan sampai mereka menemukan beliau!" sebuah suara wanita parau terdengar, penuh ketakutan.

"Mayang Salewang! Bagaimana dengan Puri? Bagaimana dengan Eyang dan Ayahanda?" Gumam Kumbhayoni, suaranya sendiri terdengar asing, lemah dan bergetar. Dia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa terlalu berat, dan dunia terus berputar.

"Kakak, sadarlah!" Mayang Salewang, adik perempuan Kumbhayoni, memeluk tubuh kakaknya dengan air mata membanjiri wajahnya. Aroma melati dari sang adik, bercampur dengan bau anyir darah yang menempel di pakaiannya, membuat perut Kumbhayoni bergejolak. "Puri... Puri sudah jatuh, Kakak. Kita harus pergi. Selamatkan diri kita, demi Walaing! Demi Sanjaya!"

Batin Kumbhayoni menjerit. Kejatuhan. Kata mengerikan itu. Darah Sanjaya telah tercoreng. Kilasan wajah ayahnya, Mpu Rahagi, yang tengah berjuang mati-matian, dan kakeknya Mpu Regdaya, Rakai Walaing Sepuh, yang gagah berani melawan Kunara Sancaka, terlintas di benaknya. Apakah mereka masih hidup? Atau sudah menjadi korban kegilaan pasukan Medang? Penyesalan menghantamnya begitu keras, menghancurkan sisa-sisa semangatnya.

"Ibu... di mana Ibu?" Tanya Kumbhayoni, kepanikan mendadak menyusul kesadaran. Ibunya, Dyah Dresanala, yang kerap sakit-sakitan, bagaimana nasibnya?

"Ibunda paduka sudah diselamatkan, Gusti," suara Wiyuhmega menimpali, terdengar jelas meski sedikit tersendat. "Dia sudah bersama abdi lainnya, menunggu di lorong rahasia menuju sungai bawah tanah."

Sebuah harapan tipis menyelinap di antara keputusasaan. "Talang Wisang? Di mana Talang Wisang?" Anak lelaki berusia sembilan tahun yang dianggapnya pewaris takhta Sanjaya selain Panukuh, keponakan yang selama ini diasuhnya bak putranya sendiri.

"Ada di gendongan  Megarana, kangmas," jawab Mayang Salewang, suaranya bergetar. "Dinda...Sri Tanjung ... semua... mereka tidak tertolong, Kakak. Tinggal aku dan Sri Gunting" Suara Mayang pecah menjadi isak tangis.

Darah Kumbhayoni terasa membeku. Sri Tanjung, srikandi tangguh yang selalu mendampinginya, kini tiada. Sementara hampir semua pengikut Mayang Salewang tewas mengenaskan. Perasaan kehilangan yang dalam menusuk hatinya. Pertempuran memang telah usai, namun kemenangan mereka adalah kemenangan yang hampa, berlumuran darah yang tak bersalah.

"Kita harus cepat!" Suara berat Megarana memecah kesunyian, mendesak. Bayangan tubuhnya yang tinggi besar tampak bergetar saat ia menggendong Talang Wisang, yang tampak begitu kecil dan rapuh, terisak-isak menahan tangis. Anak lelaki itu, dengan mata sembap dan wajah pucat, memandang Kumbhayoni dengan tatapan penuh ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Talang Wisang dan Panukuh adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Putra Rakai Panaraban, keturunan langsung Maharaja Sanjaya dari dua istrinya yaitu Sri Tanjung yang melahirkan Talang Wisang dan Dyah Manohara yang melahirkan Panukuh. 

 

"Kita tidak bisa membiarkan Puri Walaing jatuh ke tangan mereka," desah Kumbhayoni, suaranya lemah, namun tekad di matanya mulai menyala kembali, perlahan mengusir kegelapan yang menaunginya. Luka-luka di tubuhnya terasa berteriak, namun luka di hatinya jauh lebih menyakitkan. Dendam. Dendam membara seakan memanaskan setiap tetes darahnya. "Kita harus pergi, mencari perlindungan, lalu membangun kekuatan baru. Suatu hari, Walaing akan bangkit kembali. Sanjaya akan merebut kembali kejayaannya!"

Wiyuhmega dan Mayang Salewang saling pandang, mengangguk penuh pengertian. Mereka berdua tahu, kata-kata Kumbhayoni bukanlah sekadar janji kosong, melainkan sumpah yang akan dipegang teguh sampai akhir hayat. Tetapi lorong gelap yang mereka lewati kini mulai terisi dengan langkah-langkah kaki prajurit Medang yang semakin dekat, suara-suara garang mereka menggema memecah keheningan. Sebuah cahaya obor, meski redup, mulai terlihat di ujung koridor, menerangi siluet-siluet bersenjata yang kini tengah menyisir setiap sudut puri. Mereka ditemukan.

"Cepat! Sembunyikan mereka!" Perintah Megarana, menunjuk sebuah celah sempit di balik patung kuno. Talang Wisang, masih dalam gendongannya, memeluk leher Megarana erat-erat, wajahnya tersembunyi.

"Gusti Kumbhayoni, Anda harus masuk duluan!" seru Wiyuhmega, suaranya panik.

 

Kumbhayoni, dengan sisa-sisa kekuatannya, merangkak masuk ke celah sempit itu, merasakan setiap ototnya menjerit protes. Darah masih menetes dari lengannya, membentuk genangan kecil di lantai batu. Dari dalam kegelapan, ia mendengar jeritan Wiyuhmega yang tiba-tiba terputus, diikuti dentingan pedang. Kakaknya, Mayang Salewang, meraung marah, Ilmu Tapak Geni miliknya berpijar, menyinari lorong gelap dengan nyala api kemarahan. Apakah sisa-sisa pasukannya juga sudah gugur? Apakah kehancuran Walaing benar-benar telah mencapai puncaknya? Dan apakah mereka, yang tersisa, akan mampu bertahan di tengah kepungan yang begitu rapat? Darah terus menetes, mengering, menjadi cikal bakal dendam yang membara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status