Beranda / Historical / Bara Dendam Sang Prabu Boko / Bab 66 Pawana Sengkala 2

Share

Bab 66 Pawana Sengkala 2

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-24 21:04:47

Tiba-tiba, telinga Jentra Kenanga, yang sibuk menghindari amuk Tapak Geni, menangkap sesuatu yang tidak semestinya ada di medan perang ini. Itu bukan lagi gemuruh air atau ledakan api, melainkan suara riuh angin yang aneh dan mengerikan. Suaranya bukan berasal dari satu arah, melainkan dari delapan penjuru mata angin sekaligus. Suara itu, mulanya seperti bisikan samar, perlahan semakin lama semakin memekakkan telinga, mengalahkan semua dentuman perang yang dahsyat.

Jentra mendongak, matanya membesar penuh keterkejutan dan secuil kengerian yang menjalari hatinya. Di langit, pusaran angin besar, berwarna abu-abu gelap, mulai terbentuk. Ia berputar sangat cepat, tidak bergerak ke satu arah, melainkan menyebar dengan kecepatan yang abnormal, perlahan menyelimuti seluruh medan Karasa seperti kabut kelabu kematian yang tak terlihat namun mengerikan.

"Suara apa itu? Bukan guruh... bukan benturan elemen... ini... angin?" Jentra Kenanga menggumam pelan, wajahnya memucat pasi, keringat dingin m
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 74: Pinangan di Bawah Rembulan dan Janji yang Terukir

    Lorong waktu terasa melambat, memekatkan suasana di antara dua insan yang kini berhadapan. Rembulan bergantung anggun di langit, menaburkan sinarnya yang pucat ke balik jendela kediaman Mayang Salewang. Di bawah sorot lampu minyak yang lembut, Pangeran Balaputradewa, Mahamentri I Halu yang berkuasa, menghadap Mayang Salewang, yang dalam nama Samaran Madu Jingga. Wajahnya memancarkan ketulusan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.Pangeran Balaputradewa menarik napas dalam, membasahi bibirnya yang mendadak kering. "Madu Jingga," suaranya serak, sarat pengharapan. "Aku tahu, pertemuan kita adalah kebetulan yang aneh, seolah takdir mempertemukan kita dengan caranya sendiri. Dan mungkin, caraku mengungkapkan isi hati ini tidak seanggun syair para pujangga istana yang pandai merangkai kata-kata indah." Ia mengalihkan pandangannya sesaat. "Namun, demi dewata agung, hati ini telah berketetapan. Aku ingin engkau menjadi milikku, Madu Jingga. Secara resmi, secara sah, di hadapan hukum da

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 73: Kabar dari Jantung Medang

    Markas rahasia pasukan Watak Walaing di Pulo Watu diselimuti oleh uap lembab, sisa pertempuran elemental yang memaksa mereka mundur dari Karasa beberapa hari lalu. Tenda utama, yang berfungsi sebagai ruang strategi sekaligus tempat bermusyawarah, kini diselimuti keheningan yang tegang. Di dalamnya, Mpu Kumbayoni, pemimpin Walaing, duduk dengan tegak di tengah dua komandan setianya, Megarana dan Wiyuh Mega. Lampu minyak temaram memancarkan bayangan, menambah nuansa serius dalam pertemuan rahasia mereka.Di tangan Mpu Kumbayoni tergenggam sehelai surat yang terbuat dari kulit kambing tipis, selembar sandi berharga, diselipkan secara cermat dalam lipatan pakaian seorang kurir muda. Surat itu telah dibaca berulang kali, isinya meresapi benak Kumbayoni, membalikkan setiap strategi perlawanan yang telah mereka susun dengan susah payah. Pesan yang terkandung di dalamnya lebih dari sekadar informasi; ia adalah sepotong harapan dan dilema baru yang memaksa penyesuaian radikal."Kurir itu… Kaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 72: Harga Kepala dan Harga Cinta

    Perkemahan Sanditaraparan, Poh Pitu, Menjelang FajarCahaya keemasan fajar yang ragu-ragu mulai merayapi cakrawala, menaburkan rona samar di balik dedaunan rimba yang basah embun. Tumenggung Rukma kembali ke Perkemahan Sanditaraparan di Poh Pitu. Setelah dengan sigap memastikan Mayang Salewang terselip kembali ke biliknya tanpa satu pun mata keraton yang usil mengernyit, Rukma melesat menembus keheningan dini hari, melarikan diri dari potensi bahaya yang ia ciptakan sendiri. Jantungnya masih berdegup, entah karena larian tergesa atau antisipasi 'sesi interogasi' yang jauh lebih menyesakkan dada. Udara dingin menjelang pagi terasa menyengat di kulitnya, seolah menjadi pengingat atas dinginnya sambutan yang menanti.Ia tiba di tenda belakang, sebuah bilik sederhana. Penerangan pelita redup yang merengek menciptakan bayang-bayang menari di dinding kain. Suasana hening namun penuh tekanan. Di sana, Panglima Jentra Kenanga sudah berdiri tegak, tak ubahnya patung hidup kemarahan yang memba

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 71: Kehangatan di Balik Jeruji Besi

    Lorong-lorong batu bawah tanah Keraton Medang di Poh Pitu senantiasa diselubungi bau apek dan lembap yang khas, dingin menusuk tulang, serta sunyi mencekam. Hanyalah pijar obor yang muram dan sesekali kedipan kalelawar yang terbang rendah menjadi saksi bisu dari jeruji besi yang mengurung berbagai rupa derita.Pada malam yang diselubungi kerudung rahasia, Rukma melangkah tegap, kunci-kunci penanda kedudukannya sebagai Tumenggung menggantung di pinggangnya, berdenting pelan berirama dengan detak jantung Mayang Salewang yang berpacu di sampingnya. Dengan sigap, Rukma mengarahkan anak kunci yang tepat ke gembok gerbang besi salah satu sel, membuka tirai gelap yang selama ini menahan Mpu Rahagi dan adiknya, Srigunting.Mayang, tanpa membuang waktu, segera berlari memasuki sel. Mpu Rahagi, ayahnya, terbaring lemah di atas tikar jerami. Wajahnya, yang selama ini ia kenang dengan keanggunan seorang bijak bestari, kini terlihat jauh lebih tua dan letih, dengan garis-garis kepedihan dan beban

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 70: Jalan Tikus dan Bayangan Pengkhianatan

    Bilik Pesanggrahan Randugumbolo, Tengah MalamKeheningan yang mencekam kembali menyelimuti bilik Mayang Salewang. Kini rasanya jauh lebih pekat, lebih berbahaya. Langkah kaki Pangeran Balaputradewa sudah lama menjauh, lenyap ditelan pekatnya malam.Dari sudut bilik yang gelap, Tumenggung Rukma perlahan keluar dari persembunyiannya. Ia bersembunyi di balik tumpukan guci-guci tanah liat antik yang tertutup kain tebal. Keringat dingin membasahi jubah Sanditaraparannya. Nyaris. Kecerobohan tadi hampir saja membuat seluruh rencana ini—yang dipertaruhkan dengan nyawa—berantakan. Ia mendongak, matanya bertemu dengan Mayang yang sudah siap, dalam pakaian serba gelap, berdiri menunggunya dengan napas tertahan."Mayang," bisik Rukma, nadanya mendesak, segera menghampiri mantan istrinya itu. "Kita bergerak sekarang. Jangan beri siapapun kesempatan untuk mencium gelagat aneh."Mayang mengangguk mantap, matanya bersinar penuh tekad di bawah kerudung hitamnya. "Aku siap, Kakang."Rukma meraih tanga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 69 Pujian Mematikan

    Mayang Salewang, dengan ketenangan yang dipaksakan dan anggun, segera melangkah keluar, menghalangi pandangan Mahamenteri ke dalam paviliun. Ia harus mengalihkan perhatian Mahamenteri Ihalu dengan cepat dan efisien, seolah nyawanya bergantung pada ketangkasannya itu. Di balik ketenangan di wajahnya, Mayang Salewang merasa kepalanya berputar, seolah sebentar lagi ia akan pingsan karena takut dan cemas yang mendalam. Ini adalah tugas terbesar dalam hidupnya, melebihi latihan atau ritual apapun."Mahamenteri yang mulia," katanya dengan suara yang lembut namun tegang, menekan setiap kata agar terdengar alamiah dan wajar. Ia memberikan sembah. "Mohon maafkan hamba, Tuanku. Gerbang ini tertutup bukan karena tidak hormat atau lancang, melainkan karena hamba mendengar berita yang tak mengenakkan tentang perang di Karasa dan hamba tengah memohon doa keselamatan para dewa untuk keberhasilan Medang. Sungguh hati hamba ini muram. Duduklah, Tuanku, izinkan hamba memijat bahu dan kakimu yang mulia,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status