Share

2 - Begal Ranajaya

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2024-08-09 22:32:07

Surajaya alias Begal Surajaya adalah gembong rampok paling ditakuti dari Alas Kampak di kawasan barat daya Jenggala. Gerombolannya kerap melakukan kejahatan di kampung-kampung dan juga di jalan-jalan dekat hutan di sekitaran kaki Gunung Kawi.

Berkali-kali Kerajaan Jenggala mengirim sepasukan kecil prajurit untuk menumpas gerombolan rampok itu, tetapi tak pernah berhasil. Pada pengiriman pasukan penumpas yang kesekian beberapa pekan lalu, Seta ikut di dalamnya.

Kali itu para prajurit Jenggala berhasil menggulung gerombolan rampok Alas Kampak. Nama Seta lantas mencuat dan dipuja-puji karena dirinyalah yang mengalahkan Surajaya.

Keberhasilan itu membuat sang prajurit mendapat anugerah kenaikan pangkat lebih cepat. Dari seorang prajurit rendahan, menjadi wira tamtama.

"Kau tampak terkejut, Seta," ujar lelaki bengis saudara Surajaya.

Seta kertakkan rahang. Sang prajurit sebetulnya sudah tak sabar ingin bertindak, melabrak ketiga lelaki tersebut. Namun ia tak boleh berlaku gegabah atau keselamatan simbok pemilik warung jadi taruhannya.

"Apapun yang kalian inginkan dariku, lepaskan dulu simbok ini. Aku rasa dia tak ada sangkut-pautnya dalam permasalahan antara kita," ujar Seta kemudian. Tentu saja ia tak mau si wanita pemilik warung ikut celaka karena urusan pribadinya.

Lelaki di hadapan Seta mendengus pendek.

"Huh, betapa beraninya kau memerintah kami, prajurit setan alas! Ada sangkut-pautnya atau tidak bukan kau yang menentukan, tapi aku!" bentaknya.

Usai berkata begitu lelaki berwajah bengis tersebut beri isyarat tangan pada dua lelaki di belakangnya.

Kedua lelaki yang memegangi simbok pemilik warung seketika tertawa-tawa begitu melihat isyarat tersebut. Lalu tanpa disangka-sangka, dalam satu gerakan sangat cepat lelaki yang memegang parang besar tarik tangannya ke belakang.

Sreeett! Craasss!

Mata tajam senjata tersebut tanpa ampun menggorok leher wanita pemilik warung! Tak ada jeritan. Hanya terdengar suara keluhan tertahan, kemudian disusul mengucurnya darah segar dari luka menganga di leher si wanita paruh baya.

Ketika dua lelaki yang menyanderanya melepaskan pegangan, tubuh simbok pemilik warung melosoh jatuh ke lantai tanah. Berkelojotan sebentar dengan sepasang mata mendelik, lalu diam tak bergerak. Darah berceceran di mana-mana.

Kesabaran Seta habis sudah. Tangan kanannya yang sedari tadi sudah menggenggam gagang pedang bergerak.

Sreeet! Senjata itu pun dicabut dari warangka, terhunus lurus di depan dada.

"Keparaaaatt!" pekik Seta dengan amarah memuncak.

Sembari menggeram keras tubuh sang wira tamtama melesat ke depan, menyerbu tiga lelaki jahanam yang sedang tertawa-tawa senang di dekat mayat simbok pemilik warung.

Pedang di tangan prajurit Panjalu tersebut disabetkan ke muka dengan sepenuh tenaga.

"Hiaaaatt!"

Wuuuutt! Wuuuutt! Wuuuutt!

Tiga lelaki berwajah ganas sambut sabetan pedang Seta sambil ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah sang wira tamtama Jenggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.

Sembari terus tertawa, dua lelaki yang masih bertangan kosong sigap mencabut parang besar dari dalam warangka yang tergantung di pinggang mereka.

Sreett! Sreett!

Lalu kejap berikutnya lelaki yang berdiri paling depan gerakkan senjata di tangannya dengan cepat. Parang besar berkiblat menangkis datangnya serangan.

Traaangg! Traaangg!

Suara berdentrangan keras terdengar manakala mata pedang Seta menghantam parang lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara siang yang panas.

Wajah Seta mengernyit. Tangannya yang memegang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.

Tapi sang prajurit Jenggala yang sudah dibakar amarah itu tidak peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar tiga sabetan sekaligus ke muka.

Wuuuutttt! Wuuuutttt! Wuuuutttt!

Lelaki yang diserang menyeringai. Parang besar kembali digerakkan menangkis sabetan pedang. Suara dentrang beradunya senjata sekali lagi memenuhi udara siang.

Tukar-menukar serangan di antara mereka berlangsung dengan sengit. Seisi warung makan dibuat porak poranda. Benda-benda berpentalan akibat terkena sambaran gerakan mereka, atau bahkan hanya hempasan anginnya.

Dalam dua jurus berselang, terlihat bahwasanya Seta memiliki kemampuan sedikit lebih unggul dari lawan. Sekali-dua prajurit Jenggala itu bahkan nyaris berhasil menyarangkan tusukan atau sabetan pedangnya ke tubuh lawan.

"Sebelum nyawa busukmu aku buat lepas dari badan, sebutkan siapa namamu!" seru Seta.

Belum lagi mulutnya menutup, tubuh wira tamtama Kerajaan Jenggala itu sudah melesat ke depan dengan sebelah kaki terjulur lurus. Seta lancarkan satu tendangan maut yang diarahkan ke dada lawan.

Wuuuutttt!

Suara angin menderu terdengar bersamaan dengan meluncurnya kaki Seta. Tentulah tendangan yang dilancarkan sang prajurit dialiri tenaga dalam tinggi. Sampai lawannya lengah dan kena hantaman tendangan itu, tulang dadanya dijamin jebol berantakan.

Yang diserang mendengus keras. Tentu saja lelaki yang ingin balas dendam itu tak mau mati konyol.

Dengan sigap lelaki bertampang ganas membuang tubuh ke samping untuk menghindari tendangan. Setelah bersalto dua kali di udara, kedua kakinya mendarat mantap di tanah.

"Prajurit besar mulut! Jangan harap kau dapat mengungguli aku," makinya seraya memandang tajam pada Seta.

"Tapi memang ada perlunya kau ingat namaku baik-baik," sambung lelaki itu. "Dengar, wahai prajurit, namaku Ranajaya. Aku datang untuk membalaskan kematian Surajaya!"

Usai berkata begitu, lelaki bercambang bauk lebat hentakkan sebelah tangannya ke depan. Mulutnya keluarkan satu geraman keras.

Bersamaan dengan itu selarik sinar kehitaman nan terang menyilaukan mata, keluar dari telapak tangan si lelaki. Melesat cepat ke arah Seta.

Wuuuuss!

Suara bergemuruh terdengar, seolah Gunung Kawi tengah meletus hebat. Lalu tiba-tiba saja hawa udara di dalam warung kecil berdinding bambu itu menjadi sangat panas. Matahari bagaikan hanya sejengkal di atas kepala!

Seta telan ludah menyaksikan datangnya pukulan jarak jauh lawan. Begitu menggetarkan hati. Benar dugaan sang prajurit, lelaki di hadapannya itu memiliki kemampuan yang tak boleh diremehkan.

Tak mau jadi santapan empuk sinar hitam mematikan milik lawan, Seta lempar tubuh tegapnya ke samping. Begitu menyentuh tanah, sang prajurit berguling-guling menghindar sejauh mungkin.

Blaaar!

)|(

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 203

    Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 202

    Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 201

    Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 200

    Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 199

    Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 198

    Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status