Share

Bab 5 ㅡ Me?

Melihat Lucy yang begitu lihai menyiapkan segala keperluan kerjanya, Elder mengeringkan rambutnya yang basah karena habis mandi sambil memperhatikan Lucy. "Seharusnya kamu tidak perlu seperti ini."

Lucy meletakkan kemeja putih itu di atas jas hitam yang sudah disiapkan. Tubuhnya berputar menatap Elder balik. "Tidak masalah bagiku, El. Anggap saja aku sedang belajar melakukan tugas sebagai seorang istri."

"Pacarmu akan marah kalau dia tahu ini." Elder berjalan mengambil kemeja yang disiapkan Lucy. Kemudian ke bilik untuk berganti pakaian.

Lucy terkekeh mendengar itu. "Aku tidak punya pacar, El. Berapa kali sudah ku katakan, hm?"

Lucy sebenarnya gadis yang manis dan hangat. Namun belum cukup menarik perhatian Elder. Laki-laki lebih tertarik pada gadis polos yang suka berbicara dengan nada tinggi, menurutnya lebih menantang.

"Kalau begitu segeralah mencari kekasih. Supaya kamu tidak terlalu sibuk dengan saya. Saya tidak mengekangmu berhubungan dengan siapapun."

Senyum di wajah Lucy meluntur seketika. Bagaimana Lucy mau mencari kekasih kalau orang yang dicintainya berada disini?

Kepalanya dimiringkan sedikit, mengutip kata 'saya' di setiap perkataan Elder padanya. "Oh, ayolah, El. Sudah berapa lama kita kenal. Sampai kapan kau akan berbicara formal seperti itu?"

Pintu bilik ganti itu terbuka menampilkan Elder yang sudah siap dengan kemeja dan dasi yang menyampir di kerah lehernya. "Entahlah. Saya belum bisa berbicara santai dengan kamu."

"Tidak bisa berbicara santai padaku, tapi selalu berbicara santai pada Lauretta. C'mon, El. Kau baru mengenalnya sehari!" desak Lucy.

"Kamu salah, Lucy. Sudah sejak lama aku mengenalnya, bahkan jauh semenjak kamu bekerja dengan saya," jawab Elder acuh. Ia melangkah untuk memakai jas dan jam tangan. Kemudian berkaca memakai pomade di rambutnya.

"T-tapi tetap saja ini pertemuan pertama kalian setelah bertahun-tahun." Lucy bersikeras memaksa Elder agar berbicara santai terhadapnya.

"Memang."

"Memang?" Lucy membuang wajah merajuknya. "Dan ini sudah ribuan hari kita bertemu, El. Kenapa masih belum bisa?"

"Kenapa kamu mempermasalahkan itu?" Kening Elder mengerut dalam, membuat mata tajamnya terlihat semakin tajam.

"Kau masih belum memahamiku, El." Itu sebuah pernyataan yang Lucy rasakan. Elder pun tak menampik, karena memang tak memahami Lucy, lebih tepatnya tidak berminat.

Lucy berjalan mendekati Elder. Meraih kedua ujung dasi dan mulai membuat simpul. Sengaja membuat ujung kakinya bersentuhan dengan kaki Elder. "Aku cemburu, El. Aku tidak suka melihat kau memperlakukan Lauretta seperti seorang kekasih. Sekaligus iri. Aku ingin berada di posisi Lauretta."

Wajahnya menatap datar Lucy yang sedang menggodanya. Sama sekali tidak ada senyum. "Kamu tidak berhak memiliki perasaan kepada saya, Lucy. Keterangan itu sudah kamu tandatangani di surat kontrak kerja."

"Aku tidak peduli, El. Perasaan itu datang tanpa bisa dicegah."

"Kalau begitu lupakan perasaanmu. Sebaiknya saya katakan sekarang kalau, saya hanya menganggapmu sebagai bawahan saya."

Simpul itu ditarik membentuk segitiga. Dengan tangan lembutnya Lucy merapikan kemeja bagian dada Elder, sedikit memberi belaian kecil untuk menggoda laki-laki itu.

"Aku bisa memberikan apa yang tidak bisa Lauretta lakukan." Matanya mengerling genit, Lucy menggigit bibir bawahnya.

"Maksudmu kepuasan? Lauretta bisa melakukan itu, saya hanya belum menginginkannya." Bukannya terangsang, Elder malah risih dengan dada Lucy yang menempel padanya.

"Aku bisa melakukannya sekarang kalau kau ingin." Lucy nekat menarik dasi Elder, membuat hidung mereka nyaris bersentuhan. Binar matanya menatap ingin ke bibir berisi itu.

"Saya tidak ingin dan tidak akan melakukannya. Saya menghormati kamu, Lucy."

Kalimat itu seolah menampar Lucy. Meski begitu ia tetap ingin menyentuh bibir itu dengan bibirnya. Elder yang geram sontak mendorong bahunya sedikit kasar. Lucy pun terhuyung beberapa langkah.

"Kamu memang bisa memenuhi apa yang laki-laki inginkan. Tapi kamu tidak bisa memberi saya apa yang saya butuhkan."

"Katakan, apa itu?" Lucy menelan ludah untuk menormalkan kegugupannya.

"Cinta." Elder mengucapkannya dengan kesungguhan. Ia membutuhkan apa yang semua orang butuhkan. Namun melihat dirinya yang sekarang, sepertinya tidak akan ada gadis yang mau dengannya. Elder terlalu menakutkan untuk mereka.

"A-aku bisa memberikannya. Aku bisa mencintaimu, El."

"Perasaan sepihak bukanlah cinta." Telak, Elder merasa puas saat Lucy tiba-tiba mengatupkan mulutnya.

"Aku akan berjuang, El. Akuㅡ" Tanpa diduga, Lucy langsung menyambar bibir Elder. Kerah kemeja laki-laki itu di remat kuat. Jemarinya yang lentik pun turut mengelus manja leher Elder.

Hal itu membuat Elder tidak suka. Kedua lengan Lucy ia cengkram lalu mendorong wanita itu. Sorot matanya menggambarkan amarah yang membumbung.

"Jangan melebihi batas, Nona Lucy yang terhormat," tekannya dengan nada rendah. Selanjutnya Elder melangkah tegas melewati Lucy begitu saja.

****

Dasi yang terasa mencekik leher itu dia renggangkan. Kepalanya bergerak ke kanan kiri menimbulkan suara seperti dipatahkan. Elder menghela nafas pelan.

Setelah perdebatan kecil dengan Lucy tadi pikirannya tidak bisa jernih. Ia tidak memikirkan kalau ia melukai perasaan Lucy, ia hanya tak habis pikir bisa-bisanya Lucy bersikap tidak sopan padanya. Padahal selama ini Lucy-lah yang paling ia percaya.

Ah, sial! Tiba-tiba terlintas bayangan Lauretta yang tengah tersenyum padanya. Kembalinya gadis itu menambah banyak warna di kehidupan Elder.

Perlahan bibirnya terangkat membentuk kurva kecil yang disebut senyuman. Mata lebar yang bening milik gadis itu sangat membuat candu.

"Apa yang kupikirkan?" Elder menggeleng cepat, menepis bayangan itu dari benaknya. Tapi tidak semudah itu. Sekarang ia malah membayangkan apa yang Lauretta lakukan di rumah.

"Oh, shit!" Elder mengerti kalau keinginan yang tidak segera dipenuhi akan selalu terbayang-bayang. Makanya ia memutuskan beranjak dan menyambar jasnya. Kemudian segera berlalu pergi.

Perusahaan ini sudah multinasional, kalau ia pulang cepat sehari saja tidak akan merugi. Sebelumnya Elder juga menitip pesan pada Sang sekretaris untuk menunda semua jadwal hari ini. Barulah kemudian ia pulang.

****

"Dimana Lauretta?" Pertanyaan itu terdengar menyebalkan di telinga Lucy. Padahal Elder baru saja sampai di rumah, pertanyaan pertama langsung merujuk pada Lauretta. Sekali lagi, Lucy iri!

"Tidak biasanya kau pulang cepat, El. Ada apa?" Lucy masih mencoba berbicara dengan nada lembut.

"Katakan saja, dimana Lauretta." Wajah Elder belum berubah sejak tadi pagi. Masih sama, terlihat tertekuk kesal dengan Lucy.

Membuat Lucy merasakan sesak di dadanya. "Dia di kolam belakang."

Segera Elder melangkah ke tempat yang disebutkan Lucy tanpa mengucap sepatah kata apapun lagi. Tidak peduli pada Lucy yang menekuk bibir karenanya.

****

Elder sampai di kolam belakang. Sekitar kolam itu dilingkupi dinding dengan ukiran Italia yang khas. Terdapat beberapa tanaman dan patung dewa Yunani yang amat digilai Alexander dulu.

Matanya menangkap sosok Lauretta yang asyik dengan aktivitas airnya. Masih belum menyadari kehadiran Elder disana. Kaki Elder melangkah mendekat dengan seringai yang sangat jelas ia tampilkan.

"Hai." Elder berjongkok menatap Lauretta yang hanya memakai pakaian renang. Dan itu terlihat sangat seksi.

Gadis itu memekik terkejut. Sontak ia memutar tubuh dengan mata yang membulat sempurna. Ia memilih kolam belakang yang jarang dipakai agar tidak ada orang yang melihatnya. Tapi dengan mudah Elder bisa menemukannya.

"Jahat sekali kau tidak mengajakku berenang," cibir Elder. Ia kembali berdiri untuk melepas jas, dasi, dan jam tangannya. Ponsel dan dompetnya pun ia taruh di atas meja yang ada di pinggir kolam.

"Memangnya kau siapa?" balas Lauretta tanpa menengok ke belakang.

"Pemilik tempat ini." Perlahan Elder menceburkan diri ke dalam kolam. Se-pelan mungkin berusaha tidak menimbulkan suara.

"Ini masih tempatku. Kau sendiri yang membawakuㅡAkh!" Kalimat Lauretta terpaksa tertahan karena Elder yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Jangan kurang ajar. Hei!"

Laki-laki itu menghirup aroma yang menguar dari leher Lauretta. Saat bibirnya mencoba mencecap leher jenjang itu, secara otomatis mata Elder ikut terpejam.

Sekujur tubuh Lauretta seketika meremang merasakan sensasi aneh saat tangan itu meraba raba perut ratanya. "A-apa yang kau mau?"

"Aku menginginkanmu." Elder belum puas dengan aksinya. Bibirnya sedikit terbuka menggigiti kecil leher putih Lauretta. Gadis itu menggeram rendah, membuatnya hasratnya semakin tinggi.

"Aku?"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status