Share

Bab 7 ㅡ Why Me?

Lauretta menelan ludah kasar mendengar Elder yang secara gamblang mengatakan kalau ia lebih dari sekedar psikopat. Dilihat dari wajahnya saja, Elder memang terlihat memiliki aura pembunuh.

"Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi. Aku trauma!" protes Lauretta.

"Memang siapa kau?" Laki-laki itu mengangkat satu alisnya, melihat Lauretta dengan ekspresi merendahkan.

"Aku pemilik rumah ini sebelumnya."

"Aku yang berkuasa sekarang. Kau bisa apa?" Sekelebat bayangan hitam yang tampak dari jendela berhasil Elder tangkap melalui lirikan mata. Gerakan itu mencurigakan. Namun Elder tetap memasang wajah tenang, seolah tidak ada apapun.

Saat Lauretta mencebik, tiba-tiba Elder mendekapnya. Kepalanya menabrak dada bidang Elder, Lauretta memekik tertahan.

"Sst ... Pejamkan matamu. Jangan berteriak kalau mendengar suara keras," bisik Elder di telinga Lauretta. Kemudian laki-laki itu menutup telinga Lauretta dengan tangannya.

"Ada apa?" balas Lauretta berbisik.

"Tidak ada. Diam saja, abaikan." Mata tajam Elder menatap tajam bayangan yang ada di luar jendela. Tangannya mengambil kembali pistol yang disimpan.

Bayangan itu terlihat mendekat, ditangannya terdapat sebilah belati. Jendela itu terlihat bergoyang karena dipaksa dibuka dari luar. Elder mengangkat pistol yang dibawanya dengan satu tangan yang masih mendekap tubuh Lauretta.

Kurang dari satu detik, peluru itu meluncur tepat di kepala si pemilik bayangan. Membuat orang mencurigakan itu ambruk seketika.

Lauretta menutup telinganya sendiri, sekarang ia tahu maksud Elder. Ada penyusup di rumah ini. Tubuhnya gemetar. Suara ledakan pistol itu mengingatkannya dengan kejadian 9 tahun silam, dimana Ibunya meregang nyawa karena selongsong peluru.

Sekarang Lauretta mengakui dengan tegas, Elder adalah orang yang sangat berbahaya. Lebih dari sekedar psikopat. Sama sekali tidak merasa ragu menghabisi nyawa seseorang.

Melihat bayangan itu yang sudah tidak berdaya, Elder melepas dekapannya pada Lauretta. Dengan cepat beranjak dan menghampiri orang tersebut.

Elder menyibak tirai itu. Dengan wajah tanpa ekspresinya ia memandang pria berpakaian serba hitam yang darahnya sudah mengalir mengotori lantai balkon kamarnya.

Derap langkah terdengar, menunjukkan kalau Lauretta datang menghampirinya. Gadis itu berteriak keras dan membekap mulutnya. "Dia ... mati?" lirihnya dengan suara bergetar karena takut.

Mengedik belum tahu, Elder berjongkok untuk menyentuh denyut nadi di leher pria mencurigakan itu, tak peduli kalau darah mulai mengotori tangannya. Tidak ada denyut. "Ya, dia mati."

Lauretta semakin takut. "B-bagaimana kau bisa menghabisinya tanpa tahu apa tujuannya."

"Sudah jelas bukan?" Elder menolehkan kepala menghadap Lauretta. "Mereka mengincarku."

"T-tapi, kenapa kau bisa sesantai itu setelah membunuhnya?"

"Kau sendiri yang mengatakan kalau aku psikopat." Elder menyeringai. Mengambil belati dengan ukiran indah yaang dibawa laki-laki itu. Mengamati setiap detail ukirannya.

Seringai Elder semakin lebar melihat sebuah logo yang selalu diincarnya. Simbol mata angin. Lantas ia menunjukkan belati itu pada Lauretta. "Aku menemukan hal menarik."

Kening Lauretta mengernyit melihat belati itu lebih dekat. Matanya membelalak saat menyadari maksud Elder. "Tidak, jangan." Kepalanya menggeleng pelan.

Elder tersenyum lebar kemudian menghela. "Sekarang aku menyesal telah membunuhnya." Ia beranjak, mendekatkan wajah pada Lauretta. Mengangkat belati itu tepat di depan wajah Lauretta. "Ayahmu yang mengirimnya untukku. Itu berarti dia menantang kematiannya sendiri."

"Jangan lakukan. Kau bisa melakukannya padaku, tapi kumohon, jangan Ayahku." Lauretta menyatukan kedua tangannya memohon. Sungguh ia takut Ayahnya menjadi korban.

Sayangnya, permintaan itu sama sekali tidak digubris. Elder justru melenggang pergi melewati Lauretta begitu saja.

"Elder! Tunggu! Jangan pergi! Kumohon!" Lauretta semakin panik karena Elder mengunci pintu dari luar. Meninggalkannya sendiri bersama mayat bersimbah darah itu.

Lauretta sangat takut. Sungguh. Kalaupun bisa, ia pun ingin menghabisi Elder.

****

"Beri saya informasi tentang belati ini." Elder meletakkan belati itu di meja Lucy.

Assisten itu melirik sebentar lalu menatap Elder. "Dari lambang di gagang belati ini, berasal dari Blythe."

"Ya, saya ingin kamu memastikan. Benar dari Blythe atau orang lain yang sengaja memanfaatkan Blythe untuk mengelabuhi saya."

Setelah insiden kolam renang, Lucy berfikir dua kali, mungkinkah ia harus mundur atau memperjuangkan Elder? Ia masih ragu. Namun karena itu, Lucy menjadi lebih pendiam dari biasanya. "Baik, secepatnya akan kuberi hasilnya."

"Saya percaya denganmu, Lucy."

Selalu saja, kalimat itu yang membuat Lucy salah paham. Yang secara hati membuatnya berfikir kalau Elder sudah sepenuhnya percaya dengannya. "Baik."

Tanpa mengucap sepatah kata apapun lagi, Elder berlalu pergi meninggalkan ruangan Lucy. Menyuruh salah satu anteknya untuk membersihkan mayat yang ada di kamarnya.

Memandang punggung Elder yang sekarang sudah tidak ia lihat, Lucy menghela panjang. Masalah hati mengalihkan fokusnya.

"Aku tidak menyangka dampaknya akan separah ini," gumam Lucy memijit pelipis. Belati itu membuatnya pusing.

Jemarinya bergerak cepat mengetik di keyboard komputernya. Mencari tahu informasi tentang Blythe. Dalam hitungan detik, kening Lucy mengernyit bingung.

Semua artikel tentang Blythe hilang. Tanpa jejak. Lucy bergerak ke aplikasi lain yang bisa menembus deep web. Masih sama, sama sekali tidak ada apapun tentang Blythe. Dan ini mencurigakan.

Dengan cepat ia berlari ke dapur. Pandangannya beredar mencari sosok wanita setengah tua yang menjadi sesepuhnya. Gotcha! Lucy menemukannya.

"Bibi Kelly."

****

Nafas Lauretta semakin tak beraturan karena Elder tak kunjung kembali. Sementara kamar itu sekarang dipenuhi bau anyir darah. Gadis itu beringsut memeluk lutut bersandar di pintu sambil terus berharap Elder segera membukakan pintu untuknya.

Lauretta menggigit bibir bawahnya mengingat bagaimana Elder membunuh orang dengan santai. Mengerikan.

Terdengar suara kunci yang dibuka, Lauretta menegakkan tubuhnya dan berdiri. Kemudian seorang pelayan berseragam serba hitam terlihat. "Permisi, Nona. Tuan Elder meminta saya membersihkan mayat itu."

Tanpa pikir panjang, Lauretta mengangguk mengiyakan. Langkahnya sedikit menyingkir dari depan pintu mempersilahkan pria itu masuk ke kamarnya.

Lauretta melihat laki-laki itu berjalan ke arah mayat yang masih tergeletak, mengambil sarung tangan silikon untuk mencegah jejak sidik jarinya. Satu tangannya yang bebas mengambil kantong sampah hitam dan memasukkan mayat itu ke dalamnya. Mendadak perut Lauretta terasa mual.

"Dari caramu melihatnya, kau seperti baru pertama kali melihat seseorang membereskan orang mati." Baritone itu membuat Lauretta sedikit tersentak.

Kakinya berputar menghadap Elder. "Memang. Tapi bisakah aku pergi ke tempat lain? Perutku mual."

Elder tampak berfikir sejenak. Kemudian mengangguk sekali. "Sure. Asal jangan sampai melewati pintu utama."

Helaan nafas sengaja Lauretta hembuskan agak keras. "Lagi-lagi aku harus seperti seorang sandra," gumamnya lesu.

Lauretta berjalan melewati Elder, menabrakkan bahunya dengan lengan laki-laki itu. Namun, tampaknya Elder sama sekali tidak peduli. "Kau memang sandra."

****

Beruntung ingatan Lauretta masih cukup kuat. Buktinya sekarang ia masih hafal belokan demi belokan rumahnya. Kakinya melangkah anggun menuruni anak tangga dengan karpet merah yang digelar memanjang. Masih sama seperti terakhir kali ia menginjakkan kaki disini.

Saat kakinya menyentuh dasar tangga, secara lamat Lauretta mendengar percakapan seseorang. Suara kalem wanita paruh paya yang selalu ia rindukan setelah mendiang Ibunya.

Lauretta semakin penasaran, ia membuka pintu mengikuti suara itu tanpa mengetuk lebih dulu. Senyumnya merekah, Bibi Kelly masih sama cantiknya seperti saat mereka berpisah.

Tapi apa yang membuatnya bersama Lucy?

"Aku yakin belati ini milik Alexander Blythe, aku ingat betul bagaimana dia sering menggunakannya dulu." Lauretta memilih mematung di ambang pintu guna mendengar kelanjutan ucapan Bibi Kelly. Senyum di wajahnya perlahan samar.

"Kau yakin, Bi? Tapi bagaimana bisa Alexander mengirim seseorang dengan belati ini?" tanya Lucy. Sepertinya mereka masih belum menyadari keberadaan Lauretta disana.

"Ada dua kemungkinan. Pertama, karena ia ingin menghabisi Elder. Kedua, karena Lauretta."

"Kenapa aku?" Lauretta membuka suara setelah namanya disebut. Mereka berdua tampak sangat terkejut dengan kehadiran Lauretta disana.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status