Share

Bab 8 ㅡ Bad Feeling

Jelas saja setelah mendengar suara itu, Lucy menatap Kelly dengan wajah tegang. Sementara Kelly memaksa wajahnya untuk tetap terlihat tenang.

“Sudah berapa lama kau disana?” ketus Kelly.

“Aku ingat betul bagaimana ia menggunakannya dulu.” Lauretta mengutip kalimat Kelly. “Sejak kalimat itu kau ucapkan.”

Batin Kelly merutuk. “Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu sebelum masuk?” tukasnya dengan nada dingin.

“Eum ... soal itu, aku minta maaf. Aku sangat penasaran saat kalian menyebut nama Ayahku.”

“Ayah? Memang siapa Ayahmu?” Lucy mengikuti permainan Kelly untuk memanipulasi Lauretta.

Gadis berambut kecoklatan itu menggigit bibir bawahnya sebentar. Kemudian mengaku. “Alexander Blythe.”

Kelly tertawa keras mendengarnya, diikuti Lucy yang melakukan hal yang sama. “Maksudmu kau akan mengaku kalau kau keturunan Blythe, begitu? Semua orang pun tahu seluruh keluarga Blythe telah dibunuh,” ujar Kelly.

Kelopak mata Lauretta mengerjap berkali-kali mendengar cara Kelly berbicara berbeda sangat jauh dengan dulu saat masih menjadi pengasuhnya. Praduga mulai muncul kalau Elder sudah mencuci otak Bibi ini. “Bibi, apa kau tidak mengingatku?”

“Memang siapa kau?” Kelly kembali bertanya. Matanya menangkap sosok yang paling disegani berdiri di belakang Lauretta. Seketika bibirnya terkatup rapat.

Kening Lauretta mengernyit bingung menyadari perubahan ekspresi wajah Kelly. Ia memutar kepala untuk melihat siapa yang berhasil membuat Kelly langsung terdiam.

Sial! Dia lagi.

“Mereka sedang bekerja, sebaiknya kau tidak datang menggaggu.” Kemudian dengan gerakan secepat kilat, Elder menarik pergelangan tangan Lauretta membawa gadis itu pergi.

Perasaan Lauretta bercampur aduk. Bingung, penasaran, kecewa, dan kesal. Semuanya secara kompak membuat mood Lauretta menjadi sangat down. Dihempaskannya tangan Elder yang masih menggenggamnya dengan kasar.

“Tidak bisakah kau memberiku kebebasan satu hari saja?!” Lauretta memekik keras. Membuat suaranya menggema ke seluruh paviliun.

“Dan tidak bisakah kau tidak penasaran dengan urusan orang lain?” Nada dingin yang disuarakan Elder membuat nyali Lauretta menciut. Lelaki itu memiliki aura yang mendominasi, tidak ada yang mampu mendebat sekali ia sudah berucap.

“Tapi mereka menyebut nama Ayahku,” lirih gadis itu.

“Hanya aku yang tahu identitasmu sebenarnya. Dan orang lain tidak boleh tau,” tekan Elder.

“Kenapa? Kalau pada akhirnya aku juga akan mati, kenapa—“

Kalimat Lauretta terhenti saat Elder mencengkram kedua rahangnya dengan tangan. Laki-laki itu tampak sangat marah hanya karena Lauretta tidak sengaja menguping.

“Sebaiknya kau diam atau ku robek mulutmu. Kau juga tidak perlu mencari tahu tentang apapun.”

Mata hijau nan tajam itu seakan menghipnotis Lauretta untuk mengikuti apapun kemauan Elder. Perlahan Lauretta tenggelam dalam mata yang tengah menatapnya intens. “Tapi bisakah aku meminta satu hal?”

“Katakan.” Elder melepas cengkraman tangannya pelan agar tak menyakiti Lauretta.

Lauretta mengulum bibir sebentar. Rongga dadanya tiba-tiba terasa sesak. Menciptakan embun di pelupuk matanya. “Beri tahu aku jika kau sudah menemukan Ayahku.”

****

Beritahu aku jika kau sudah menemukan Ayahku.

Kalimat itu terus terngiang di kepala Elder. Mengalun berulang-ulang seperti kaset rusak. Tangannya memijat pelipis yang sekarang semakin pening.

Elder ingat betul bagaimana Lauretta mengatakan itu dengan nada keputusasaan. Elder tahu bagaimana cara Lauretta menatapnya penuh harap. Namun, pada kenyataannya Elder juga tahu kalau semuanya akan sangat menyakitkan.

Elder tidak bisa melupakan cara orang suruhan Alexander membunuh orangtuanya, Elder tak bisa melupakan dendamnya begitu saja.

Punggungnya menyandar pada sofa yang ia duduki. Kakinya setengah menggantung karena panjang kakinya melebihi panjang sofa. Dengan mata terpejam menengadah ke langit-langit, Elder berfikir keras, sama sekali tak menyangka kalau kehadiran Lauretta membuat semua rencananya tertunda.

Sampai sekarang pun Elder masih belum tahu kenapa ia tidak bisa membunuh Lauretta. Tidak mungkin itu cinta, karena perasaannya sudah mati bersamaan dengan kematian kedua orangtuanya.

Suara ketukan pintu seketika membuat Elder kembali sadar. “Masuk,” ucapnya lesu. Membuka sedikit matanya, Elder melihat Lauretta masuk. Membuat helaan nafas itu terdengar berat. “Kenapa kau kemari?”

Lauretta bergumam panjang. “Aku tidak berani di kamar sendirian. Takut kalau ada penyusup lagi.”

Laki-laki itu bergumam sejenak, malas membuka matanya. Tubuh letihnya merasakan perlahan Lauretta mendusel padanya. Gadis itu ikut merebahkan diri di sofa sempit yang seharusnya hanya muat untuk satu orang.

Memaksa Elder membuka mata. Bibirnya bungkam seraya menatap teduh gadis cantik yang membelakanginya. Aroma vanilla dari rambut Lauretta menguar tercium legit. Perlahan pening di pikirannya berangsur mereda. Sehebat itu memang kehadiran Lauretta dalam dirinya.

“Kau baik-baik saja?” Lauretta membalikkan tubuh. Menatap wajah lelah yang sialnya tetap terlihat tampan itu. “Kau terlihat lelah.”

Hati dingin Elder merasakan desiran hangat saat seseorang memperhatikannya. Namun bibirnya mengatakan hal lain. “Apa pedulimu?”

Lauretta tahu, dalam setiap kalimat dingin yang selalu Elder ucapkan, yang laki-laki itu butuhkan hanya satu. Perhatian. "Aku melihat kau tidak banyak bicara setelah mendengar permintaanku. Apa karena aku juga kau menjadi lebih pendiam?"

Ingin saja Elder menjawab 'iya', akan tetapi bibirnya memilih tertutup rapat. Mata sayunya memilih menyelami mata lebar yang berkedip-kedip menggemaskan itu.

"El? Beri aku jawaban." Gadis itu menuntut. "Kau baik-baik saja 'kan?"

"Boleh kujawab jujur?" Lauretta mengangguk mendengar ucapan Elder. "Tidak."

Elder menghela nafas panjang. Ia mengangkat kepala Lauretta dan menaruh tangannya di bawah kepala gadis itu sebagai bantal. Lauretta menggeser posisinya mendekat pada Elder.

"Mendengar permintaanmu tadi, aku kembali teringat dengan orangtuaku." Elder mulai berbicara, memberi sejenak jeda dalam ucapannya. "Aku tidak tahu dengan diriku yang sekarang, apakah mereka bahagia atau tidak?"

"Meski aku memiliki segalanya, semua tetap terasa hampa. Kau tahu, Lau? Tidak mudah mengikhlaskan kepergian mereka begitu saja." Elder membalas tatapan Lauretta yang setia mendengarkan pengutaraan hatinya. "Aku pernah berfikir, mungkin kehidupanku tidak akan se-kosong ini kalau saja hal itu tidak terjadi. Aku tidak akan menjadi seperti ini kalau orangtuaku masih hidup."

Elder memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam hingga memenuhi rongga dadanya. Berharap perasaan sesak itu berkurang.

"Hidupku sama sekali tidak tenang. Tidurku seperti hanya mengedipkan mata. Rasanya, kematianku adalah yang mereka harapkan. Termasuk Ayahmu."

Sebagai seorang perempuan yang sangat berperasaan, Lauretta menaruh telapak tangannya di dada Elder. Berusaha membantu Elder mengurangi rasa sesaknya. "Mewakili semua yang terjadi sebelumnya, aku sungguh minta maaf, El."

Tidak pernah ada kata memaafkan dalam kamus hidup Elder. Sekecil apapun itu, yang namanya kesalahan harus dipertanggungjawabkan. Ia lahir dari keluarga yang keras.

Karena tepukan lembut itu Elder merasa lebih tenang. Seperti sentuhan pengantar tidur. Yang membuat matanya memberat.

"Tidak apa-apa. Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi yang paling sempurna. Kalau kau merasa lelah, istirahatlah." Kalimat itu terdengar seperti lantunan lagu ninabobo.

Lauretta menyandarkan kepalanya di dada bidang itu. Senyumnya mengembang saat mendengar dengkuran halus yang berarti Elder sudah terbawa ke alam mimpi. Tangannya beralih memeluk pinggang laki-laki itu dan ikut memejamkan mata.

"Selamat tidur," ucapnya meski tahu tidak akan ada balasan.

Disamping itu semua, Lucy tersenyum miris dibalik kaca di pintu itu. Melihat kedekatan Elder dan Lauretta, tak menampik kalau hatinya terbakar api cemburu.

"Aku tidak mengerti, harus bahagia atau sedih?" gumam Lucy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status