Share

Bab 4 ㅡ Because of You

Lauretta menepis kasar tangan besar itu, mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah mereka untuk pembatas. Posisinya berbalik memunggungi Elder. Sementara laki-laki itu malah menyingkirkan guling itu dan mendekat kembali memeluk pinggang kecil Lauretta.

Gadis itu tampak tidak nyaman dengan pelukannya, Elder sama sekali tidak peduli. “You’re mine.”

“Jangan mimpi!” balas Lauretta dengan mata yang terpejam sempurna. Mengabaikan pelukan Elder yang terasa menggelitik.

****

Kicau burung itu membuat tidur Lauretta terusik. Matanya mengerjap sayu saat cahaya yang menembus celah jendela itu terasa menusuk retinanya. Di pinggangnya masih ada lengan kekar Elder, bedanya sekarang ia menghadap pada wajah tampan pria yang masih terlelap itu.

Jika dilihat-lihat, wajah Elder saat tertidur sangat tenang. Bulu mata lentik laki-laki itu sangat menawan. Bibir berisinya sedikit terbuka menimbulkan suara dengkuran halus. Rambut sedikit ikal itu semakin terlihat berantakan namun lucu di waktu yang bersamaan.

Diam-diam Lauretta mengamatinya. Elder memang tampan, sangat tampan. Tanpa sadar tangannya bergerak mengelus rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu. 

Jika ketampanan laki-laki itu relatif, makan Elder adalah mutlak. Tidak ada yang bisa menyangkalnya. 

“Sudah cukup mengagumiku?” Suara berat yang terdengar serak karena efek baru bangun tidur itu sontak membuat Lauretta berpura-pura tidur lagi, seolah tak ada apapun yang terjadi.

Mata Elder yang masih bengkak terbuka secara perlahan. Balas menatap Lauretta dengan senyuman geli. “Aku tahu kau tidak benar-benar tidur.”

Semu merah menjalar di kedua pipi Lauretta. Menahan malu terciduk mengagumi. Bibirnya mencebik kesal mengingat apa yang Elder lakukan pada Dami. Lauretta membuka mata. Bahkan senyuman itu malah terlihat menakutkan di matanya. 

Elder melebarkan senyum melihat wajah merajuk Lauretta yang malah terlihat lucu. “Kau masih marah?” 

“Kenapa kau tidak langsung membunuhku saja?” tukas Lauretta. Padahal baru sehari ia bersama Elder, tapi rasanya ia sudah tidak betah!

Laki-laki itu menggeleng. “Aku baru tahu kalau putri Alexander tumbuh secantik dirimu. Sayang kalau tidak kusimpan dulu.”

“Aku membencimu.” Meski mengatakan demikian, Lauretta tak merasakan suatu kebencian terhadap Elder meski laki-laki itu terlalu banyak berbuat dosa pada keluarganya. Entahlah, mungkin terkubur dalam dengan wajah tampan itu.

“Aku juga benci, orang munafik. Jangan sampai ucapan itu berbalik pada dirimu sendiri. Bukannya benci, kau malah mecintaiku nanti.” Elder sekedar menggoda. Semburat merah di pipi Lauretta terlihat sangat menggemaskan dimatanya, ia jadi ingin terus melihat rona itu.

Lauretta menaikkan bibir atas sebelah kirinya, melirik Elder sinis. Tangan Elder dihentak agar terlepas dari pinggangnya, kemudian ia bangkit berdiri di samping ranjang. “Bisakah kau bunuh kepercayaan dirimu juga?!”

“Tidak.” Elder turut bangkit, ia duduk di sisi ranjang menghadap Lauretta. “Kepercayaan diriku adalah sebagian dari hidupku.”

“Kalau begitu aku akan menghancurkan kepercayaan dirimu, agar aku bisa membunuhmu lebih dulu!” Kemudian tanpa mengucap sepatah kata apapun, Elder menarik pergelangan tangan gadis itu. Membuat Lauretta terjatuh di pangkuannya.

Sebelah tangannya menarik pinggang ramping Lauretta, mengikis jarak yang membuat tubuh mereka saling bersentuhan. Lauretta tersentak saat jarak wajahnya dengan Elder sangat dekat. Bergerak sedikit saja bisa membuat ujung hidung mereka saling bersentuhan.

“Coba saja,” ucap Elder dengan seringai licik di wajahnya. Ia menjatuhkan tubuhnya hingga kembali merebah di ranjang dengan posisi Lauretta yang berada di atasnya. Membuat wajah mereka hampir bertubrukan jika saja Lauretta tak memalingkan muka. Bibir itu tanpa sengaja mengecup pipi Lauretta. Laki-laki itu berbisik, “Aku masih lelah, temani aku.”

“Ah! Kupikir aku datang di waktu yang tidak tepat.” Secara tidak sengaja Lucy membuka pintu kamar.

Gegas Lauretta segera bangkit mengabaikan Elder yang terlihat benar-benar sangat lelah. Kelopak mata laki-laki itu kembali terpejam. Lauretta menelan ludah kasar untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Lucy pasti berpikir macam-macam tentang dia dan Tuannya.

“Jangan terkejut seperti itu, Lau. Bukankan yang seperti itu sudah biasa di negara ini?” kekeh Lucy berjalan mendekat ke arah Lauretta. Membawakan paperbag berisi beberapa pakaian untuk Lauretta. “Aku membawakan pakaian untukmu.”

Tangan Lauretta terlurur menerima paperbag itu disertai senyuman canggung. “T-terimakasih.”

Lucy melangkah mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Lauretta. “Dia Tuanmu sekarang, lakukan yang ia inginkan kalau kau mau bertahan lebih lama. Asal jangan melebihi batasan.”

Melebihi batasan? Bahkan selalu Elder yang melebihi batasannya. Namun yang Lauretta lakukan hanyalah mengangguk.

“Santai saja kepadaku. Kamu bisa memanggilku kalau ada sesuatu.”

Untuk kedua kalinya Lauretta mengangguk. “Apa kau juga selalu melakukan itu?” bisik Lauretta. Lucy memiringkakn kepalanya seolah bertanya ‘apa?’.

“Selalu menuruti perintahnya untuk bertahan hidup.” Lauretta masih tidak berani mengeraskan suaranya.

“Ya, sampai sekarang,” balas Lucy tak kalah lirih.

“Apa pernah terjadi accident juga antara kalian?”

Pertanyaan Lauretta sukses membuat Lucy terdiam. Senyumnya sekarang terlihat kaku. “Tidak. Dia selalu menjaga kehormatanku.”

“Begitukah?” Reflek nada bicara Lauretta berubah tinggi. Tanpa tahu kalau suaranya membuat Elder terusik. Sebenarnya gadis itu tidak lepas dari lirikan tajamnya. 

Selanjutnya, Lucy berjalan ke kamar mandi. Membuat Lauretta melongokkan kepala karena penasaran.

“Dia menyiapkan keperluan bekerjaku.” Terjawab sudah rasa penasaran Lauretta setelah mendengar jawaban Elder. Laki-laki itu masih duduk bersila sambil mengumpulkan nyawa. “Harusnya kau juga belajar darinya, agar aku tidak merasa rugi telah membelimu.”

“Hell! Aku bukan budak!” Rasanya emosi Lauretta selalu dibuat memuncak karena ucapan sialan yang keluar dari mulut manis Elder. 

Elder kembali menyeringai. “But I want, treat you like that.”

“In your dream!” 

****

Meja makan itu terdengar sangat hening, hanya ada dentingan sendok dan garpu yang ditimbulkan Lauretta. Ia sendirian di meja makan. Menanti Lucy dan Elder yang tak kunjung turun padahal makanan Lauretta sudah hampir habis.

Namun acara sarapannya terasa tidak senyaman saat ia masih bersama Dami dulu. Dua orang laki-laki berbadan besar berdiri tegap di samping kanan dan kirinya untuk memastikan kalau ia tidak akan melarikan diri. 

Tak lama kemudian Elder datang dengan langkah yang berderap. Laki-laki itu berjalan sambil mengancingkan jas kerja yang dipakainya. Jika seperti ini, ketampanannya meningkat berkali-kali lipat. Tampak semakin berwibawa dengan surai kecoklatan yang disisir ke atas. Dihadapan  orang tak dikenal, mungkin mereka akan mengira kalau Elder sosok Pangeran yang digilai di kisah klasik novel remaja. Padahal yang sebenarnya ia tak jauh berbeda dengan moster.

Lucy berjalan cepat berusaha menyusul Elder. Yang membuat mereka terlihat aneh adalah ekspresi wajah Elder yang terlihat marah. Berbeda sekali dengan terakhir kali Lauretta bersamanya. 

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Elder menyambar sandwich yang sudah disiapkan lalu memakannya sambil berjalan keluar. Lauretta kebingunan dengan perubahan itu. Pandangannya bergulir ke arah Lucy yang menghela nafas berat. “Dia kenapa?” tanya Lauretta.

Tatapan bengis yang Lucy tunjukkan padanya pun semakin meningkatkan kecurigaan bagi Lauretta. Tidak biasanya Lucy yang biasanya selalu tersenyum manis, sekarang seolah-olah sangsi padanya. “Karena kau!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status