Share

Bab 6 ㅡ Yes, You Are.

"Ya, kau." Desis Elder pelan. Hangat tubuh Lauretta menyebabkan gelayar aneh yang membuat miliknya menegang.

Lauretta menipiskan bibirnya, bergerak-gerak meronta minta dilepaskan. Namun tenaga Elder jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu mendominasi. "Tidak mau."

"Aku memaksa, Lau." Bisikan itu seolah membuat Lauretta semakin ingin segera lepas. 

"Memangnya siapa kau?!" Suara Lauretta meninggi. Sungguh sebal dengan sifat Elder yang semaunya.

"Aku Tuanmu. Jangan membantah atauㅡ"

"Pergi!" Gadis itu berteriak keras. Dalam hati berharap ada yang mendengar suaranya. 

Elder terkekeh pelan, lalu melonggarkan pelukannya. Melepas Lauretta hingga dengan cepat gadis itu menjauh darinya. Ia senang melihat wajah Lauretta yang merah padam, sangat menggemaskan. "Kau salah memilih kolam ini. Sekencang apapun kau berteriak, tidak akan ada yang mendengar."

Oh shit! Lauretta melupakan hal itu. Mendadak wajahnya terlihat tegang karena takut. Pandangannya turun ke pakaian Elder yang sepenuhnya basah. Memperlihatkan tubuh yang terlatih, jangan lupakan perut sawah yang sangat sekㅡ tunggu. Lauretta menggelengkan kepalanya, apa yang kupikirkan?

"Kau tampak tegang setelah melihatku. Apa yang kau pikirkan?" Elder menyeringai, melangkah menerjang air kolam mendekati Lauretta.

"T-tidak ada." Perlahan Lauretta beringsut mundur saat Elder semakin dekat dengannya. Menelan ludah kasar saat Elder menyugar rambutnya. Kali ini Lauretta mengakui kalau Elder sangat seksi.

"Yakin?" Laki-laki itu menaikkan satu alisnya. Tangannya mencekal lengan Lauretta yang hendak pergi. Mendorong pelan hingga punggung gadis itu menabrak dinding kolam. Elder mengukung Lauretta dengan kedua tangannya.

"J-jangan mendekat." Lauretta melindungi dadanya dengan tangan agar dadanya tidak langsung menyentuh tubuh Elder. Matanya bergerak ke segala arah asal tidak menatap wajah Elder.

"Sayangnya kita sudah dekat, Lau." Elder menyentuh dagu Lauretta agar berani menatapnya. Yang membuatnya tenggelam dengan sepasang mata lebar yang berkedip-kedip dengan iris kecoklatan milik Lauretta. Gadis ini nyaris sempurna.

Lagi, Lauretta merutuk dalam hati. Ia tak bisa lepas saat sepasang mata teduh yang saat ini menatapnya. Tubuhnya terkunci dan membeku. Lauretta membiarkan Elder menyelipkan telapak tangan di punggungnya. Punggungnya dielus pelan membuat matanya perlahan terpejam.

Elder menyeringai kemenangan saat Lauretta berhasil dalam pengaruhnya. Tubuh Lauretta ditarik untuk mengikis jarak diantara mereka. "Sepertinya kau mulai menikmati permainanku."

Lalu dengan cepat, tangan Elder yang bebas menarik tengkuk Lauretta. Menyambar bibir gadis itu sedikit kasar. Membuat Lauretta tanpa sadar mengalungkan tangannya di leher Elder. 

Elder memperdalam ciumannya, mencecap bibir Lauretta yang terasa manis. Gadis itu pun mengikuti permainannya. Bibir bawah Lauretta digigit pelan, membuat gadis itu membuka sedikit bibirnya. Memberi celah untuk Elder memasukkan lidahnya. 

Lauretta kehabisan nafas. Tangannya turun mencengkram kuat kerah kemeja Elder meminta untuk sudah. Namun ciuman itu malah semakin rakus. Lauretta melihat mata Elder menggelap, sialnya Lauretta membuat hasrat laki-laki itu semakin terpancing.

"Hei! Setidaknya pakai kamar kalian!" suara Lucy memecah suasana. 

Elder melepas pelan pagutan bibirnya, mengelap bibir Lauretta yang basah karena ulahnya. Tertawa kecil saat melihat Lauretta menghirup udara dengan rakus. Gadis itu berhasil mencuri perhatiannya.

Kemudian Elder mengangkat tubuh Lauretta, mendudukkan gadis itu di pinggir kolam baru setelah itu dia naik. Lauretta duduk memeluk lututnya, jantungnya berdegup sangat kencang. Pelukan, belaian, dan ciuman itu mengusik pikirannya.

"Pergilah. Kenapa kau datang?" ketus Elder pada Lucy. Sama sekali tidak menatapnya.

Seketika Lucy merasa sesak dengan nada bicara Elder. "Oh, maaf. Kedatanganku pasti mengganggu kalian. Tadi aku mendengar Lauretta berteriak, makanya aku datang."

"Ya, kau mengganggu." Bulu kuduk Lauretta meremang mendengar pernyataan Elder. Sekujur tubuhnya terasa panas, dan pipi menjadi bagian tubuh yang paling panas. 

Lucy menghela, sengaja dikeraskan agar Elder mendengarkan. Meskipun tahu laki-laki itu tidak akan menghiraukannya. "Kalau begitu aku pergi."

"Pergilah," jawab Elder santai. Melihat handuk yang tergeletak di meja, lantas ia mengambilnya. Selanjutnya Elder menyelimuti tubuh basah Lauretta dengan handuk itu.

Gadis itu tersentak kaget. Namun merasakan Elder dengan lihai menutupi tubuhnya dengan handuk, hatinya merasa hangat. Matanya belum teralihkan dari wajah laki-laki tampan itu. 

"Aku memang tampan." Elder mengangkat tubuh Lauretta ala bridal style. Secara spontan Lauretta mengalungkan tangannya di leher Elder, menyandarkan kepala di dada bidang laki-laki itu. 

Lauretta tak menjawab, tak menampik karena ucapan Elder memang benar adanya. Diam-diam gadis itu tersenyum. 

Namun saat Elder kembali mendekatkan wajahnya, Lauretta kembali was-was. "Kita harus melanjutkannya di kamar."

Reflek Lauretta memukul dada Elder dengan keras, meskipun tahu laki-laki itu tidak akan merasa sakit karena pukulannya. "Tidak kuijinkan."

"Hei! Memang kau berfikir apa? Maksudku hanya melanjutkan mengeringkan tubuhmu agar kau tidak sakit," goda Elder. "Memang kau mau tetap dalam kondisi basah seperti ini?"

"Menyebalkan!" Bibir Lauretta mencebik kesal. Sementara Elder malah tertawa puas. Kemudian Elder menggendong tubuh Lauretta menuju kamar.

Mereka tidak tahu kalau sejak tadi Lucy belum pergi. Dadanya bergemuruh menahan emosi. Lucy merasa Elder menjadi sering mengabaikannya.

****

"Kau mau membawaku keluar sesekali?" pinta Lauretta setelah mengganti pakaiannya. Menjadi dress warna cream yang dihiasi salur bunga cantik.

"Tidak." Jawaban itu membuat Lauretta menghela berat. Gadis itu melangkah menghampiri Elder yang sekarang disibukkan dengan laptopnya. Laki-laki itu duduk selonjor di atas ranjang.

"Sudah lama aku tidak ke L.A, aku ingin jalan-jalan," rengek Lauretta. Sekarang ia duduk lesehan di samping tempat tidur sambil bertopang dagu memandangi Elder yang sedang serius. Bukan apa, hanya ingin duduk dibawah.

"Kubilang tidak ya tidak."

"Kenapa, hm?" Lauretta mengedip-kedipkan mata lebarnya, tampak bening dan bibir yang tertekuk ke bawah. Dulu saat ia menginginkan sesuatu, Lauretta selalu menunjukkan puppy eyes-nya dan selalu berhasil. Sekarang ia sedang mencobanya.

Elder menghela, meletakkan laptopnya ke kasur kemudian menatap Lauretta lekat. "Diluar berbahaya. Tetap di dalam rumah dan jangan pernah berfikir untuk kabur."

"Baik, akan kulakukan!" balas Lauretta semangat.

Membuat satu kecurigaan yang terlihat jelas di kening Elder. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Kabur."

Laki-laki itu berdecih. "Coba saja. Bisa kupastikan, kau akan lebih cepat mati di tangan mereka. Jangan lupa, dibalik posisiku sekarang, aku memiliki banyak musuh. Bagaimana? Masih mau mencoba kabur?"

Lauretta menelan ludah kasar. Kepalanya menggeleng cepat karena takut. Kepolosannya itu yang mengusik hati dingin Elder. "Kalau keluar rumah? Di kebun atau di halaman misalnya, boleh?"

"Tetap tidak. Diantara orang-orang berpakaian hitam yang kau lihat di lantai dasar, beberapa dari mereka bisa jadi penyusup."

"Lalu kenapa kau masih mempekerjakan mereka?"

"Tidak masalah. Aku bisa membalik keadaan." Elder menegakkan tubuhnya, memegang lengan Lauretta yang masih duduk lesehan di atas lantai. "Bangunlah."

Lauretta menurut. Ia berdiri kemudian duduk di pinggir kasur. "Boleh aku tanya satu hal lagi?"

Anggukan kecil Lauretta anggap sebagai jawaban iya. "Bibi Kelly adalah pengasuhku dulu, kenapa kau tidak membunuhnya disaat seluruh pekerja dulu kau habisi?"

Pertanyaan itu membuat Elder tercenung sesaat. Bibirnya masih bungkam. "Aku tidak bisa mengatakannya. Dan jangan tanyakan hal itu lagi."

"Dia sangat menyayangiku dulu, aku harus tau."

"Dulu berbeda dengan sekarang, Lau. Kelly adalah kunci."

"Apalagi yang terjadi? Apa kau mempengaruhi Bibi Kelly-ku juga? Aku sangat mengingat saat ia menyuapiku dengan sayang."

"Dia tidak mengingatmu. Berhenti bertanya tentang dia." Mata Elder menajam.

Dan itu membuat Lauretta mengernyit curiga. "Kau pasti menutupi sesuatu dariku."

"Memang."

"Katakan! Jangan membuatku penasaran!" Lauretta mendesak.

Laki-laki itu diam, tangannya bergerak meraba sesuatu di bawah bantal. Sebuah pistol. Lauretta membulatkan mata baru mengetahui kalau ada benda itu di bawah bantalnya. 

Elder mengecek tempat dimana 8 selongsong peluru tersimpan rapi. Dengan santai ia menaruh ujung pistol itu di bawah dagu Lauretta. "Sekali lagi kau tanya hal itu, peluru ini akan menembus kepalamu."

Tangan Lauretta menurunkan lengan Elder saat ujung pistol yang terasa dingin itu menyentuh dagunya. Untung saja Elder sedang tidak mood mencium bau darah, jadi ia menurunkan tangan dan menyimpan kembali pistol itu.

"Dasar mafia psikopat!" sembur Lauretta tepat di depan wajah Elder.

"Aku? Psikopat?" Pertanyaan Elder barusan menunjukkan seolah ia tidak percaya dirinya disebut psikopat. Tidak, Elder bukan psikopat. Melainkan monster kejam yang tak berperikemanusiaan.

"Ya, kau!"

"Sayangnya kau salah." Elder memberi jeda, sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Lauretta. "Aku lebih dari psikopat."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status