BAGIAN 1
“Makanya, jadi cewek itu jangan kerja aja tahunya! Gaul dong, Mbak! Masa umur udah mau 29 tahun masih jomblo juga?” Iren mendelik sembari mendecih ke arahku. Wajah cantik nan ayu miliknya terasa begitu menyebalkan di mataku. Bagaimana tidak, orok sok gede itu terang-terangan menjatuhkan harga diriku. Tak sadarkah dia, bahwa selama ini aku banting tulang untuk siapa?
“Kalo aku gaul, kelar hidupmu!” Aku menggesekkan leher dengan sisiran lima jari kanan yang kurapatkan. Meskipun sakit hati, kubuat muka yang sok galak dan memilih untuk melipir dari Iren yang masih sibuk dengan nasi goreng di piringnya. Betapa durhakanya anak 21 tahun yang baru saja lulus diploma tiga kebidanan tersebut. Sudah pengangguran, sarapan pagi juga masih disiapkan oleh Mama. Eh, malah ngeledek aku pula. Sialan!
Dengan perasaan dongkol, aku yang baru kelar sarapan terpaksa masuk kembali ke kamar. Padahal, rencananya akhir pekan ini ingin kuhabiskan di dapur. Bereksperimen membuat camilan untuk tengah hari nanti. Namun, kupikir-pikir lebih baik aku mendekam di kamar saja! Ketimbang harus mendengar ucapan pedas si Iren. Ya, emang sih, dia hanya bercanda. Akan tetapi, sopankah kira-kira?
Terdengar pintu kamarku diketuk dua kali dari luar. Aku yang baru saja duduk bersandar di kepala ranjang, dengan perasaan malas akhirnya terpaksa bangkit. Mama. Wanita berusia 56 tahun yang baru saja menjanda setahun itu tampak kuyu. Wajahnya seperti penat. Matanya sayu memandang ke arahku.
“Mama butuh bicara,” ujarnya dengan nada yang pelan.
Aku mengangguk. Mempersilakan wanita bertubuh sedang dengan air muka yang selalu tampak sendu sejak kepergian almarhum Papa itu untuk masuk. Kami memilih duduk di bibir ranjang saling bersebelahan. Aku agak kikuk dengan jantung yang mulai berdegup agak kencang. Mama jarang sekali seperti ini, kalau bukan membicarakan hal yang sangat penting.
“Kenapa, Ma?” tanyaku lirih sembari menoleh ke arahnya. Perempuan tua dengan rambut seleher yang hampir penuh dengan uban itu masih memandang lurus ke arah meja kerjaku.
“Iren,” lirihnya dengan wajah yang pias.
“Kenapa Iren?” Nadaku kini agak meninggi. Hatiku terasa mencelos. Kenapa anak usil itu? Apa dia hamil? Astaga!
“Katanya dia ingin segera dilamar sama Andika. Minta nikah tahun ini juga. Mama rasanya nggak tega.” Mama kini menatapku. Ada kristal bening di kedua bola mata tuanya. Seketika itu juga perasaanku begitu berkecamuk. Aku tahu benar apa yang dimaksud Mama. Ya, beliau tak tega jika aku dilangkahi oleh adik semata wayangku tersebut.
“Ma,” kataku berusaha untuk terlihat tegar. “Aku nggak apa-apa, kok. Silakan saja. Nikahkan mereka tahun ini. Aku ikhlas.”
Tumpahlah air mata Mama. Jatuh membasahi pipinya yang keriput. Aku semakin tak kuat kala harus melihat orang yang paling kusayang harus menangis sedih begini.
“Si, apa kamu tidak menikah duluan saja? Coba segera cari pasangan. Tidak apa-apa kalian menikah dalam tahun yang sama. Asal kamu duluan.” Bahu Mama terlihat berguncang. Kupeluk segera dia, agar redam sedu dan sedannya.
“Sudah, Ma. Jangan nangis lagi. Aku nggak apa-apa dilangkahi. Kalau harus mencari segera, aku sepertinya belum sanggup. Mencari calon suami itu tidak semudah membalikan telapak tangan, Ma. Kan, Mama tahu sendiri kalau aku ini sudah langganan batal menikah.” Kutarik napas dalam. Pilu betul jika mengingat tiga kali banyaknya hubungan percintaanku kandas padahal sudah masuk ke tahap serius. Ada saja halangannya. Entah itu dari pihak lelaki, atau pun dari pihakku sendiri. Seolah-olah Tuhan masih menahanku untuk tetap single agar bisa menjaga orangtua dan adik semata wayang.
“Mama rasanya sedih sekali, Si. Kurang ridho kalau Iren yang menikah duluan. Apalagi dia belum bekerja. Baru saja lulus kuliah. Andika itu kalau Mama lihat-lihat juga belum sepenuhnya mandiri. Usaha yang dia rintis juga masih sangat baru. Apa mungkin, mereka mampu membina rumah tangga?” Mama menatapku dengan penuh kerisauan hati.
Aku langsung teringat dengan Andika. Ya, lelaki itu memang sudah sangat lama berpacaran dengan adikku, tepatnya saat mereka masih sama-sama di bangku SMA. Usia keduanya sama. Sama-sama mengambil diploma tiga, hanya beda jurusan saja. Andika mengambil jurusan manajemen bisnis dan saat ini baru saja membuka usaha pakaian kecil-kecilan di depan rumahnya. Dia memang dari kalangan berada. Kedua orangtuanya juga masih lengkap. Namun, kekhawatiran Mama juga tidak salah kalau menurutku. Apa iya, Iren dan Andika mampu membina rumah tangga di saat keduanya sendiri masih sangat muda plus belum punya penghasilan yang cukup?
“Mama jangan bilang kurang ridho. Nggak boleh gitu, Ma. Harus ridho, harus ikhlas. Biar jalan Iren mulus.” Aku merangkul tubuh Mama. Menguatkan beliau sebab hanya kepadakulah beliau bisa mengadu. Jika dulu Mama selalu curhat kepada Papa, kini kepada anak sulungnyalah dia dapat berbagi cerita. Sedang Iren mana pernah bisa diajak bicara serius.
“Ada satu masalah lagi, Si. Sisi paham kan, kalau kita ini tidak punya apa-apa lagi selain rumah ini?”
Pembicaraan semakin serius. Membuat dadaku untuk kesekian kalinya mencelos. Dengan agak bimbang, aku mengangguk di hadapan Mama. Kupasang wajah yang tenang, padahal di dalam hati sudah ada gejolak-gejolak yang mengganggu.
“Papamu nggak meninggalkan harta apa pun lagi. Biaya sekolah Iren saja kamu yang bantu dari awal. Sekarang, adikmu malah minta untuk tunangan dan nikah. Mama … bingung, Si.”
Entah kekuatan dari mana, bibirku dengan mulusnya berucap, “Ma, Sisi punya sedikit tabungan. Simpanan perhiasan pun masih ada beberapa. Kita pakai itu dulu saja ya, Ma. Sisanya biar keluarga Andika yang mengusahakan.”
Demi mendengar kalimatku, bibir Mama langsung melengkungkan senyuman. Air matanya jatuh lagi. Tubuhnya langsung memelukku dengan sangat kencang. Namun, sejurus kemudian hatiku malah terasa teriris-iris bagai sembilu. Nyeri sekali. Ada penolakan di dalam sukma yang seolah menggedor-gedor jantungku, sampai membuat dada ini serasa sesak. Ya Tuhan, aku harus ikhlas demi membahagiakan Mama. Apa pun caranya harus rela kutempuh agar beliau tak terbebani.
“Makasih, Si. Makasih banyak. Mama sudah bingung memikirkannya dari kemarin. Maafkan Mama ya, Si, selama ini Mama dan Papa hanya bisa merepotkan Sisi.”
“Mama dan Papa sudah menyekolahkan Sisi sampai jadi sarjana dan bekerja pun, Sisi sudah bahagia sekali. Mama dan Papa nggak pernah menyusahkan Sisi. Malahan Sisi yang selalu menyusahkan kalian.” Aku berucap sehalus mungkin, membesarkan perasaan Mama meskipun hatiku sendiri begitu terluka. Namun, satu keyakinanku. Tuhan itu tidak makan dan tidur. Tuhan pasti akan membalas kebaikanku ini suatu hari nanti. Aku hanya perlu bersabar dan berbesar hati saja.
Saat kami saling berpelukan, tiba-tiba pintu kamarku didorong dari luar. Kami berdua kaget. Mama sampai buru-buru melepaskan diri demi melihat ke arah depan sana. Ternyata Iren. Gadis berambut sebahu dengan kulit putih langsat itu memandang aneh ke arah kami.
“Mbak, Andika sore ini mau datang sama ibu ayahnya. Baru ngabarin barusan. Kita punya stok bahan buat bikin cake atau puding, nggak? Atau, Mbak pesan aja bisa nggak ke toko langganan? Sekarang, deh, kalau bisa. Cepetan.” Gadis bercelana pendek sepaha dengan kaus warna putih yang ketat itu memerintahkanku dengan suaranya yang melengking. Aku sama sekali tak heran. Namun, apakah dia tak melihat bahwa kami berdua masih memiliki sisa air mata di muka?
“Kamu bisa kan, pesan sendiri?” Kegeramanku tiba-tiba memuncak. Kuhapus cepat sisa air mata di wajah. Hendak berdiri, tapi Mama buru-buru menahan lenganku.
“Lho, Mbak kok, sewot? Kan, aku ngomongnya baik-baik!” Iren malah melipat tangan di depan dada. Memandangku dengan mata yang sengit, seolah selama ini aku yang minta makan kepadanya.
“Sudah, jangan bertengkar. Si, tolong pesankan saja cake pisang satu loyang dan puding regal satu loyang untuk hidangan tamu kita. Tolong ya, Nak.” Suara Mama begitu merendah. Namun, malah membuat luka di dadaku semakin menganga. Bersamaan itu, pintu kamarku ditutup kembali dengan keras oleh Iren. Menjadikan kesedihanku semakin bertambah-tambah meluap.
“Sabar, Nak. Pahami adikmu. Dia masih kekanakan. Kita harus banyak-banyak mengalah padanya, meskipun rasanya Mama sangat tak tega kalau melihat kamu terus-terusan dibegitukan olehnya.”
Terbesit di dalam benakku secara tiba-tiba. Berulang kali Mama mengatakan tak tega. Namun, berulang kali pula beliau malah membela Iren meski tak secara terang-terangan. Apakah sebenarnya … aku ini hanya alat bagi mereka? Astaghfirullah, salahkah bila aku berprasangka buruk?
BAGIAN 2“Kamu sudah nggak apa-apa, kan, Si? Mama tinggal ke dapur dulu, ya. Tolong pesanan adikmu jangan sampai lupa.” Mama mengusap puncak kepalaku dua kali dengan gerakan lembut. Aku yang sempat terpaku sebab kata-kata menyakitkan dari Iren hanya bisa menganggukan kepala.Mama pun beringsut dari duduknya. Keluar dari kamarku dan menutup kembali daun pintu. Meninggalkan diriku sendirian yang masih terhenyak.Aku jadi tak habis pikir. Merasa kecewa secara tiba-tiba dengan sikap Iren dan Mama. Selama ini kukira Iren hanya bersikap manja sekaligus caper kepada sang kakak. Namun, setelah kucermati lebih lanjut, ini sudah lebih dari sekadar manja. Ini kurang ajar! Anak itu tak seperti yang kubayangkan. Diam-diam dia sekarang telah tumbuh menjadi gadis yang tak berakhlak sekaligus menyebalkan.Perasaanku begitu berkecamuk. Campur aduk. Antara ingin mengasihi atau mendidik Iren yang menurutku tak lagi bisa dikatakan anak-anak. Dia jelas sudah dewas
BAGIAN 3 Aku masih memacu motorku. Membawanya entah ke mana. Pikiranku seketika galau. Sedikit banyak aku merasa takut. Ya, takut bila apa yang sudah kulakukan tadi salah. Meskipun aku jadi tahu bahwa sikap Andika sangat-sangat tidak sopan plus menjijikan, tapi entah mengapa perasaan bersalah itu tiba-tiba saja muncul ke permukaan. “Ah, sudahlah, Si! Ngapain juga mikirin sampah kaya dia!” rutukku pada diri sendiri dengan suara pelan. Meskipun begitu, lagi-lagi perasaan bersalah itu tetap hadir. Wajah Papa yang teduh dan selalu berpesan agar aku menjaga Mama dan Iren, tiba-tiba saja masuk ke dalam pikiran. “Jaga Mama dan adikmu,
BAGIAN 4 Kulupakan sejenak permasalahan yang sesungguhnya telah mengguncang jiwa ini. Siapa yang tak hancur saat orang yang paling dicintai, ternyata tak sepanjang itu kasihnya kepada kita. Namun, aku terus mencoba untuk tegar. Melangkahlah kaki ini ke dalam minimarket yang sedari tadi menyaksikan betapa kecewanya hatiku. Gontai kedua tapak kaki menijak lantai, segontai perasaan yang tengah terluka. Aku terus berjalan ke arah paling ujung minimarket, mengambil sebuah air mineral botol dari dalam showcase pendingin. Lihatlah. Untuk minum saja, sengaja kupilih merek dengan harga paling murah. Sudah jadi kebiasaan, sebab aku berpikir bagaimana pun pengeluaran pribadi harus ditekan seminimal mungkin. Kalau tak begitu, mana mungkin gajiku sebagai supervisor warehouse material bangunan mencukupi seluruh kebutuhan rumah
BAGIAN 5 “Aku durhaka? Aku?” Aku makin meringsek maju. Kedua tinjuku bahkan terkepal sempurna. Terus aku maju sampai-sampai tubuh adikku ikut termudur dan bersandar mentok ke dinding. Wajahnya tentu saja terlihat sangat ketakutan. “Kamu yang durhaka! Kamu manusia tidak tahu diri! Hidup pengeretan! Makan masih minta. Uang kuliah dari hasil keringatku saja, kelakuanmu sudah sok-sokan seperti aku yang mengemis hidup!” Kucengkeram dengan keras bahu Iren. Membuat tubuhnya luar biasa gemetar. Seketika, timbul sebuah ide gilaku. Beginilah seekor macan. Jangan coba-coba ganggu dia saat tengah tertidur pulas, jika masih menginginkan nyawa. Namun, jika memang ingin mengadu nyali, akan kulayani juga.&nb
BAGIAN 6 Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa. Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pij
Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m
BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu
BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s