Share

7. Cincin Sebagai Petunjuk

Parni berjalan cepat keluar dari area sekolah Iqbal. Tetapi sebelumnya ia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Iqbal pada penjaga sekolah. Ia berharap, Iqbal menerima keputusannya dan mau memaafkannya. Walau hatinya begitu sakit saat ini. Dengan naik turun dua angkutan umum. Sampailah Parni di terminal Lebak Bulus. Berkali-kali ia menghembuskan nafas kasar, ke mana kakinya ini harus melangkah, ia tidak tahu. Ia memilih membeli tiket tujuan Surabaya. Semoga ia bisa melupakan semua kejadian kelam di Jakarta, dan hanya akan kembali lagi, jika rasa sakitnya sudah sembuh.

"Pak Iqbal!" panggil penjaga sekolah tersebut, saat Iqbal akan mengeluarkan motornya dari parkiran.

"Ya, Pak. Ada apa?" tanyanya.

"Ini ada titipan surat dari wanita bernama Parni." sambil memberikan sepucuk surat pada Iqbal.

"Parni? Tadi ke sini?" tanya Iqbal dengan pupil melebar. Dadanya berdegub sangat kencang.

"Iya, izin sama saya mau lihat bapak di kelas. Jadi saya persilakan. Emang bapak tidak tahu?"

"Saya tidak tahu, Pak."

"Bawa ransel, seperti mau pergi ke mana," terang penjaga sekolah lagi.

"Hah? Beneran?!" tanyanya lagi dengan tubuh menegang.

"Terimakasih, Pak," ucap Iqbal, lalu dengan tergesa membuka surat dari Parni.

Assalamua'laykum Mas.

Bagaimana kabarnya? Semoga Mas Iqbal baik-baik saja. Maafkan saya yang tidak berani untuk bertemu, saya pamit. Ingin menyembuhkan luka hati dan tubuh saya. Semoga Mas Iqbal mengerti. Maafkan saya dengan terpaksa membatalkan semuanya, saya tidak punya pilihan lain. Satu hal yang harus Mas tahu, di mana pun saya nanti, saya akan baik-baik saja. Jaga diri ya, Mas. I love you.

Air mata terjun bebas dari kedua matanya, bahkan kini tangannya meremas kuat kertas dari Parni. Cepat ia memakai jaket dan helem, tujuannya saat ini adalah rumah Anton, untuk mendapatkan informasi lebih jelas.

****

Parmi menunggu lama di teras rumah, ketiga anak-anaknya untung saja siang ini anteng dan tidur lebih cepat. Bolak-balik ia mengintip ke pintu pagar, berharap suaminya kembali bersama ibu dan tetehnya. Namun tidak ada siapapun di sana. "Teh Parni ke warung siapa sih? Lama betul," gumamnya, "ini lagi si sayang sama ibu, ga balik-balik. Ikut jajan cilok apa ya?" ocehnya lagi. Parmi memilih kembali ke dalam rumah, ia berjalan masuk ke dalam kamar Parni, membuka lemari pakaian. Benar saja baju tetehnya hanya tersisa sedikit di dalam lemari.

"Ya Allah, Teh Parni berarti pergi beneran," lirih Parmi dengan bahu melorot. Matanya beralih pada meja rias kecil, hampir semua benda di sana sudah tidak ada. Tersisa bedak tabur bayi, jepit rambut, dan lipstik Parni yang selalu dipakai oleh tetehnya. Kening Parmi tiba-tiba berkerut, "wah, benar-benar si teteh. Lipstik dua juta saya dia bawa juga," oceh Parmi sambil menggelengkan kepala.

Kreeeng...

Suara pintu pagar dibuka. Setengah berlari Parmi keluar dari kamar, lalu menghampiri siapa di depan sana. Benar saja, suami dan ibunya baru saja kembali, tanpa Parni bersama mereka. "Gimana, Bu? Mana Teh Parni?" tanya Parmi khawatir. Apalagi wajah ibunya kini basah kembali.

"Tidak ada sayang, kita tidak tahu Teh Parni ke mana," sahut Anton dengan suara lemah.

"Di warung Ucok kali," ujar Parmi.

"Sayangku, cintaku  permaisuriku, ratu lemotku. Teh Parni itu kabur dari rumah, bukan ke warung. Tapi kabur beneran, sayaaang" terang Anton sambil mencubit gemas pipi Parmi.

"Lemot dipiara! Sudah tahu lagi susah, kamu masih aja ga nyampe ke sana otaknya Parmi. Ga tau lagi deh ibu sama kamu. Kalau ibu jadi Anton, kamu udah ibu museumkan," Bu Parti menggelengkan kepala, lalu masuk ke dalam rumah tanpa semangat.

"Teh Parni yang pergi, kenapa Parmi yang mau dimuseumkan? Emang salah ibu apa sayang?" tanya Parmi pada Anton dengan polosnya.

"Salah ibu itu, kenapa terlalu menggemaskan?" Anton sudah mengengkat tubuh sintal Parmi masuk ke dalam rumah.

"Emang mau tambah lagi?" tanya Parmi dengan wajah memerah malu, sambil tangannya bermain di dada suaminya.

"Duh, kalau ke situ cepet banget ngeh sayangnya aku, ha ha ha ...," Anton terbahak.

"Papa belum makan, ambilkan deh sayang. Bawa ke kamar ya!" titah Anton pada Parmi, menurunkan Parmi dari gendongannya tepat di area dapur.

Parmi mengangguk, lalu dengan cepat mengambilkan nasi untuk suaminya. Sedangkan Anton memilih masuk ke kamar untuk mandi.

****

Ali sibuk mempersiapkan semua berkas yang ia butuhkan untuk kepergiannya ke Jerman. Mulai dari SKCK, surat keterangan bebas narkoba, dan berkas lainnya yang ia butuhkan nanti di sana. Ia bahkan sudah membeli tiket pesawat yang akan berangkat hari sabtu siang, setuju atau tidak setuju papanya, ia harus berangkat. Tidak mungkin ia mengabaikan kesempatan untuk kuliah di sana, apalagi melalui jalur beasiswa.  Semua sudah ia urus dan membayarnya dari kantong sendiri, tanpa meminta pada papa dan mamanya.

"Tiketnya sudah?" tanya Bu Miranti saat menghampiri Ali yang sedang merapikan buku-bukunya di kamar.

"Semua sudah, Ma," jawabnya.

"Tinggal restu papa saja yang belum," ujarnya lagi sambil terduduk lemas di dekat mamanya.

"Mama akan bantu cari wanita itu, jika sudah ketemu dan yakin dia, kalian akan tetap mama nikahkan, kamu harus membawanya nanti ke sana," terang Bu Miranti tegas.

"Iya, Ma. Ali setuju," sahut Ali sambil tersenyum tipis.

"Walaupun Ali tidak cinta, Ali akan berusaha bertanggung jawab,"

Pllaaakk..

"Tidak cinta dari mana?" teriak Bu Miranti setelah memukul lengan Ali.

"Anak perawan orang kamu gagahi, mungkin tidak hanya satu kali, mengingat bau percintaan sangat menyengat seperti itu," tutur Bu Miranti sewot.

"Pusing Mama, Li...!"

"Maaf, Ma. Tapi Ali janji akan tanggung jawab."

"Oke, mama pegang ucapan kamu." Bu Miranti keluar dari kamar anaknya.

Ali kembali termenung, apalagi sudah tiga malam sejak kejadian itu, ia terus saja memimpikan wanita yang ia gagahi. Ali meremas rambutnya kasar, "siapa kamu?" bisiknya, "wajah yang tidak asing, tapi siapa?" Ali mencoba mengingat-ingat saudara atau mungkin teman kampusnya, tetapi sepertinya bukan.

****

Sore itu juga, Iqbal menyambangi rumah Anton, mata Iqbal berkaca-kaca, saat mengetahui Parni benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Dan yang paling menyedihkan, mereka tidak ada yang tahu Parni pergi ke mana.

"Sabar, Bal. Mungkin belum berjodoh," ujar Anton sambil merangkul pundak Iqbal.

"Gue berharap, Parni tidak melakukan hal nekat, Ton," sahutnya.

"Gue tahu siapa Teh Parni, ia masih ada iman. Tidak mungkin berbuat nekat. Berdoa saja kita segera dapat kabar darinya," ujar Anton lagi.

"Minum Mas Iqbal." Parmi mempersilakan Iqbal untuk meminum teh yang ia suguhkan.

"Terimakasih, Mi," ujar Iqbal sambil melirik sekilas Parmi.

"Tato di leher gede banget gitu," ledek Iqbal mencoba mencairkan suasana. Anton meraba lehernya, sambil menyeringai.

"Tuh, zombinya," tunjuk Anton pada Parmi yang berjalan ke arah dapur.

"He he he, sabar ya, Bal. Gue doain lu sesegera mungkin mendapatkan biangnya zombi," ujar Anton lagi sambil tersenyum lebar.

Setelah sholat magrib, Iqbal pamit pulang. Ia memilih untuk tidak langsung pulang, tetapi ia berinisiatif untuk bermalam di apartemen yang sedang ia cicil. Ya, di apartemen yang sama tempat Ali berada.

Setelah memarkirkan motor besarnya di area parkir apartemen, ia berjalan masuk melalui lobi belakang. Berjalan menuju lift.

Ting

Pintu lift terbuka, Iqbal masuk ke dalamnya, disusul seorang lelaki muda. Iqbal menoleh sekilas, "Ali ya?" Iqbal mengenali Ali.

"Eh, iya. Saya Ali. Mas siapa?"

"Saya Iqbal, saudaranya suami Parmi, kenal Parmi'kan?"

"Oh, Teh Parmi. Iya ingat, Mas. Ga bakalan bisa saya lupakan, he he he..., kita pernah bertemu di acara akikah anaknya Teh Parmi ya?"

"Iya, betul."

"Teh Parmi sehat, Mas?"

"Sehat, alhamdulillah."

"Teh Parni?"

"Ah...mmm...sehat,"

"Syukurlah, si kembar sudah bisa apa, Mas?"

"Sudah bisa berjalan dan mulai bicara,"

"Wah, sudah lama juga saya tidak silaturahim ke sana. Sudah setahun kayaknya," ujar Ali lagi.

"Salam ya, Mas. Kalau ketemu,"

"Oke, saya duluan ya," pamit Iqbal karena ia sudah sampai di lantai enam.

****

Dokter Alan akhirnya memberi restu pada Ali untuk melanjutkan studi S2 di Humboldt. Dengan catatan, jika wanita yang ia gagahi berhasil ditemukan, Ali akan pulang ke Indonesia untuk menikahi wanita tersebut, lalu membawanya serta ke Jerman. Berat hati sebenarnya bagi dokter Alan, karena bagaimana pun, belum ada dalam silsilah keluarga besarnya, ada anggota keluarga yang mencoreng nama keluarga dengan perbuatan bejat seperti ini, yang seharusnya tak dapat diampuni.

"Sudahlah, Pa. Ali sudah berjanji, pasti ia tepati, jangan kepikiran terus, nanti papa bisa sakit," tutur lembut Bu Miranti, sambil mengusap lengan suaminya.

"Yuk, kita antar anaknya ke bandara!" ajak Bu Miranti menarik tangan suaminya agar berdiri dari duduknya.

Ali sudah siap berangkat. Koper, ransel, berkas-berkas, tak lupa tiket dan data diri lainnya sudah ia siapkan. Ia sudah duduk di sofa depan televisi sambil menanti kedua orang tuanya keluar dari kamar.

"Bang, hati-hati ya!" ujar Ica sambil menepuk pundak Ali.

"Lho kamu ga ikut anter abang?"

"Nggak ah, mau kerkom di apartemen,"

"Bye, Bang. Cup." Ica mengecup pipi abangnya. Lalu berjalan naik ke lantai dua untuk berpamitan pada papa dan mamanya. Tidak lama berselang, Ica turun bersama kedua orang tuanya, melewati Ali sambil melambaikan tangan.

"Ayo, kita juga harus berangkat!" ujar Bu Miranti sambil menarik tangan kedua pria di sampingnya yang masih bermusuhan.

Hanya memakan waktu sejam Ali dan kedua orangtuanya sudah sampai di bandara. Masih ada satu jam lagi, sebelum check-in Bu Miranti memilih mengajak anak dan suaminya berbicara di kafe. Yang tidak jauh dari pintu keberangkatan.

****

Ica dan tiga orang temannya sudah sampai di apartemen Ali. Ica sangat senang akhirnya bisa menginap di sini, setelah lama menanti waktu yang tepat. Untung saja abangnya Ali mau berbaik hati.

"Abang lu ganteng banget, Ca," puji Anita, teman Ica.

"Gue aja cantik, ya abang gue harus ganteng dong," sahut Ica sambil memainkan rambutnya.

"Iya tuh, kayak model ya. Kenalin ke kita dong," rengek Manda kali ini. Tiga orang teman Ica masih asik memandangi foto besar Ali yang terpajang di dinding ruang televisi.

"Nonton yuk!" Anita mengambil remot TV.

"Oh iya, gue ke kamar sebentar ya, mau rebahan, kepala gue kok sakit. Tuh pizza makan aja. Bebas lu di sini mau ngapain aja, asal ntar malam kita siap tempur belajar,"

Ica masuk ke dalam kamar abangnya, merebahkan tubuh di atas ranjang besar milik abangnya. Matanya benar-benar mengantuk, ia meletakkan ponsel persis di sampingnya. Terlelap begitu nyaman, sampai...

Puukk!

"Aduh!" Ica terbangun, kaget dengan suara benda jatuh. Setelah dilihat ternyata ponselnya terlempar ke bawah sofa persis di samping ranjang. Sambil mengucek mata, ia meraba kolong sofa, tangannya menyentuh sesuatu selain ponselnya. Ia mengambil ponselnya terlebih dahulu, kemudian mengambil benda yang ia rasa aneh. Keningnya berkerut, sambil membolak-balik benda tersebut di tangannya. Apa ini? Parni? gumamnya dengan dada berdebar. Seperti nama siapa ya? Aduh, gue kok deg-degan. Ica bermonolog, cepat ia memencet ponsel mamanya, namun tidak diangkat. Ia mencoba ke ponsel Ali, tidak diangkat juga. Ica mencoba kembali menelepon mamanya.

[Hallo mama, Ica nemu cincin seperti cincin pertunangan, di kolong sofa apartemen Bang Ali, ada namanya Parni]

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status