Home / Romansa / Batal Akad / 6. Memilih Pergi

Share

6. Memilih Pergi

last update Last Updated: 2022-02-17 16:16:46

Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah. Masih dengan air mata yang menggenang, Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirnyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.

Tuk!

Tuk!

"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni.

"Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.

Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkan handle pintu, namun tidak bisa karena terkunci dari dalam.

"Ni, buka dulu, kita perlu bicara," panggil Iqbal lagi dengan nada memelas. Sedangkan Parni di dalam sana menutup rapat kedua telinganya dengan telapak tangan. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun, ia tidak ingin bicara dengan siapapun.

Iqbal menyerah, setelah dua jam Parni tidak memberikan respon. Ia melangkah lunglai menuju ruang tamu, di sana sudah ada kedua orangtuanya, Anton, Parmi, serta Bu Parti. Mereka memandang Iqbal dengan wajah iba, terutama Bu Reni, mama dari Iqbal.

"Bagaimana?" tanya lirih wanita paruh baya itu.

Iqbal menggeleng lemah, ada genangan air mata di sana yang sedikit lagi akan mengucur deras. Iqbal memilih duduk di samping ibunya, dengan menunduk. Sangat susah untuk melepaskan Parni, ia mencintai wanita itu. Tapi Parni ingin membatalkan semua karena ia merasa tidak pantas untuk Iqbal dan keluarga, dan Parni mengancam akan bunuh diri, jika sampai Iqbal mengatakan yang sesungguhnya pada Bu Parti, calon ibu mertuanya.

"Maafkan saya, Bu. Rencana pernikahan ini tidak bisa diteruskan," dengan suara sangat berat Iqbal mengambil keputusan paling berat dalam hidupnya.

"Maaf saya tidak bisa memberitahu alasannya, sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Mama dan Papa, maaf," ucapanya lemah, lalu pergi meninggalkan rumah Parni dengan motornya, setelah Iqbal, kini kedua orangtuanya pun pamit dengan wajah sedih dan kecewa.

"Ya Allah, kenapa nasibmu seperti ini Parni?" batin Bu Parti, wanita renta itu mengusap dadanya yang sakit.

"Bu...!" Parmi kaget saat menyadari ibunya kini sudah pingsan. Sigap Anton menggendong tubuh ibu mertuanya untuk rebahan di sofa. Parmi masuk ke dalam kamarnya bermaksud mengambil minyak kayu putih.

"Bik, cepat buatkan ibu teh manis, gulanya dua sendok teh saja!" titah Parmi pada bibik yang sedang menemani si kembar bermain di karpet ruang televisi.

"Ini, Sayang!" Parmi menyerahkan sebotol baby oil kepada Anton.

"Sayang, ini bukan minyak kayu putih, ini minyak untuk pijat bayi lho," sanggah Anton sambil mengembalikan botol yang diberikan istrinya.

"Ibu bukan bayi sayang," ujar Anton lagi menambahkan. Rasanya ingin sekali menghajar istrinya di atas ranjang.

"Eh, salah ya. Buru-buru, sih. Bentar ya sayang, ibu ambilkan lagi," sahut Parmi langsung melesat kembali ke kamarnya.

Setelah diberi minyak kayu putih, Bu Parti perlahan sadar dari pingsannya, menyisakan air mata yang terus saja mengalir di pipi.

"Sabar ya, Bu. Ibu harus kuat seperti Ade Rai," oceh Parmi memeluk pundak ibunya.

"Siapa itu Ade Rai?" tanya Bu Parti.

"Itu atlit binamarga, Bu. Yang ototnya gede-gede kayak bakso atom," terang Parmi antusias.

"Oo..., jadi sekarang Parni beneran tidak jadi menikah?" tanya Bu Parti pada Parmi.

"Iya, Bu. Belum berjodoh," sahut Parmi lemah. Bu Parti menangis dipelukan Parmi, keduanya merasa sangat kasihan atas nasib buruk apa yang menimpa Parni.

****

Plaakk!

"Sejak kapan kamu mulai sembarangan menanam benih, hah?!" Dokter Alan membentak dan menampar Ali sekaligus.

"Tidak pernah sama sekali, Pa. Hanya malam itu saja Ali terlalu banyak minum, karena kesal dengan penghianatan Karina."

"Dan sekarang lihat akibatnya! Kamu memperkosa anak perempuan orang. Ya Allah, jangan sampai orang di luar sana tahu, apalagi rumah sakit. Bisa dipecat papa kamu ini, Aliii...!" Dokter Alan menarik kerah baju kemeja Ali. Dari sudut bibir Ali, sudah keluar darah segar akibat tamparan dari papanya.

"Yang jelas tidak mungkin wanita penggoda pakaian dalamnya seperti ini." Dokter Alan melemparkan plastik abu-abu ke depan wajah Ali.

"Papa tidak mau tahu, kamu harus cari wanita itu sampai ketemu, kalau tidak, kamu tidak boleh kuliah di Jerman, paham kamu?!" bentak dokter Alan.

Lelaki paruh baya itu, meninggalkan Ali yang tertunduk. Rasa kesal,marah, dan kecewa menjadi satu. Anak sulung yang diharapkan bisa menjadi seorang yang sukses kelak, malah kini membuat keonaran yang mencoreng nama keluarga.

"Ayo obati dulu!" ujar Bu Miranti, mengangkat wajah Ali. Ia mengompres luka di sudut bibir anaknya dengan air dingin.

"Assalamua'laykum," seru Annisa saat di depan pintu rumah.

"W*'alaykumussalam," jawab Bu Miranti.

"Wah, Bang Ali dicium tangan papa ya?"

Ali memandang adiknya dengan kesal.

"Ye, malah sewot. Makanya jadi anak baik, jadi biar ga ditabok," ujar Annisa lagi sambil berlalu meninggalkan Ali yang sedang diobati oleh mamanya .

"Oh iya, Bang. Sabtu besok Ica pinjam apartemen yak, mau refreshing sebelum UAS. Nginep sama temen-temen Ica," izin Ica pada Ali, sebelum ia menaiki anak tangga, menuju kamar.

"Pakai aja, tapi jangan diacak- acak!" tutur Ali mengingatkan

"Ye, Bang Ali bukannya mau pergi kuliah ke luar negeri? Ya udah ikhlasin aja kenapa buat Ica apartemennya," Ica mengerjapkan matanya memohon kebaikan hati abangnya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan Indonesia.

"Gak bisa!" tolak Ali sambil mengangkat tangannya.

"Udah Ica, sana mandi dulu! Bau bola basket gitu," titah Bu Miranti pada puteri bungsunya.

"Mah,bantu Ali ngomong sama Papa," rengek Ali pada mamanya.

Bu Miranti hanya diam, tidak menolak, tidak juga mengiyakan. Entah bagaimana nanti jadinya.

****

Parni mengemas pakaiannya ke dalam sebuah tas ransel. Ia memutuskan untuk pergi, karena jika dia terus di rumah, ingatannya tentang Ali bisa mengakibatkan dia gila.

"Parni, kamu mau ke mana?" tanya Bu Parti yang terbelalak heran melihat tubuh kurus lunglai Parni keluar dari kamarnya sambil menggendong tas ransel. Bu Parti meninggalkan aktifitasnya mengiris bawang, lalu menghampiri Parni.

"Parni mau kerja, Bu. Parni pamit ya, salam buat Parmi. Nanti kalau Parni sudah dapat tempat tetap, Parni akan kabari ibu," tutur Parni sambil menarik punggung tangan ibunya, "restui Parni ya, Bu," ucapnya lagi.

"T-tapi, kamu bukannya lagi sakit?"

"Parni sudah sehat, Bu. Ibu jaga diri ya," tanpa melihat lagi raut wajah ibunya, Parni setengah berlari keluar dari rumah.

Bu Parti yang masih belum sadar dengan yang baru saja terjadi, hanya bisa tercengang saat pintu pagar kembali ditutup Parni.

"Parmii!" teriak Bu Parti memanggil Parmi yang sedang berada di dalam kamar. Dengan tergopoh Parmi keluar kamar, merapikan kancing bajunya yang belum lama diacak-acak oleh Anton.

"Ada apa, Bu?" tanya Parmi dan Anton bersamaan.

"Parni pergi, cepat susulin Anton," dengan gemetar Bu Parti meminta Anton menyusul Parni.

"Pergi ke mana, Bu? Ke warung?" tanya Parmi dengan polosnya.

"Bawa ransel, Mi,"

"Mau beli apa ke warung sampe bawa ransel?" Parmi mengerutkan keningnya mencoba berpikir keras.

Anton mencubit gemas pipi istrinya, "dah sana, kamu masuk nemenin si kembar, biar papa susulin Teh Parni bersama ibu," ujar Anton sambil mendorong tubuh Parmi agar kembali masuk ke dalam kamar. Parmi menurut, dengan pikiran masih bertanya-tanya, ngapain disusulin? orang cuma ke warung. Ha ha ha... tobat Parmi, tobaaat!

****

Dengan menggendong tas ranselnya, Parni pergi menuju sebuah gedung sekolah. Tempat di mana Iqbal mengajar. Dengan menahan air mata, ia meminta izin pada penjaga sekolah agar memberinya izin untuk masuk bertemu dengan Iqbal, dengan alasan ingin memberi kejutan.

"Ruang kelasnya di mana ya, Pak?" tanya Parni pada penjaga sekolah.

"Paling ujung, Neng. Ruang kelas XII."

Dengan berdebar Parni melangkahkan kaki menuju ruang kelas tersebut, keadaan sekolah hening karena semua sedang fokus menerima materi ajar. Dengan air mata yang membanjiri pipinya, Parni memperhatikan Iqbal yang sedang mengajar di dalam sana dengan begitu penuh wibawanya. Ya Allah, betapa ia mencintai lelaki itu, tetapi ia juga harus melepaskannya. Iqbal pantas untuk mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.

"Selamat tinggal, Mas. Semoga kamu menemukan wanita yang lebih baik dari aku."

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batal Akad   48. Dua Satu Plus

    Gemericik suara air mengusik tidur nyenyaknya pagi ini. Tidur yang paling berkualitas sepanjang hidupnya, karena ini pertama kalinya ia tidur sambil dipeluk oleh seseorang yang membuatnya kembali jatuh cinta. Parni membuka matanya pelan, dirabanya sisi kasur yang telah kosong. Ke mana suaminya? Parni turun dari kasur tanpa memperhatikan rasa nyeri."Auu ...." Parni kembali duduk. Kenapa sakit? Karena memang baru ini lagi ia berhubungan intim, tentu saja rasanya bagai baru saja diperawanin. Perih, kebas, dan serasa tebal. Sangat tidak nyaman. Parni meraih selimut tebal untuk menutupi tubuhnya hingga dada. Diliriknya jam di dinding yang sudah pukul setengah delapan pagi.Shubuh tadi, setelah selesai mandi hadas besar dan sholat berjamaah, mereka kembali melanjutkan aktifitas panas, merajut tali cinta. Mengharapkan segera hadir adik bagi Saka dan Lingga. Wajar saja jika saat ini mereka bangun kesiangan. Sepertinya sang suami tidak ada di dalam kamar mandi. Ke mana suara anak-anak? Apa me

  • Batal Akad   47. Pengantin Baru

    "Saka dan Lingga biar tidur di rumah Mama saja, ya?" ujar Bu Miranti yang sudah memangku Saka, sedangkan Lingga di pangku oleh Opanya."Eh, jangan, Ma. Saya iseng, kalau tidak ada orang di rumah," tolak Parni terus terang."Trus itu yang lagi nunduk siapa? Demit?" celetuk Parmi, sang adik yang sangat kebetulan pintar malam ini. Di samping Parni sudah duduk Ali yang kini sedang menunduk."Gak papa, Teh. Pengantin baru itu harus beratapdasi satu sama lain. Benarkan, Yang?" tanya Parmi pada Anton yang kini menyeringai lebar. Baru sepersekian detik dipuji, udah error lagi Nyonya Parmi."Ber-a-dap-ta-si." Anton membetulkan ucapan Parmi."Iya, tadikan Ibu bilang beratapdasi," balas Parmi tak mau kalah. "Ha ha ha ...." semua yang ada di sana tertawa mendengarkan percakapan Parmi dan juga Anton."Besok tinggal jemput ke rumah Omanya. Jangan takut, Teh. Paling digigit sayang doang sama Ali. He he he ...." yang lain pun ikut tertawa. "Ya sudah, kita pulang dulu ya, Ni. Ali, Ibu balik ya?""Eh

  • Batal Akad   46. Takdir Emir

    [Hallo, selamat sore. Saya dengan Emir. Dua tahun lalu saya mengantar seorang pasien yang melahirkan di rumahnya. Namanya Ami dan bayinya Amira. Apakah Suster tahu keberadaan mereka di mana?][Sore, Mas. Mohon, Maaf. Kami tidak bisa memberitahukan kabar apapun berkaitan dengan pesian kami. Karena itu privacy.][Oh, baiklah. Terimakasih]Emir mematikan teleponnya, lalu memilih duduk di sofa. Jendela rumah yang terbuka lebar, membuat ia dapat menghirup dalam aroma tanah yang basah oleh air hujan yang baru saja reda."Mir, Parni hari ini nikah lho. Kamu sudah ucapkan selamat?" tanya Bu Farida saat menghampiri anaknya di ruang depan."Sudah, Ma. Emir juga sudah transfer uang sebagai hadiah buat Teh Parni," jawabnya sambil tersenyum tipis."Kamu sudah tidak apa-apa?""He he he ... Gak papa Mama, sekarang udah ada Farah yang jadi pacar Emir.""Kapan dia kamu ajak ketemu Mama?""Minggu ini kalau dia ga ada pemotretan, Ma.""Mmm... Okelah, Mama masuk dulu." Bu Farida meninggalkan Emir yang ma

  • Batal Akad   45. Ali Melamar

    "Bagaimana kalau Teteh menikah dengan saya?" tanya Ali tanpa ragu."Kalau kamu masih bicara seperti itu lagi, lebih baik kamu turun. Jalan kaki saja sana, pulang!""He he he ... Gak mau ya. Ya sudah ga papa, yang penting Teteh ga nikah sama siapa-siapa, saya jadi lega," ujar Ali sambil mengusap kedua pipi Lingga."Oh, jadi kamu doain aku jomblo seumur hidup? Sorry ya, aku udah ikut biro jodoh, paling sebentar lagi juga dapat," balas Parni tak mau kalah."He he he ...Bukan begitu maksud saya, Teteh."Pedebatan pun masih saja terjadi sampai mereka tiba di sebuah rumah minimalis kawasan Jakarta Timur. Bu Miranti hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ocehan dua orang yang duduk di belakangnya, sedangkan Pak Asep, sopir keluarga Bu Miranti hanya senyam-senyum saja."Semoga berjodoh yang duduk di belakang ini ya, Bu," bisik Pak Asep pada Bu Miranti."Aamiin. Saya malah pengennya besok saya nikahin aja, Pak. Biar ga berantem terus," sahut Bu Miranti juga sambil berbisik.Pak Asep turun d

  • Batal Akad   44. Dua Tahun Kemudian

    2 Tahun Kemudian.Di luar hujan turun begitu deras, disertai petir yang menggelegar. Sore hari yang tadinya cerah, berubah gelap menjelang adzan magrib. Ali baru saja selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah di masjid di dalam LAPAS, bersama Bang Komeng, Bang Malih, dan Aden, teman satu selnya.Senyumnya tak surut saat membayangkan besok adalah hari ia dibebaskan setelah dua tahun menjalani masa hukuman. Ia tak sabar untuk bertemu dengan Saka dan Lingga, serta ibu si kembar. Ya, meskipun dari kabar yang ia dengar, Parni sudah menikah dengan Emir, tetapi entah kenapa ia merindukan wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu."Duh, yang mau bebas besok. Senyam-senyum terus," goda Aden kini duduk di samping Ali."Udah ga sabar mau ketemu anak, Den," sahut Ali sambil tersenyum."Oh, cuma ga sabar ketemu sama si kembar, kirain sama ibunya juga. Ha ha ha ..." timpal Bang Komeng, hingga yang lainnya ikut tertawa."Istri orang masa dikangenin, Bang. Dosalah," timpal Ali."Yang jelas, d

  • Batal Akad   43. Emir si Pria Berhati Mulia

    "Toloong! Ada yang melahirkan. Tolooong!" teriak lelaki histeris bahkan dengan wajah pucat seputih kapas. Karena lokasi yang jauh dari pemukiman, ia berlari keluar villa, lalu menyebrang jalan untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang baru saja turun dari mobil di villa depan. Para ibu dan bapak yang keheranan dengan kedatangan Emir menjadi penasaran."Ada apa, Mas?""Tolong, Pak. Ada wanita melahirkan di dalam rumah besar itu, sepertinya tidak ada orang di dalam kecuali dia. Ayo, Pak. Kita tolong!" tiga orang lelaki dewasa dan dua wanita paruh baya ikut kaget, lalu dengan cepat mengangguk mengikuti langkah Emir. Petugas parkir belum sempat menghentikan kepergian para tamunya, karena sibuk mengatur posisi parkir tamu yang lain. Lelaki yang bertugas sebagai juru parkir itu bergidik ngeri, saat berbondong-bondong sebagian tamunya menyebrang villa di seberang.Bugh!Bugh!Suara hentakan itu semakin keras terdengar, hingga enam orang yang kini berdiri di depan tangga menjadi sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status