Viona meminta Rama mengantarkannya ke panti jompo. Tempat di mana bisa membuatnya tenang. Baginya di tempat panti jompo itu bisa melihat banyak orang tua yang sengaja ditinggalkan oleh anak mereka sendiri atau pun karena masalah yang lain. Terutama dengan Oma Dora. Wanita tua yang sudah dianggap seperti neneknya sendiri. Biasanya Viona berkeluh kesah dengan beliau. “Kamu enggak apa-apa aku tinggal di sini?” tanya Rama sedikit khawatir. “Iya Mas, lagian aku ingin bertemu dengan Oma Dora, turunkan aku di sana saja,” sahut Viona lembut. “Baiklah, jika ada yang kamu butuh kan lagi tinggal hubungi aku saja. Aku selalu ada untukmu, oke?” pinta Rama. “Iya Mas, dan terima kasih Mas Rama sudah mau membantuku.”“Tidak masalah lagian kita adalah teman. Dan sewajarnya kita saling membantu kan? Rama tersenyum kecil. “Iya,” jawab singkat Viona sembari menghela napas panjang. Rama pun mengangguk dan segera melajukan kendaraannya pergi ke tempat panti jompo.Dua puluh menit berlalu akhirny
Rama dan Ryan menuju lift khusus. Masih dengan tatapan yang sama karena sahabat sekaligus asisten pribadinya itu belum juga memberitahukan nama orang itu yang sudah membantu perusahaan Raga hingga bisa mendapatkan proyek itu. Bahkan dia juga tidak mempunyai cadangan rencana yang lain karena menganggap kalau Raga pasti tidak akan menghadiri rapat itu karena masalah Viona seperti dugaan sebelumnya. Namun, ternyata pikiran Rama salah karena masih ada keberuntungan yang dimiliki oleh Raga sehingga proyek itu ternyata bisa di dapat melalui campur tangan orang lain.Dengan langkah lebar dan tegas Rama masuk ke ruang kerjanya. Dia kemudian duduk di kursi kebanggaannya tersebut. Begitu juga dengan Ryan sudah mengambil posisi duduknya yang berhadapan langsung dengan Rama.“Sekarang katakan siapa yang sudah membantu Raga. Saya pikir dengan adanya masalah Viona, Raga akan kehilangan proyek itu tapi nyata tidak . Sangat menyebalkan!” geram Rama semakin menjadi-jadi. “Dari sumber yang di dapat
Di tempat lain Viona masih berkeluh kesah dengan Oma Dora. Wanita tua yang sudah dianggapnya seperti neneknya sendiri mampu membuat hari Viona sedikit lega. Meskipun masih ada kejanggalan di hati tetapi Viona berusaha untuk tidak terpengaruh. Di tempat itu juga Viona bisa mencari kedamaian di hati. Melihat banyak orang tua dengan berbagai macam masalah yang ada pada mereka. “Oh ya Vio, nanti ada tamu Oma dari luar kota, dia akan datang menjenguk Oma. Dia wanita yang sangat baik dan perhatian. Dia juga salah satu donatur tetap di sini. Setiap bulan dia akan memberikan sumbangan untuk di sini, makanya tidak heran kan kalau panti jompo ini berkembang dengan baik. Kami sangat terlindungi di sini. Rasa kekeluargaan yang tak pernah kami dapatkan dari keluarga sendiri tapi di sini kami menjadi satu keluarga,” kenang Oma Dora tersenyum kecil. Mata sendu itu tidak mampu menyembunyikan air matanya yang hampir saja terjatuh. “Oma rindu dengan keluarga?” tanya Viona lembut. “Bohong kalau
Wanita paru baya itu memaksa dan memberikan kotak kecil itu di tangan Viona. “Ambil Vio, tak baik menolak hadiah dari orang apalagi dari Ibu. Ya anggap saja saat sebagai ibu kamu juga enggak apa-apa. Soalnya saya enggak punya anak perempuan,” jawab Clarisa sambil tersenyum kecil. “Viona, ambil saja. Bu Clarisa ini sangat baik dia akan kecewa jika kamu menolaknya,” timpa Oma Dora meyakinkan Viona. Viona tersenyum meskipun masih kurang enak hati menerima pemberian wanita itu, tapi mau tak mau dia pun akhirnya menerimanya. “Terima kasih Bu, sudah memberikan saya hadiah,” ucap Viona. “Sama-sama . Buka dong apakah kamu suka atau tidak hadiah dari saya,” pinta Clarisa. Viona dengan malu-malu membuka kotak kecil itu. Wajahnya langsung tertegun melihat benda kecil itu begitu indah. Sebuah bros kecil berbentuk angsa.Viona mengeluarkannya dari kotak kecil itu. “Kamu suka?” tanya Clarissa.“Ya Allah ini indah banget Bu, tapi Ibu yakin mau memberikan kepada saya. Sedangkan ini adalah be
Raga masih kebingungan mencari Viona. Ponselnya pun tidak aktif bahkan sampai di rumah pun Raga tidak menemui Viona. Pria tampan itu lupa dengan tempat yang sering istrinya kunjungi bahkan tidak sampai terpikir ke sana. Raga pun akhirnya meminta bantuan Dimas untuk melacak nomor ponsel Rama. Mbok Darmi yang melihat majikannya itu uring-uringan merasa kasihan. Menunggu kabar dari Dinas apakah sudah bisa menemukan lokasi Rama. “Den Raga menunggu Bu Viona, tumben? Mulai rindu ya?” tanya Mbok Darmi yang menghampirinya sambil membawakan camilan kecil untuk sang majikan yang duduk di ruang keluarga.“Si—siapa bilang saya menunggu Vio? Terserah dia mau pergi ke mana bukan urusan saya juga,” kilah Raga yang masih fokus matanya ke layar televisi. Sedangkan tangannya masih menggenggam ponselnya. Mbok Darmi tersenyum kecil melihat sikap Raga yang belum mau mengakuinya. “Kenapa enggak menghubungi ponselnya Bu Vio?” “Ponselnya enggak aktif, malas banget kalau saya menghubungi si kutu kupr
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi Viona belum pulang ke rumah membuat hati Raga semakin gelisah. Ponselnya masih tidak aktif sehingga tidak bisa melacaknya. Geram bercampur marah. Sedari tadi pria tampan itu mondar mandir seperti setrikaan. Mbok Darmi hanya tersenyum melihat tingkah majikannya itu. “Bagaimana ini Mbok, ke mana wanita itu?” kesal Raga sambil melirik jam di pergelangan tangannya.“Wanita siapa Den, Bu Viona atau Non Vina?” tegas Mbok Darmi membuat Raga semakin kesal. “Ya Viona, siapa lagi kalau bukan dia? Jika sampai Papi telepon menanyakan menantu kesayangannya enggak ada di rumah bisa kena omel tujuh turunan ini,” kesal Raga sambil mengacak rambutnya.“Hanya itu alasannya?” tanya Mbok Darmi curiga. Mata Mbok Darmi menatap mencurigakan. “Kenapa Mbok Darmi melihat saya seperti itu?” kesal Raga semakin terpojok. “Memang harus apa alasannya, Mbok? Khawatir, cemburu? Enggak ya. Rama saja tidak bersama Viona kok,” kilah Raga sedikit lega. “Itu kan tadi
“Cepat Mbok, enggak usah dandan!” teriak Raga yang sudah tak sabaran untuk pergi ke rumah ayahnya. “Sabar toh Den, Bu Viona enggak akan ke mana-mana, dia ada di rumah Pak Seno,” sahut wanita paru baya itu yang sudah siap dengan penampilannya “Siapa yang mau bertemu dengan Viona? Saya harus cepat ke sana karena enggak mau kalau Papi sampai marah datang terlambat, itu saja,” tegas Raga mengingatkan.Mbok Darmi hanya tersenyum mendengar ucapan majikan mudanya itu. Dia sangat tahu kalau Raga pasti ingin sekali bertemu dengan Viona, tapi tidak mau mengakuinya. “Gengsi amat,” guru Mbok Darmi dalam nada suara pelan. Mobil melaju dalam kecepatan sedikit cepat. Raga pun mengambil jalan alternatif untuk bisa sampai lebih cepat. Meskipun jalan yang dilalui sedikit berlubang bahkan banyak polisi tidur pun Raga tak peduli. Mbok Darmi hanya bisa beristigfar dalam hati agar mereka selamat sampai tujuan. Selang sepuluh menit kemudian akhirnya mereka sampai di kediaman Pak Seno. Bangunan putih
Papi Seno begitu syok mendengarkan ucapan Raga barusan. Pria paru baya itu berusaha menahan amarahnya yang hampir saja dia luapkan karena mengingat Opa Lukman dalam kondisi yang kurang baik dengan kesehatannya.Papi Seno membalikkan badannya dan menghampiri Raga yang sudah ikut berdiri. Kini mereka saling berhadapan. “Kamu sedang tidak bercandakan?” tanya Papi Seno memastikan. Tatapan Papi Seno begitu tajam dan menakutkan. “Raga juga enggak tahu Pi, tapi itu yang dikatakan oleh Vina, Tapi sungguh Raga yakin tidak pernah melakukan hal itu,” kilahnya sambil mengingat setiap kejadian bersama Vina.“Oh Raga, kamu sangat keterlaluan! Jadi selama ini kamu masih berhubungan dengan Vina? Sudah berapa kali Papi bilang kalau kamu jangan bertemu dia lagi. Dan ini akibatnya entah itu memang anak kamu atau ada yang ingin menjatuhkan nama baik keluarga kita dengan cara seperti ini. Jika Opa Lukman sampai mendengarkan kabar buruk ini, kamu tahu kan apa yang terjadi? Dan ini semua kamu yang bert
Suasana sidang makin memanas. Semuanya saling menunjukkan bukti yang masih memberatkan Raga. Keluarga Subrata hanya diam dan menyimak saja. Begitu juga dengan Viona dan Raga bersikap tenang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka sehingga tak sedikit mereka berargumen kalau kejahatan Raga memang terbukti. Waktu terus berlalu hingga hampir satu jam. Dan saat putusan hukuman Raga ingin dibacakan tiba-tiba saja Clarissa berdiri dan meminta waktu untuk bisa berbicara. Semua orang terkejut tidak ada di agenda kalau Clarissa ikut bicara meskipun mereka hanya tahu kalau wanita paru baya itu adalah ibunya Rama yang sekarang di tahan. Untung saja hakim memperbolehkannya untuk maju dan masuk di ruang saksi. Dengan sedikit gugup Clarissa mulai angkat bicara. “Mungkin dari kalian hanya tahu kalau saya adalah ibu dari Rama Ardi Saputra Gunawan seorang pengusaha muda yang kini mendekam di penjara. “Rama dan saya masih ada hubungan keluarga dengan keluarga Subrata.”“Apa maksud Bu Clar
“Kita berdoa saja yang terbaik, Pi . Kita berangkat sekarang? Vio sudah enggak sabar ingin bertemu dengan Mas Raga dan memberikan kejutan,” sahut Vio sangat bersemangat. “Oke, kita berangkat sekarang,” sahut Papi Seno dan berjalan keluar bersama yang lain. “Bismillahirrahmanirrahim, ya Allah kuserahkan kepada-Mu semua masalah hatiku. Hamba percaya dan yakin semua akan kembali seperti semula. Keajaiban itu akan datang dan kami bisa bersama lagi. Jauhkan kami dari keserakahan dan ketamakan orang-orang yang mengalami kami. Engkau maha mengetahuinya. Aamiin.” Doa Viona sebelum dia masuk ke mobil bersama mertuanya. Dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai di pengadilan. Sudah banyak wartawan yang ingin mencari berita. Apalagi mereka mendengar kabar tentang hilangnya Viona beberapa hari ini yang telah disekap oleh Rama. Papi Seno tak mengizinkan Viona untuk bicara dengan banyak wartawan yang mengerumuninya. Untung saja masih ada beberapa anak buahnya yang masih setia men
“Kamu sudah sampai di rumah?”“Maaf Bos, kami belum bisa sampai di rumah Nyonya Clarissa. Ada tabrakan di tengah jalan dan kami terjebak di tengah jalan. Tidak bisa mundur karena banyak kendaraan lain juga.”“Bodoh, kenapa tidak cari jalan lain?” “Maaf Bos, tidak ada dan ...”“Brengsek. Kamu bisa kan cari jalan alternatif, kenapa harus lewat jalan itu? Cepat cari jalan lain, saya tidak peduli. Jika terjadi sesuatu dengan ibu saya kalian yang akan bertanggung jawab.”Rama langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa mendengar kembali penjelasan anak buahnya itu dan kembali menatap Viona.“Semua tidak bisa diharapkan. Kenapa semakin berantakan sih? Aku hanya ingin bersama Viona! Kenapa semua tidak menyukainya?” kesal Rama dalam hati. Dia berjalan mondar mandir di kamar sembari sesekali mencoba menghubungi ibunya, tapi tetap saja nomor yang dituju sudah tidak diaktifkan lagi. “Ti—tidak aku tidak bisa meninggalkan Viona sendirian di rumah sakit. Mereka pasti akan membawanya pergi dar
Viona berusaha untuk bangun dari tempat tidur tapi ternyata tubuhnya masih begitu lemah. Dia ingin melepaskan jarum suntik yang masih terpasang di tangannya. Namun, di saat itu juga sebuah tangan besar menghalanginya. Jantung Viona berdegup kencang saat melihat tangan laki-laki itu memegang jarum suntik yang ingin dilepaskan oleh Viona.Viona mendongkak dan benar saja tangan Rama yang telah memegangnya. “Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin pergi dari sini?” tanya Rama dengan tatapan di dinginnya. Viona merasa tak berdaya, tak ada tenaga untuk bisa menghindar dari Rama. Hanya tatapan sayu dan ketakutan dari matanya. Rama bisa melihatnya sehingga tangannya pun berpindah perlahan. “Maaf, aku hanya ingin memastikan untuk tidak berbuat nekat dengan .. “Mas, a—aku mohon lepaskan aku!” Viona bersuara pelan dengan air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.Rama semakin terpuruk melihat Viona yang begitu ketakutan sampai-sampai menitikkan air mata.“Vio, jangan menangis aku tidak
Rayhan mengejar Rama yang melangkah cepat meninggalkannya. “Kamu sudah enggak waras, Rama!” teriaknya. Rayhan menarik paksa tangan Rama. “Aku enggak salah dengar ka?” Rayhan mengatur napasnya yang sedikit tersengal-sengal karena mengejar Rama.“Apakah aku pernah bercanda dengan perkataanku sendiri?” tanya balik Rama dengan wajah seriusnya .“Rama dengarkan aku sebentar. Viona sedang mengandung anak Raga. Mereka saling mencintai dan Viona hamil, Rama. Kamu sudah tahu apa yang aku maksud. Jangan mengulangi kesalahan lagi. Kamu sudah membuat Raga dipenjara dan sekarang kamu ingin mengambil hidup Viona? Aku sarankan, jangan kamu melakukan hal yang akan merugikan kamu nanti kedepannya,” nasihat Rayhan membuat Rama terdiam sejenak. Rama menghela napas panjang dan kemudian berkata, Apa kamu tidak ingin membantuku, Ray?” Rayhan menepuk bahu Rama. “Maaf, Bos, aku tidak ingin melakukannya lagi. Aku tidak ingin membuat Viona kehilangan janinnya. Dia berhak hidup dan aku tidak mau nasib aka
Viona semakin berontak tapi tubuhnya tak bisa mengalahkan kekuatan pria tampan itu. Namun, Viona tak ingin pasrah begitu saja saat wajah Rama begitu dekat dengannya. Pria itu menyeringai jahat. Viona begitu marah saat tubuhnya disentuh paksa oleh pria lain. Entah dari mana kekuatan itu sehingga tanpa keraguan berusaha membenturkan kepalanya dengan Rama sangat kuat. Rama kesakitan dan langsung merenggangkan dekapannya. Viona langsung menghindar meskipun kepalanya pun langsung terasa pening. Tak lama terlihat ada tetesan darah yang keluar dari kening Viona. Cairan merah pekat itu terus mengalir membuat wajah Viona merah. Bahkan jilbab dan pakaiannya pun sudah ternoda. Rama yang masih kesakitan menjadi panik saat melihat tetesan darah itu tetap mengalir. Rama kembali mendekati dan ingin mengobati luka itu tapi dengan cepat Viona menghentikannya. “Aku harus menghentikan darahnya,” khawatir Rama yang segera mencari kotak P3K di dalam kamar itu. Dengan tangan gemetar Rama membuka s
Tepat jam sepuluh pagi persidangan Raga dimulai. Raga masuk dalam ruang persidangan dalam penjagaan ketat. Mereka beradu pandang. Mata Raga pun sempat berkaca-kaca saat melihat kedua sosok pria yang selalu ada untuknya. Bahkan Raga sangat mengkhawatirkan mereka berdua. Namun, seketika pikirannya mengingat akan sosok wanita yang selalu membuat bahagia.Viona, wanita itu tak tampak di sana membuat hatinya sedih dan geram. Apalagi di saat itu juga dia melihat kehadiran Rama dan Clarissa, dua orang yang sangat dia benci. Raga berusaha menahan amarahnya saat melihat mereka. Terlebih lagi sikap Rama yang tampak tersenyum dari kejauhan. Seno bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Raga. Dia tahu kalau Raga pasti mencari keberadaan Viona. Opa Lukman tak mencegahnya membiarkan ayah dan anak itu bicara sebentar.Raga langsung mencium punggung tangan Papa Seno dan kemudian memeluknya. “Semua akan baik-baik saja, Raga. Kamu adalah anakku. Papi tahu kamu tidak bersalah dan semua itu akan
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Persidangan untuk Raga sebentar lagi akan di gelar. Papi Seno dan Opa Lukman sudah bersiap diri untuk datang ke pengadilan. Tampak di luar gerbang rumah mereka pun beberapa pencari berita juga sudah berkumpul dan menunggu. Untung saja ada satpam penjaga yang tidak memperbolehkan mereka masuk sampai ke halaman rumah keluarga Subrata.“Papa, sudah siap? Atau lebih baik Papa di rumah saja, biar Seno saja yang datang. Lagian papa baru sembuh. Seno takut terjadi sesuatu dengan Papa nanti di sana. Raga akan lebih sedih jika menyangkut kesehatan Papa,” pinta Seno ya g masih khawatir dengan kondisi kesehatan Opa Lukman. Orang tua itu menatap sayu dan kemudian tersenyum kecil, kemudian berkata, “ Papa enggak apa-apa. Jika Papa di rumah malah kepikiran. Apalagi kita belum bisa menemukan keberadaan Viona. Apakah dia enggak apa-apa bersama Rama?” ucapnya pelan. Mendengar ucapan Opa Lukman membuat Seno kembali geram. “Sampai sekarang Seno belum bisa
Rama tetap tidak mau melepaskan Viona. Baginya wanita cantik itu harus menjadi istrinya nanti setelah bercerai dari Raga. Rama pun sudah memberikan surat perceraian yang harus di tanda tangani oleh Viona. Dia meninggalkan berkas itu di meja berharap Viona rela berpisah dengan Raga. Viona tak bisa tidur karena memikirkan nasib suaminya itu. Tapi dia pun tak berdaya semua ini. Paginya Rama pun kembali ke kamar itu untuk memastikan apakah Viona sudah mengambil keputusan atau tidak. “Katakan Vio, apakah keputusan kamu? Kita tidak mempunyai banyak waktu karena kamu tahu kan hari ini dan tinggal tiga jam lagi sidang Raga akan di gelar. Jika kamu memang mencintai Raga tentu kamu mau berkorban untuknya, kan?” bujuk Rama tersenyum kecil. “Aku tidak mau menandatangani berkas itu. Kamu sudah enggak waras, Mas!”Rama berusaha menahan amarahnya. Tangannya mengepal kuat dengan sorot mata yang tajam. “Rupanya kamu tidak peduli dengan nyawa suamimu, Vio! Apakah aku harus membuktikannya ka