Share

06. Sadar Vio

“Kenapa kamu ke sini, sudah selesai belanjanya?” tanya Raga dengan lembut dan tak tanggung-tanggung Vina duduk di pangkuan Raga tanpa memedulikan perasaan sang istri yang berdiri mematung. Mereka begitu intens berbicara. Pandangan Raga sangat berbeda saat berbicara dengan Viona. Wanita manis itu bisa merasakannya dan sadar akan posisinya sebagai istri yang tidak diinginkan oleh sang suami.

 

“Oh ini istri kamu? Sangat buruk banget. Dia dari planet mana?” sindir Vina yang menatap tajam.

 

“Kenalkan Mbak, nama saya Viona Adila Zahra,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya ingin bersalaman dengan Vina, tapi wanita seksi itu malah menepisnya.

 

“Maaf kita enggak selevel ya, lagian Papimu itu sudah pikun menikahkan kamu dengan wanita buluk seperti dia, enggak ada bagusnya sama sekali,” sindirnya lagi.

 

“Ya Allah Mbak, jangan suka menghina ciptaan Allah, nanti Mbak malah kualat loh, lagian apa yang akan dibanggakan  kalau sudah tua keriput dan meninggal tidak ada yang akan dibanggakan lagi. Dan jangan menghina orang tua kalau tidak mau sengsara,” jelas Viona membuat Vina terdiam tapi Raga tersenyum kecil.

 

“Ceramah lagi, bukan ustazah juga, dan kamu ingat selamanya saya tetap menuduh kamu sebagai pelakor,” sahut Vina tak mau kalah.

 

Wanita seksi itu pun tidak menghiraukan lagi keberadaan Viona, dia pun kembali berbicara hangat dengan Raga.

 

“Ah aku seperti obat nyamuk saja di saja,” gerutu Viona dalam hati saat  melihat mereka kembali bermesraan. Viona pun mencari tempat duduk sambil bermain ponsel.

 

“Mereka begitu bahagia dan aku sudah masuk di tengah kehidupan dua orang itu, apakah aku disebut pelakor? Tidak, aku juga tidak menginginkannya tapi karena paksaan kedua orang tua, jika saja Bapak tidak membalas budi  dengan kebaikan Pak Seno mungkin hal ini tidak akan terjadi, kasihan Mas Raga pasti dia sangat menderita,” ucapnya dalam hati.

 

Raga sekilas menatap Viona, dan menyunggingkan senyuman menyeringai tanpa disadari oleh Viona.

 

“Apa yang dilamunkan Viona? Ayolah tegur Viona, aku mau lihat apakah dia cemburu atau tidak, pasti hatinya sedang meraung-raung,” batin Raga membiarkan Vina bergelayut manja di pangkuan Raga.

 

“Mereka memang pasangan serasi, seharusnya aku tidak menikah dengan Mas Raga, pasti hatinya juga sakit karena tidak bisa menikah dengan kekasihnya sendiri. Untung saja pernikahan ini hanya setahun jadi Mas Raga bisa menceraikan aku dan menikah dengan Mbak Vina. Aku tidak boleh jatuh cinta dengannya. Sadar Vio, dia bukan jodohmu,” batin Viona tersenyum dalam hatinya.

 

“Kenapa enggak ada reaksi sih, malah diam saja seperti patung pancoran,” gerutu Raga kesal dalam hati, sedangkan Vina terus mengoceh tentang belanjaannya yang super heboh.

 

“Maaf, jika mengganggu waktu kalian, saya permisi dulu,”  Viona memutuskan untuk pergi dia pun berusaha tegar. Raga menjadi bingung dan ingin menghentikan langkah Viona tapi Vina masih berada di pangkuannya sehingga sangat sulit bergerak. Hatinya ingin mencegah tapi terlalu gengsi untuk mengatakannya.

 

Viona keluar dari ruangan Raga, berusaha untuk tidak menitikkan air matanya yang sedari tadi hampir saja jatuh sebisa mungkin dia menahannya.

 

Ya tidak bisa dipungkiri jika seorang istri pasti akan sakit hati melihat suaminya bermesraan tepat di hadapannya,  meskipun dia sadar kalau itu memang yang terjadi. Tak mau ambil hati, Viona segera melangkah pergi. Karyawan suaminya bersikap hormat meskipun ada beberapa orang yang mencibirnya karena menurut mereka  tidak sepadan bersanding dengan bos mereka.

 

Viona kembali berjalan sambil melihat-lihat perusahaan yang berlantai lima itu. Setiap lantai mempunyai divisi berbeda. Wanita manis itu takjub dengan kinerja mereka yang super sibuk. Hilir mudik melewati Viona. Ada yang sekedar menyapanya ada juga yang bersikap acuh. 

 

Saat berada di lantai dua, Viona melihat seorang karyawan yang terlihat bingung di meja kerjanya.  Entah kenapa langkahnya menuntun untuk menghampiri karyawati  itu.

 

“Ada apa, kenapa kamu terlihat bingung dan kesal?” tanya Viona memperhatikan gerak-gerik dan mimik wajah wanita muda dengan  panik.

 

“Saya belum selesai mengerjakan tugas saya Mbak, mungkin karena tidak fokus jadi yang tadi terlihat mudah sekarang kok malah sulit, malah sebentar lagi laporan ini harus sudah sampai di meja  kerja Pak Bos, bagaimana ini?” Wanita itu terlihat panik dengan meja yang berantakan.

 

“Apakah kamu baru kerja di sini?” tanya Viona mencari tahu.

 

“Iya Mbak baru sepuluh bulan, dan sebenarnya saya belum pernah bertemu langsung dengan yang namanya Pak Raga, dengar-dengar orangnya galak, jadi seram banget,” sahutnya tapi masih fokus mengerjakan laporan.

 

Viona bergeser sedikit badannya sehingga bisa melihat apa yang dikerjakan oleh karyawati itu. Lalu memperhatikan apa yang diketik dalam layar laptopnya. Badannya sedikit condong dan membungkuk sejajar dengan benda layar itu. “Sepertinya laporanmu ada yang salah, seharusnya kamu masukan dulu anggaran ini sehingga terlihat biaya yang sudah dipakai dan biaya yang belum terpakai,” ucap Viona mencoba menjelaskan rincian laporan itu. Wanita itu pun mencoba mengikuti arahan Viona dan ternyata terbukti hasilnya sama.

 

Santi melototi layar laptopnya karena sudah dua jam mencari solusi dari angka-angka itu yang tidak bisa ditemukan dan hanya butuh kurang dari lima menit selisih dari anggaran itu ternyata berhasil dipecahkan oleh Viona.

 

“Mbak serius ini hasilnya sama, aku sangat berterima kasih sama Mbak  ...”

 

“Viona,” jawab Viona sambil ingin menjabat tangan tapi justru Santi berdiri dan memeluk Viona.

 

“Oh ya Mbak Viona, namaku Santi. Mbak Vio dari divisi mana, kok aku enggak pernah lihat, Mbak juga baru di sini?” tanya Santi bingung dan tidak mengenal siapa Viona sebenarnya.

 

“Saya ... belum menjawab pertanyaan teman barunya itu tiba-tiba terdengar lengkingan suara sehingga mereka pun saling menoleh bersamaan.  

 

“Santi, apa kamu sudah selesai dengan laporan yang saya berikan?” Seorang wanita paruh baya meneriakinya sambil mendekati mereka.

 

“Maaf belum Bu, ini masih saya kerjakan,” jawab Santi sopan.

 

“Lantas kenapa kamu malah mengobrol dengan orang lain dan siapa kamu, kenapa mengajak karyawan divisi saya  mengobrol di jam kerja, kamu dari divisi mana? Sepertinya saya tidak pernah melihat kamu di kantor ini, apa kamu juga karyawan baru? Oh tapi sayang sekali jika kamu karyawan di sini seperti orang kampung saja, dekil banget siapa sih yang menerima kamu bekerja di sini, bikin rusak pemandangan saja,” jelas wanita paru baya itu menghina Viona.

 

“Maaf Bu, apa yang Ibu katakan, Mbak ini tidak mengganggu saya, dia hanya ingin ....”

 

‘“Sudah jangan membantah, cepat selesaikan dan kamu sangat berani untuk datang ke tempat ini, ada perlu apa kamu di sini? Jika kamu hanyalah tamu bersikaplah sebagai tamu, atau jangan-jangan kamu menyamar dan memberikan informasi perusahaan kami,” selidik wanita paru baya itu. Viona membaca ID card yang berkalung dengan tali itu di lehernya.

 

“Maaf Bu Mila, saya bukan tamu hanya sebagai ....”

 

“Sudah-sudah saya malas meladeni orang yang nggak jelas. Lebih baik kamu pergi dari sini sebelum saat memanggil satpam untuk mengusir kamu,” bentaknya dengan kasar.

 

Tak ingin menimbulkan keributan Viona akhirnya pergi dari tempat itu, tapi sebelum  melangkah Viona memberikan senyuman kepada Santi. Wanita itu pun membalas senyuman Viona.

 

“Apa Ibu itu tidak mengenal aku? Seburuk itukah aku di mata mereka? Apa ada yang salah dengan penampilanku yang seperti ini? Ah seandainya waktu bisa diulang lagi  tanyanya dalam hati.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status